Hangat Matahari Pagi

Pagi ini, jam 08.30, saya berniat untuk memperpanjang masa berlaku STNK di Mall Pelayanan Publik (MPP). Pengalaman datang ke MPP pada tahun-tahun sebelumnya membuat saya terkesan dengan inovasi dan kolaborasi layanan publik pemerintah ini. Dengan pengalaman mengesankan itulah saya bersemangat untuk datang ke MPP lagi.

Lokasinya dekat dengan kantor tempat saya bekerja. Hanya 'selemparan tombak' saja. Saya biasa berjalan kaki sambil menikmati hangat matahari pagi saat menuju ke sana. 

Seluruh persyaratan sudah saya siapkan sejak dari rumah, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya. Berbekal informasi dari 'Mbah Google', saya yakin tidak akan ada yang tertinggal. Tapi rupanya, saya keliru.

Tidak perlu waktu lama untuk menyadari kekeliruan itu. Sebab, antrian masih sangat pendek dan karena saya datang di jam pertama loket pelayanan SAMSAT mulai beroperasi. Petugas berseragam Polisi dengan sangat ramah menyarankan saya untuk melengkapi persyaratan yang belum terbawa.

Saya pun kembali ke kantor untuk mengambil persyaratan yang tertinggal. Tidak ada kekesalan yang menjangkiti perasaan saya selama berjalan di bawah hangatnya matahari pagi lagi. Saya masih optimis, urusan STNK itu bisa selesai setelah saya kembali lagi ke MPP. Optimisme itu pun masih tetap saya rasakan saat harus mengantri lagi di depan loket pelayanan.

Akan tetapi, petugas berseragam Polisi yang saya yakini memang Polisi itu kembali menyarankan saya untuk melengkapi kekurangan lainnya. Tapi kali ini kekurangannya tidak serta merta saya akui. Ia menginformasikan bahwa STNK saya telah diblokir karena belum membayar denda pelanggaran lalu lintas. Ia pun meminta saya untuk mendatangi Kantor Polisi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Saya tidak terlalu kaget dengan informasi yang ia sampaikan, namun saya tidak serta merta mengakui pelanggaran yang ia maksud. Pasalnya, saya sudah pernah menyanggah pelanggaran itu beberapa bulan lalu. 

Salah Pilih Foto

Sepucuk surat datang ke rumah saya. Dari amplopnya saya bisa langsung mengenali bahwa surat itu berasal dari kantor Polisi.

Isi surat itu bercerita tentang pelanggaran lalu lintas yang didakwakan kepada saya. Akan tetapi, meski nomor kendaraan dan alamat rumah yang dituju sudah benar, foto kendaraan yang tersemat di dalamnya bukan kendaraan saya. Lokasi pelanggaran yang tercantum dalam surat tersebut juga bukan jalan raya yang saya lewati. 

Orang lain yang mengetahui kejadian tersebut akan berkata bahwa surat itu salah alamat. Tetapi, saya tidak. Sebab, sebenarnya pada tanggal pelanggaran yang tercantum di dalam surat, saya memang melakukan pelanggaran. Secara tidak sengaja, saya masuk ke jalur cepat yang tidak boleh dilewati kendaraan roda dua. Akan tetapi, lokasi tempat saya melakukan pelanggaran berbeda dengan yang tercatat di dalam surat.

Saat pelanggaran itu terjadi, Polisi yang memberhentikan saya telah memberi tahu marka jalan yang saya langgar. Saya pun mengaku salah. Lalai memperhatikan marka jalan dan rendahnya intensitas melewati jalan tersebut menjadi alasan yang saya sampaikan kepadanya.

Adegan 'drama' berikutnya pun tentu sudah bisa ditebak. Dengan gaya bahasa yang santun, oknum polisi tersebut menawarkan 'jalan damai' untuk mengakhiri cerita pelanggaran itu. Sayangnya, saya memilih untuk tak menyambut tawaran itu. 

Rupanya penolakan itu tak segera disikapi dengan pemberian surat tilang. Sesaat, oknum polisi tersebut menghampiri komandan-nya yang 'berjaga' di tepi jalan. Setelah menerima arahan, ia pun mendatangi saya lagi yang menunggu di dalam pos. Ia pun berkata, "Nanti diproses lewat tilang elektronik aja ya, Pak!".

Tanpa pikir panjang, karena saya sudah harus bergegas menuju tempat tujuan, saya-pun mengiyakan. Saya kira prosesnya akan mudah. Frasa 'elektronik' membuat saya berasumsi bahwa denda pelanggaran itu bisa saya selesaikan dengan mudah. 

Bukti Pelanggaran Yang Tidak Diakui

Surat yang salah pilih foto itu pun saya bawa ke Kantor Polisi. Asumsi mudah yang saya pikirkan sejak awal berubah menjadi harapan tentang hilangnya kewajiban untuk membayar denda. Saya berharap, dengan foto kendaraan yang tidak sesuai, pelanggaran yang dituduhkan di dalam surat tersebut bisa saya sangkal.

Harapan itu juga menguat karena didukung minimnya alokasi anggaran yang saya miliki untuk membayar denda. Di momen ini integritas saya diuji. Di satu sisi saya mengakui kesalahan yang saya lakukan, namun di sisi lain saya sedang tak mampu membayar dendanya. 

Saat itu, diksi yang saya gunakan di hadapan Polisi benar-benar saya atur agar tidak sepenuhnya menyangkal pelanggaran tersebut. Saya hanya berkilah soal foto kendaraan yang ada di dalam surat bukanlah milik saya. Dari petugas yang melayani saya, saya mendapatkan informasi, "Mungkin plat nomor yang ada di dalam foto itu sama dengan plat nomor Bapak, sekarang ini banyak orang pakai plat nomor palsu".

Saya mengangguk sekaligus gamang. Saya bingung untuk memutuskan: apakah akan menceritakan pelanggaran sesungguhnya yang saya lakukan atau tidak. Sejurus kemudian, petugas itu mengembalikan surat yang saya bawa sambil berkata lagi, "Tilangnya sudah saya tutup ya, Pak". 

Sontak saya pun bertanya, "Berarti saya tidak perlu bayar dendanya nih, Pak?".

"Gak perlu", jawabnya.

Mendengar jawabannya membuat saya ingin memuji Tuhan dengan suara keras. Tapi rasa malu menahan saya. Saya khawatir, rasa syukur itu justru membuka aib yang sesungguhnya. 

"Baik, Pak. Terima kasih ya, Pak!", kata saya.

Saya keluar dari kantor polisi dengan perasaan campur aduk. Tidak bisa saya pungkiri saya merasa sangat bersyukur, tapi bukti pelanggaran yang tidak saya akui itu tetap terus menghantui. 

Yang bisa mengurangi rasa bersalah saya saat itu adalah adanya kemungkinan denda tersebut tetap bisa saya tanggung ketika datang waktu untuk membayar pajak. Sudah banyak cerita yang saya dengar tentang itu. 

Oleh karenanya, saya merasa percaya diri untuk beranggapan bahwa kejadian ini adalah pertolongan dari Tuhan untuk hamba-Nya yang sedang tidak sanggup membayar denda. Pada waktunya, saya tetap harus menanggung kesalahan yang saya perbuat. Rupanya, penerawangan saya benar. Hari ini, saya harus menanggung denda yang sempat tertunda itu.

Seseorang Tak Dikenal

Berbekal informasi dari Polisi di MPP, saya bergegas ke Kantor Polisi yang sama dengan yang saya datangi beberapa bulan lalu. Saat saya merasakan datangnya 'pertolongan Tuhan' berupa penundaan pembayaran denda tilang. 

Sayangnya, saya tidak bertemu dengan petugas yang sama dengan kali pertama saya ke sana. Jika iya, mungkin kronologis penyangkalan itu akan lebih mudah saya ungkit. Akhirnya, saya harus menceritakan kembali bahwa saya pernah menyanggah sebuah surat pelanggaran yang 'salah pilih foto' itu kepada petugas kali ini.

Respon yang saya terima dari petugas tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Data di sistem tilang elektronik tidak sejalan dengan cerita yang saya sampaikan. Tidak ada riwayat saya pernah menyanggah pelanggaran tersebut. Yang ada justru bahwa pelanggaran tersebut telah dikonfirmasi/diakui oleh seseorang yang lain, sehingga dendanya tetap harus dibayar.

Petugas itu pun menunjukan identitas seseorang dimaksud. Namanya bukan nama saya, dan alamatnya bukan alamat saya. 

"Apa-apaan ini?", kata saya dalam hati. 

"Jangan-jangan ini adalah hukuman karena saya tidak mengakui pelanggaran yang saya lakukan", gumam saya.

"Waktu itu, Bapak dilayani oleh siapa?", tanya Polisi yang melayani saya.

"Maaf, saya ga tanya namanya Pak. Kebetulan memang tidak ada di ruangan ini sekarang", jawab saya sambil melihat berkeliling ruangan.

"Kalau saya cuma bisa sampaikan apa yang ada di sistem ya, Pak. Kalau Bapak tetap menyanggah, kendaraan Bapak akan diblokir".

Saya pun terdiam sejenak. Setelah menarik nafas beberapa kali, saya pun bertanya.

"Kalau begitu saya bayar aja dendanya, Pak. Tapi berapa ya, Pak?".

"Seratus lima puluh satu ribu", jawabnya.

"Alhamdulillah", ucap saya dalam hati.

"Ya sudah saya bayar saja, Pak. Kalau segitu, insyaa Allah ada".

Polisi itu merespon kesediaan saya dengan berat hati. Dalam pikirannya, mungkin saya telah melakukan tindakan yang heroik. Tapi bisa jadi tidak. Yang pasti, kali ini, saya merasa jauh lebih lega ketimbang kali pertama saya datang ke ruangan itu. Kali ini saya tidak lagi merasa bersalah.

Meskipun akurasi data yang ada di sistem tilang elektronik masih membingungkan, saya memilih untuk tidak memperdebatkannya. Entah, seseorang yang tak saya kenal itu benar-benar melakukan konfirmasi pelanggaran atau tidak, saya tidak peduli. Bagi saya, urusan pelanggaran ini sudah selesai.

Petualangan Belum Usai

Setelah melakukan pembayaran denda di Bank terdekat dengan kantor polisi, saya bergegas kembali ke MPP untuk membayar pajak. Adzan zuhur sudah berkumandang saat saya berangkat. Saya sudah menduga akan tiba di MPP saat masih jam istirahat. Tapi setidaknya, saya bisa mengantri lebih awal setelah jam istirahat berakhir dan kembali ke kantor sebelum jam 14.00.

Rupanya, prediksi saya meleset. Polisi di MPP kembali 'memupuskan' harapan saya. Alih-alih saya mendapatkan STNK yang sudah diperpanjang, di pertemuan yang ketiga dengannya hari itu, ia mengarahkan saya untuk membuka blokir ke Kantor Polda.

"Astaghfirullah", ucap saya dalam hati. 

"Mungkin ini konsekuensi atas penundaan pembayaran denda yang Tuhan berikan", pikir saya.

Dengan energi yang semakin menipis, saya pun beranjak dari MPP ke Kantor Polda. Siang itu matahari masih sehangat tadi pagi. Mendung menghalangi teriknya. Petualangan memperpanjang STNK saya belum usai.

Tidak Se-Elektronik Itu

Setiba di Kantor Polda, saya bertanya ke salah seorang petugas tentang tempat pembukaan blokir. Petugas di depan pintu masuk mengarahkan saya naik ke lantai 4.

Suasana tempat pelayanan itu sangat ramai. Saking ramainya, sirna anggapan saya tentang layanan publik berbasis elektronik yang sebelumnya sempat saya bayangkan. Saya membayangkan layanan tilang elektronik akan lebih mudah ketimbang layanan tilang kovensional. Sayangnya, saya 'tertipu' karena frasa elektronik itu.

Si lantai 4 saya disapa dengan ramah oleh petugas lainnya. Ia menanyakan maksud kedatangan saya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan dan dokumen yang saya bawa, ujian kesabaran itu datang lagi.

"Untuk membuka blokir, Bapak harus ke lantai 1 dulu. Bapak ke loket tata usaha", ujarnya.

"Ya Tuhan", keluh saya dalam hati.

Saya kembali menuruni tangga yang sebelumnya buru-buru saya naiki. Pemandangan di lantai 1 tak ubahnya di lantai 4, sangat ramai bahkan lebih ramai lagi. 

Di loket tata usaha saya menyerahkan dokumen dari Kantor Polisi sebelumnya untuk proses pembukaan blokir. Petugas di sana bilang, "Bapak tunggu saja, nanti dipanggil".

Kira-kira setengah jam setelahnya saya merasa ada yang tidak beres. Ditambah lagi waktu sudah menunjukan pukul 14.30. Sebentar lagi loket pelayanan akan tutup. Ada kekhawatiran kalau saya harus kembali lagi ke tempat itu keesokan harinya. Hari itu saja sudah banyak membuang jam kerja saya. Besok, saya tidak mau membuang jam kerja lagi.

Saya pun bertanya ke petugas di loket tata usaha itu. 

"Maaf, buka blokir saya apa sudah selesai, Pak?", tanya saya.

"Nomor platnya berapa ya, Pak?", tanya petugas sambil bersiap mengetikan plat nomor ke sistem yang ada di layar komputernya.

Setelah mendengar nomor plat kendaraan yang saya sebut, ia bilang.

"Belum, Pak. Bapak tunggu aja, nanti dipanggil di sebelah", jawabnya sambil menunjuk ke arah petugas di sebelahnya.

Kali ini saya mulai kesal. Sebab, ekspektasi saya adalah menunggu panggilan darinya, bukan dari rekan di sebelahnya.

Beberapa menit kemudian, dengan kekhawatiran yang sama, saya pun memberanikan diri untuk bertanya ke petugas yang ditunjuk tadi. 

"Maaf, Bu. Buka blokir saya sudah selesai belum, ya?", tanya saya.

Dan jawaban petugas itu pun sama dengan petugas sebelumnya. Tak lama mereka berdua pun berdebat soal dokumen yang sudah saya serahkan. Petugas pertama merasa sudah menyerahkan ke petugas kedua, sementara petugas kedua tidak merasa menerimanya. Kekonyolan itu berakhir dengan fakta bahwa dokumen saya masih ada di meja petugas pertama.

Lalu, petugas kedua mengembalikan dokumen yang telah dibubuhi tanda di atasnya. Tanda yang sangat mirip dengan tanda Guru SD menilai pekerjaan rumah saya dulu. 

"Cuma gini doang, nih?", tanya saya dalam hati.

Saya heran, namun saya tetap harus kembali ke lantai 4 untuk menyudahi 'hukuman' ini. Setiap langkah untuk menaiki tangga memperparah keheranan saya tentang tanda itu. Proses buka blokir yang saya bayangkan tidak sesederhana itu. Tapi tidak sedikitpun saya melihat kedua petugas itu melakukan upaya yang pantas untuk mewakili aktivitas yang bernama 'buka blokir'.

Kalau sekedar memberi tanda seperti itu, semua pena dan semua petugas bahkan saya pun bisa. Tidak perlu mondar-mandir naik-turun tangga untuk membuat tanda semacam itu. Lagipula, untuk sebuah layanan yang menggunakan frasa 'elektronik', rasanya sudah tidak tepat melibatkan goresan pena lagi.

Pelajaran Yang Berharga

Adzan ashar melepas kepergian saya dari Kantor Polda. Waktu menunjukan pukul 15.30, butuh tujuh jam untuk menyudahi semua 'hukuman' ini. Lutut saya sudah terasa sangat lemas berkat petualangan hari ini. Untungnya, hangat matahari sore dan spanduk bertulisan: "Selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam" dengan wajah Pak Hoegeng di pagar Kantor Polda cukup menghibur rasa lelah serta membuat saya merenung. Ada banyak hikmah yang bisa saya ambil dari cerita ini.

Dari pengalaman merasakan tilang elektronik saya belajar untuk tidak menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap kualitas layanan publik berbasis elektronik. Harapan untuk mendapatkan layanan yang cepat itu dipatahkan dengan cerita hari ini. Akan tetapi bukan berarti saya tidak memberi apresiasi terhadap kinerja Polri. Saya hanya berusaha untuk tidak terlalu dini menilai kualitas sesuatu hal hanya dengan melihat namanya.

Ada banyak kejanggalan yang saya lihat di Kantor Polda, yang membuat ekspektasi saya terhadap layanan publik berbasis elektronik itu sedikit memudar. Tapi saya sadar. Mungkin, baik Polri, biro jasa, maupun masyarakat pun butuh proses. Mungkin, di antara mereka ada yang masih perlu menyesuaikan diri. Sebagaimana saya ketika mendapatkan penundaan pembayaran denda tilang dari Tuhan, mungkin, mereka pun mengharapkan penundaan juga.

Pelajaran lainnya adalah tentang integritas. Mungkin, jika beberapa bulan lalu saya bersegera untuk juru, mengakui dan membayar denda pelanggaran lalu lintas, kejadian hari ini tidak akan saya alami. Ketidakmampuan membayar denda seharusnya tidak menghalangi kejujuran itu sehingga saya tidak akan kehilangan jam kerja dan energi lebih besar untuk mengurus semua ini. Dan yang lebih penting lagi adalah tentang menaati peraturan berkendara. Mungkin, jika saya tidak lalai dalam mematuhi marka jalan, pelanggaran itu tidak akan terjadi.

Tapi, saya bersyukur bisa mengalami kejadian ini. Kalau dibilang 'Kapok Kena ETLE': "Ya!", namun dari kejadian ini pula saya mendapatkan 'pelajaran' yang berharga. #aksaraAbdimuda 

Bagikan :
Tag :