Keresahan Gen Z in this Economy

Gambar sampul Keresahan Gen Z in this Economy

 

Saya Gen Z.

Generasi Z Indonesia kini berada pada persimpangan besar dalam melihat arah bangsa. Akses informasi terbuka membuat mereka semakin kritis terhadap situasi politik dan ekonomi.

Keterbukaan informasi yang luas justru memperlihatkan sisi rapuh kepemimpinan negara. Pemerintah kerap dianggap gagal merespons persoalan mendasar yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama kaum muda.

Blunder demi blunder yang muncul dari pejabat publik menimbulkan kelelahan kolektif. Gen Z merasa pemerintah bukan sekadar kurang tanggap, melainkan juga sering salah langkah dalam mengambil kebijakan.

Rasa lelah itu lahir bukan tanpa sebab. Ketika pajak makin naik dan beragam, transportasi publik bermasalah, statement ngawur pejabat bermunculan, saat itulah generasi muda merasakan beban ekonomi dan mental dalam keseharian mereka.

Pada Juli hingga Agustus lalu, publik disuguhi serangkaian pemberitaan buruk terkait kebijakan pemerintah. Demonstrasi besar di Pati akibat kenaikan pajak tanah menjadi contoh paling nyata.

Kombinasi antara kenaikan pajak hingga ratusan persen dan arogansi Bupati, memicu amarah warga hingga menggerakkan ribuan orang turun ke jalan. Pemerintah daerah akhirnya terlihat tak berdaya setelah tekanan massa yang semakin besar.

Di saat bersamaan, pemerintah pusat mengumumkan pemangkasan anggaran daerah hingga seperempat dari total transfer. Kebijakan itu langsung menimbulkan kekhawatiran akan memburuknya pelayanan publik di seluruh Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan, untuk apa kebijakan tersebut? Untuk proyek Makan Bergizi Gratis (MBG)? Sekolah Rakyat? Efisiensi? Atau menaikkan gaji pejabat?

Perubahan kebijakan fiskal yang mendadak dan tanpa komunikasi yang memadai, membuat kepercayaan masyarakat runtuh. Saya-Gen Z, melihat pejabat publik gagal memahami denyut kehidupan rakyat yang semakin sulit.

Potret di Senayan, membuat Gen Z macam saya memasuki puncak kelelahan. Ketika di media ramai pro kontra data pertumbuhan ekonomi, siswa keracunan MBG, balita meninggal akibat infeksi cacing di Sukabumi, anggota dewan saya justru berjoget di ruangan ber-AC setelah mendengar tunjangan mereka dinaikkan oleh Presiden.

Pernyataan yang muncul setelah berjoget tak kalah menguras emosi, hingga jauh dari kata bijak dan berwibawa.

"Tunjangan rumah Rp50 juta/bulan make sense," ~Adies Kadir (Wakil Ketua DPR RI).

Saya aja yang tinggalnya di Bintaro, macetnya luar biasa," ~Nafa Urbach (Anggota DPR Fraksi Nasdem)-berbicara alasan meningkatnya tunjangan anggota DPR.

"Paling tidak dalam kereta ini ada satu gerbong (khusus merokok)," ~Nasim Khan (Anggota Komisi VI DPR dari PKB).

"Bubarin DPR itu mental orang tolol sedunia," ~Ahmad Sahroni (Wakil Ketua Komisi III DPR).

Pernyataan-pernyataan asbun dan tak memiliki unsur empati itu justru memperlihatkan bahwa ada kesalahan berpikir oleh pejabat publik kita, atau justru keterbatasan intelektual?

Di sisi lain, kejenuhan masyarakat muncul melalui kritik spontan lewat simbol-simbol kreatif. Bendera bajak laut One Piece berkibar di truk-truk, sebagai sindiran terhadap elite yang dianggap tak peduli pada rakyat.

Respons pemerintah justru terbelah, hingga ada yang menilai itu sebuah penghinaan terhadap simbol negara. Sementara Presiden Prabowo justru menganggapnya bagian sah dari ekspresi politik generasi muda.

Masalah tidak berhenti pada soal simbol. Dunia kerja ikut terdampak oleh gelombang pemutusan hubungan kerja di sektor manufaktur yang kian melemah sejak awal tahun 2025.

Puluhan ribu pekerjaan hilang, mayoritas di sektor industri, sementara Wakil Menteri yang harusnya mengurusi ketenagakerjaan malah kena OTT KPK. Ternyata koruptor.

Eksekutif yang lain juga sibuk berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi 5,12%. Gen Z macam saya melihat angka itu sekadar retorika, karena di kalangan ekonom pun masih menjadi perdebatan.

Presiden beberapa kali menyebut kemiskinan telah menurun, namun kalimat itu justru menuai olok-olok. Mengutip bapak-bapak di kantor saya “Kemiskinan di Indonesia memanglah turun…, turun temurun ke anak cucu!,”

Kekecewaan itu bertambah saat rencana pemindahan aparatur sipil negara ke proyek Ibu Kota Nusantara ditunda. Fasilitas yang belum selesai memperlihatkan minimnya perencanaan matang dari pemerintah pusat.

Rangkaian blunder itu menimbulkan pertanyaan besar di benak saya. Mengapa pejabat publik yang memimpin justru sering terlihat tak kompeten dalam menyelesaikan masalah konkret di masyarakat?

Di media sosial, Gen Z tak segan menyebut para pejabat bodoh. Julukan itu lahir dari rasa frustasi, karena kebijakan yang dihasilkan justru menambah masalah, bukan menyelesaikan persoalan.

Kontras dengan seleksi ketat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan calon pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), banyak pejabat publik justru terkesan masuk ke kursi kekuasaan tanpa uji kelayakan serupa. Pertanyaan soal kompetensi pun tak terhindarkan.

Jika CPNS, BUMN, dan seleksi staf lain harus melewati tes berlapis, mengapa pejabat tinggi negara tidak pernah diuji kemampuannya? Pertanyaan itu terus bergema di kalangan generasi muda yang merasa tak diwakili.

Kritik serupa juga dialamatkan kepada anggota DPR. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, mereka sering terseret polemik politik internal atau sibuk dengan kepentingan kelompok sendiri.

Gagasan agar pejabat publik menjalani tes layaknya rekrutmen staf di Indonesia kini menguat. Bukan sekadar uji formalitas, namun tes integritas, empati, dan kapasitas untuk memahami problem masyarakat secara nyata.

Berdasarkan hukum dan sistem yang ada di Indonesia, memang tidak mungkin pejabat negara dan anggota DPR dipilih lewat serangkaian tes layaknya umbi-umbian CPNS/BUMN, sebab mereka bukanlah birokrat, melainkan pejabat politis.

Tapi tetaplah sah untuk berandai, saya-Gen Z menganggap langkah itu penting untuk memastikan pejabat benar-benar layak memimpin. Tanpa mekanisme kontrol kompetensi, publik khawatir kualitas kepemimpinan akan semakin memburuk.

Kritik tersebut sekaligus menunjukkan bahwa generasi muda tidak apatis. Justru sebaliknya, mereka menuntut bentuk pemerintahan yang lebih bertanggung jawab, terbuka, dan akuntabel.

Namun keinginan itu sering terbentur tembok budaya politik lama. Tradisi senioritas membuat suara anak muda sering dipandang sebelah mata oleh para elite generasi baby boomer.

Perbedaan generasi itu semakin tajam ketika pejabat merasa cukup percaya diri dengan data dan klaim sepihak. Sementara anak muda dengan mudah membandingkan data dari berbagai sumber terbuka.

Rasa percaya diri yang berlebihan itu membuat pemerintah kerap menyepelekan kritik publik. Gen Z melihatnya sebagai bentuk kesombongan yang kontraproduktif terhadap kepercayaan masyarakat.

Kondisi itu menimbulkan dilema serius. Di satu sisi, pemerintah mengklaim sedang berupaya menjaga stabilitas, tetapi di sisi lain rakyat merasakan beban yang semakin berat.

Gen  Z yang lahir di era digital melihat kontradiksi itu dengan jelas. Narasi pemerintah yang penuh data indah terasa jauh berbeda dengan realitas di lapangan.

Akses terhadap informasi global juga membuat anak muda bisa membandingkan kondisi Indonesia dengan negara lain. Ketertinggalan dalam pengelolaan kebijakan publik terasa semakin jauh.

Di tengah kekecewaan itu, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya generasi muda merespons? Apakah dengan terus melontarkan kritik, atau mulai masuk langsung ke gelanggang politik.

Beberapa aktivis muda berpendapat penting untuk membangun gerakan kolektif. Kritik perlu diiringi dengan gagasan alternatif, agar tidak hanya berhenti pada keluhan di ruang digital.

Namun langkah itu tidak mudah. Politik Indonesia masih penuh intrik, masih didominasi partai besar yang sulit ditembus generasi muda tanpa modal dan jaringan kuat.

Meski demikian, suara Gen Z tidak bisa diabaikan. Jumlah mereka yang besar menjadikan kelompok ini penentu arah politik dan sosial Indonesia dalam dua dekade mendatang.

Jika keresahan mereka terus diabaikan, jarak antara pemerintah dan rakyat akan semakin melebar. Krisis kepercayaan pun bisa menjelma menjadi krisis legitimasi bagi kepemimpinan negara.

Kesempatan memperbaiki keadaan masih terbuka. Dibutuhkan kerendahan hati dari pejabat publik untuk mendengar suara generasi muda, sekaligus memperbaiki pola komunikasi dan kebijakan.

Tanpa perubahan itu, rasa lelah generasi muda akan berubah menjadi sikap sinis berkepanjangan. Tidak mustahil, mereka akan memilih menjauh dari politik dan mencari masa depan negeri lain.

Gen Z ingin melihat Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang kompeten, bijak, dan rendah hati. Bukan sekadar pejabat yang gemar membuat klaim tanpa landasan kuat dan asbun.

Kepemimpinan yang lahir dari era baby boomer perlu belajar beradaptasi dengan realitas zaman. Tanpa itu, generasi muda akan terus merasa menjadi penonton di negeri sendiri.

Harapan terakhir terletak pada kemauan bersama untuk berbenah. Sebab terlalu banyak blunder dan kebodohan yang disampaikan pejabat publik saya.

Untuk apa umbi-umbian dengan nilai terbaik di angkatan seleksinya, jika pejabat pengambil keputusan bukanlah orang yang kompeten?

Gen Z macam saya tidak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran dan ketulusan dalam bekerja. Sebab, di bawah kepemimpinan yang rapuh, kelelahan mereka bukan sekadar emosi, melainkan jeritan sebuah generasi. (rgs)

Bagikan :