Di balik setiap acara pemerintahan, laporan kegiatan, dan surat tugas yang rapi tersusun, ada satu kelompok yang jarang disebut namanya, tapi selalu hadir. Yaitu kaum Umbies, sebutan bagi ASN muda yang serba bisa, serba tanggap, dan sering kali serba disuruh.
Mereka bukan pejabat, bukan pula perencana strategis. Tapi tanpa mereka, banyak hal tidak akan berjalan. Kaum Umbies adalah tangan kanan tanpa nama, pemikir diam di balik layar, dan motor kecil yang membuat mesin birokrasi tetap hidup.
Menjadi Umbies bukan perkara mudah. Mereka masuk dunia ASN dengan semangat perubahan, membawa idealisme bahwa birokrasi bisa dibuat lebih efisien, lebih berdampak, lebih manusiawi. Namun, yang mereka temukan sering kali berbeda, sistem yang lambat, hierarki yang kaku, dan budaya kerja yang lebih menghargai masa jabatan daripada hasil.
Di sinilah seni bertahan itu diuji. Kaum Umbies belajar bahwa perubahan tidak selalu harus besar. Kadang cukup dengan memperbaiki format laporan, membuat desain lebih komunikatif, atau mengusulkan sistem digitalisasi sederhana.
Perubahan kecil, tapi berarti.
Sering kali, mereka diminta mengerjakan pekerjaan yang bahkan bukan tugas pokoknya. Dari membuat surat, menulis naskah pidato, hingga menyiapkan paparan pimpinan menjelang rapat penting. Kadang tanpa ucapan terima kasih, kadang tanpa tercantum dalam laporan.
Namun, kaum Umbies punya cara sendiri untuk bertahan. Mereka tidak sekadar “menjalani,” tapi mengolah pengalaman menjadi pelajaran. Mereka tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan kapan harus menyelipkan inovasi di antara tumpukan berkas.
Di tengah birokrasi yang sering berjalan di tempat, mereka diam-diam berlari.
Kaum Umbies sadar, menjadi ASN bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan, tapi juga kecerdasan dalam menjalankan aturan itu agar tetap relevan. Mereka belajar berpikir kritis tanpa melawan, berinovasi tanpa menabrak, dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.
Mereka adalah generasi yang terbiasa multitasking, bisa membuat konsep acara sekaligus menjadi fotografernya, bisa menyusun laporan sekaligus membuat konten medianya. Di tengah keterbatasan, mereka menemukan cara untuk terus berdaya.
Seni bertahan bagi kaum Umbies bukan sekadar soal bertahan hidup dalam sistem, tapi bagaimana tetap bermakna di dalamnya. Bagaimana tetap punya idealisme, walau sering kali ide-ide mereka diabaikan. Bagaimana tetap bersemangat, meski kerja kerasnya tidak selalu diakui.
Karena pada akhirnya, mereka tahu, setiap perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil. Dan selama mereka masih bisa berpikir, berkreasi, dan bekerja dengan hati, maka mereka masih menjadi bagian penting dari perjalanan birokrasi menuju arah yang lebih baik.
Tidak semua orang kuat menjadi Umbies. Butuh mental baja untuk tetap bersemangat ketika ide ditunda, butuh kesabaran panjang untuk tetap tersenyum ketika hasil kerja diakui orang lain. Namun di situlah keistimewaannya, mereka tumbuh dalam tekanan, tapi tetap berakar pada semangat pengabdian.
Mereka tidak selalu bersuara keras, tapi hasil kerja mereka berbicara. Mereka tidak menuntut pujian, tapi diam-diam memperbaiki sistem. Dan mungkin, tanpa mereka sadari, mereka sedang mempraktikkan seni tertinggi dalam dunia birokrasi.