“Mohon izin, sesuai arahan pimpinan agar si A menjadi prioritas untuk dapat segera ditindaklanjuti”.
Sebuah arahan singkat yang tidak jarang kita dengar atau baca sebagai seorang ASN. Ia terkesan memudahkan atau justru malah mempersulit keadaan. Entah apa yang melatarbelakangi pesan ini, namun nyatanya inilah fakta yang sering kita temukan dalam keseharian seorang abdi negara dalam bekerja yang sepatutnya menjunjung tinggi budaya anti korupsi.
ASN sering terjebak dalam kondisi yang cukup menyulitkan. Bagaimana tidak, komitmen untuk memiliki integritas dan loyalitas membuatnya harus responsif atas perintah atasan yang mendalilkan kebijakan pimpinan. Sementara itu, komitmen atas standar operasional dan tata kelola pemerintahan yang baik juga tetap harus dijaga eksistensinya. Pada kondisi ini muncul kenyataan yang cenderung dilematis bahkan paradox dimana sebuah “kebijakan pimpinan” mampu menjadi shortcut inovasi birokrasi yang membangun tapi juga potensial menciptakan ceruk korupsi yang justru disruptif dan destruktif.
Namun, tidak bijak jika hanya mengutuknya secara membabi buta sebagai mekanisme koruptif yang tidak layak hadir dalam dialektika birokrasi, pun juga ketika menganggapnya sebagai lompatan inovatif yang layak diapresiasi tanpa adanya proses analisis dan audit yang komprehensif. Semoga tulisan ini mampu mengungkap dan menganalisis fenomena kebijakan pimpinan dari beberapa sudut pandang secara berimbang sehingga menjadi insight bagi ASN pelaksana kebijakan untuk mampu menangani berbagai situasi dengan bijak dan terukur sehingga tercapai keseimbangan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Sebelum melangkah lebih jauh, rasanya perlu memberikan definisi konsep mengenai kebijakan pimpinan yang akan kita bahas. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebijakan pimpinan adalah segala sesuatu yang mewakili “maksud” pimpinan dalam konteks birokrasi. Tidak harus berupa dokumen resmi, ia dapat berupa arahan lisan, instruksi mendadak dalam rapat, atau bahkan sinyal tidak langsung yang harus dipahami bawahan. Sifatnya cenderung fleksibel, kuwes dan adaptif. Terkesan bagus kan? Tapi inilah yang menjadi titik kerentanannya.
Selanjutnya, tulisan ini akan “sedikit” menganalisis secara sederhana mengenai dua sisi kebijakan pimpinan paling tidak dalam sudut pandang birokrasi ideal-regulatif bisa saja menjadi pisau tajam yang memotong alur atau mekanisme berjenjang yang cenderung bertele-tele, atau malah menjelma menjadi fungsi toleransi berwajah loyalitas yang merusak integritas organisasi. Pada dua hal ini, ASN yang notabene pelaksana kebijakan harus cerdas dalam menangani kondisi untuk senantiasa tegak lurus pada aturan tanpa mengabaikan loyalitas kepada pimpinan
Kenyataan bahwa birokrasi kita terlalu bertele-tele, tidak berorientasi tujuan bahkan cenderung menyulitkan masyarakat tidak dapat dipungkiri. Hal ini kemudian menjadikan kebijakan pimpinan cukup krusial dalam memainkan peran dan fungsinya. Ia bisa dengan lihai membuat inovasi memotong alur (shortcut), mendorong percepatan proses, memberikan jaminan ketercapaian bahkan membongkar sistem yang usang. Bayangkan sebuah instruksi yang terukur dan jelas dapat memastikan apa, dimana, bagaimana, kapan dan siapa yang akan menyelesaikan sebuah program dengan taktis.
Kebijakan pimpinan terkait platform digital pengajuan cuti misalnya, akan mampu memberikan efisiensi waktu administrasi dari yang sebelumnya seminggu bahkan dua minggu untuk pengisian berkas dan persetujuan berjenjang, kini hanya memerlukan waktu satu atau dua jam bahkan melalui mobile. Kebijakan ini tidak hanya memangkas waktu secara drastis, tapi juga menghilangkan tahapan yang “aneh” serta potensi pungutan liar (pungli) yang sering kali muncul berseragam etika. Di sinilah kebijakan menjadi tonggak mendobrak birokrasi usang yang telah mengakar pada sebuah sistem.
Jika kita menginginkan sebuah sistem yang adaptif alih-alih resisten terhadap perubahan, maka jawabannya ada pada inovasi yang tentu saja tombol “switch-on”nya adalah kebijakan pimpinan. Seorang pemimpin yang visioner pasti akan dapat melihat kemungkinan-kemungkinan bukan hanya tentang apa yang ada tapi juga apa yang mungkin diadakan. Visi seorang pimpinan yang direalisasikan melalui kebijakannya akan menjadi titik perubahan sebuah sistem birokrasi menjadi lebih mapan, adaptif serta mampu menjawab kebutuhan publik.
Di samping itu, dinamika pekerjaan tentu tidak hanya berada dalam kondisi normal. Ia terkadang menemui kondisi darurat. Dalam kondisi darurat seringkali dibutuhkan mekanisme “luar biasa” yang mendobrak kebiasaan birokrasi formal yang cenderung lamban dan tidak responsif. Dalam situasi ini, kebijakan pimpinan mampu menjadi solusi atas kebutuhan luar biasa yang harus segera ditangani. Sebuah arahan taktis dari pimpinan yang dibumbui dengan level prioritas tinggi akan mampu mendahului to-do list lain dengan level sedang atau biasa untuk segera dieksekusi oleh petugas teknis.
Fleksibilitas yang disandang oleh kebijakan pimpinan diyakini mampu berfungsi layaknya mesin kedua ataupun penyeimbang terhadap kekakuan birokrasi yang ada pada umumnya. Ia menjadi semacam “back up” teknis ketika prosedur standar tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan sambil menunggu perbaikan standar teknis dilakukan. Hal ini juga memungkinkan bagi pelaksana di level teknis untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dengan cepat serta tanggap/responsif terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi.
Dibalik urgensinya telah dijelaskan di bagian sebelumnya, tidak dipungkiri dalam kebijakan selalu terdapat potensi destruktif yang mengintai untuk berkembang menjadi mekanisme koruptif. Kepiawaian sebuah kebijakan dalam berakrobat melintas dan regulasi seringkali - dengan atau tanpa disadari - diarahkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. Alih-alih bersifat regulatif-dokumentatif, ia justru destruktif secara halus namun sistematis. Hal ini memungkinkan penyangkalan ketika di kemudian hari dilakukan proses audit yang akan sangat merugikan bagi pelaksana teknis kebijakan.
Penyalahgunaan wewenang menjadi barang antik yang justru sering disembunyikan rapi di balik narasi inovasi dan percepatan melalui kendaraan kebijakan ini. Alasan proyek "percobaan" atau pilot project tanpa standar konsep dan evaluasi yang jelas sering mengemuka, cenderung dipaksakan untuk meloloskan penunjukan langsung tanpa tender. Demikian juga kebijakan "darurat" yang terus menerus diperpanjang tanpa alasan yang jelas misalnya, lambat laun menciptakan pemahaman intersubjektif yang pada akhirnya membentuk normalitas baru yang mengabaikan prosedur.
Dalam hal lain, kebijakan seringkali dimanfaatkan untuk merekayasa anggaran atas nama penyesuaian strategis. Hal ini memungkinkan untuk mengalihkan dana dari satu program ke program lain yang justru tidak sesuai dengan renstra atau bahkan bersifat fiktif, sebut saja kegiatan “koordinasi" atau "pengembangan kapasitas" tanpa outline jelas. Tidak jarang, proyek fiktif sengaja diciptakan sebagai wadah pencucian anggaran agar penyerapan maksimal, seperti pelatihan yang tidak pernah diselenggarakan atau pengadaan peralatan yang tidak sesuai spesifikasi.
Pemerasan terselubung juga bisa terjadi ketika pimpinan yang memiliki kewenangan sengaja memperlambat proses administratif seperti penerbitan izin, pencairan dana, atau verifikasi dokumen untuk menciptakan ketergantungan yang pada akhirnya memicu "permintaan" imbalan secara tidak langsung. Modus ini sering dibungkus dengan bahasa halus seperti "perlu koordinasi lebih lanjut" atau "masih dalam proses". Pelaku usaha atau masyarakat yang terjebak dalam birokrasi semacam ini pada akhirnya merasa tidak punya pilihan selain memberikan “pelicin” agar proses lancar dan kalau bisa dipercepat.
Kebijakan pimpinan yang bermasalah secara regulatif akan menimbulkan dilema bagi ASN pelaksana teknis kebijakan. Ketidakpatuhan atas perintah berujung pada mutasi tidak nyaman, penundaan kenaikan pangkat, atau isolasi sosial di lingkungan kerja yang dianggap sebagai pembangkangan atas loyalitas terhadap pimpinan. Sementara itu, pembenaran kolektif dengan narasi normalisasi budaya yang tidak patuh regulasi cenderung koruptif justru memperkuat siklus kepatuhan tanpa kritik. Ditambah lagi, sistem pelaporan sering kali tidak efektif dimana pelapor justru berisiko terintimidasi, sementara pelaku dilindungi oleh jaringan kekuasaan.
Kerusakan dari penyalahgunaan ini bersifat multidimensional. Kerugian negara tidak hanya terjadi melalui kebocoran anggaran, tetapi juga melalui inefisiensi dari proyek fiktif yang jelas tidak tepat guna. Secara organisasi, moral ASN yang jujur akan mengalami adaptasi yang cenderung mengarah pada kerusakan, sementara pesan yang terdengar oleh para oportunis adalah integritas yang tidak dihargai. Program yang ada akhirnya tidak lagi menyasar kepentingan rakyat tetapi melayani kepentingan segelintir kelompok atau golongan. Akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah runtuh dan hilang.
Diakui atau tidak, kita sering melihat pola yang memperlihatkan betapa berbahayanya dinamika ini. Dalam sejumlah kasus korupsi pengadaan barang misalkan, pimpinan mengeluarkan arahan lisan untuk memilih pemasok tertentu. Panitia lelang yang mengetahui adanya pelanggaran tidak berdaya melawan tekanan atasan. Akibatnya, barang yang dibayar tidak sesuai dan menjadi temuan, dan yang lebih tragis, ASN di level pelaksana kerap menjadi terdakwa di pengadilan, sementara pimpinan sulit dijerat akibat kurangnya bukti formal.
Dalam praktiknya, garis pemisah antara kebijakan pimpinan yang inovatif dan koruptif sering kali kabur dan cenderung sulit dibedakan. Hal ini dikarenakan sifatnya yang iregulatif, inkonsisten, ad hoc dan mungkin subjektif dalam artian tidak untuk kebijakan umum. Meski demikian, setidaknya terdapat tiga parameter kunci yang dapat dijadikan acuan untuk membedakan keduanya:
Namun demikian, yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah bahwa keberadaan kebijakan pimpinan yang sehat tidak hanya bergantung pada integritas individu, tetapi juga pada kekuatan sistem dan budaya kerja dan organisasi. Institusi dengan pengawasan internal ataupun eksternal yang kuat, audit yang independen, dan mekanisme pelaporan yang terintegrasi tentu akan cenderung meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebaliknya, sistem yang lemah akan membiarkan kebijakan koruptif tumbuh subur.
Di samping itu, budaya Organisasi yang Mendukung Integritas juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam menciptakan kebijakan yang sehat. Lingkungan kerja yang menghargai keberanian moral, menghukum pelanggaran, dan mendukung ASN yang melaporkan penyimpangan akan mendorong kebijakan yang inovatif dan akuntabel. Hal ini juga didukung dengan adanya profil pemimpin yang transparan, bertanggung jawab, dan berorientasi pada pelayanan publik yang akan menurunkan nilai-nilai integritas kepada bawahan.
Kebijakan pimpinan dalam birokrasi ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia mampu mendorong inovasi dan memecah kebekuan dan kekakuan prosedur standar. Namun di sisi lain, ia justru memiliki potensi menjadi celah yang sistematis untuk korupsi. Tantangan terbesar terletak pada batasan yang kabur antara diskresi yang legitimate dan penyalahgunaan wewenang. Aparatur Sipil Negara (ASN) pada level pelaksana kebijakan sering terjepit antara tuntutan hierarkis dan integritas moral, sementara sistem yang lemah dan budaya feodal memperburuk kerentanan ini.
Langkah konkrit untuk memastikan kebijakan pimpinan bergerak ke arah inovasi progresif bukan korupsi destruktif, paling tidak ada beberapa hal:
Pada akhirnya, kebijakan pimpinan yang inovatif ataupun koruptif tidak sesimpel membedakan hitam dengan putih ataupun sebaliknya. Ia adalah cerminan kompleksitas birokrasi yang terus bergulat dan berdialektika antara tradisional dan modernitas, antara hierarki dan integritas bahkan antara fundamental dan Incremental. Kita mungkin dapat berharap transformasi dan perbaikan dapat terwujud jika seluruh elemen (pimpinan, ASN, sistem pengawasan, dan masyarakat) bergerak bersama menuju tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik.