Korupsi di Indonesia bagaikan "cancer" yang tak jua mendapat penyembuhan total. Korupsi merampas hak rakyat, menghancurkan harapan generasi muda, dan mencederai cita-cita kemerdekaan negara kita. Bagaimana tidak dapat kita biasa lihat jalan yang seharusnya mulus menjadi berlubang karena anggaran diselewengkan, sekolah yang mestinya kokoh ambruk sebelum waktunya, bayi yang meninggal akibat pelayanan Kesehatan dimana peralatan Kesehatan yang dikorupsi. Pelayanan publik pun hanya mengalir lancar bagi mereka yang mampu memberi “uang pelicin” dan itu mengakar dalam benak setiap individu dalam negara ini. Data Transparency International (2023) memberi gambaran getir skor Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia stagnan di angka 34/100, menempatkan negeri ini di urutan 115 dari 180 negara. Fakta lain dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, ASN masih mendominasi aktor korupsi di tanah air. Padahal, Aparatut Sipil Negara sejatinya adalah wajah negara di mata rakyat, pelayan publik, perekat bangsa, dan penjaga moral birokrasi.
Lalu, bagaimana kita berharap akan lahir Calon ASN yang bersih, jika sejak awal tidak berasal dari ruang-ruang yang berintegritas? Di sinilah kampus memainkan peran sentral. Kampus bukan hanya pabrik ijazah, tetapi laboratorium integritas tempat calon ASN belajar bahwa integritas bentuk konkrit pengabdian pada ilmu pengetahuan.
Indonesia butuh terobosan ideologis. Birokrasi yang bersih tidak cukup hanya dengan aturan hukum atau SOP. Kita memerlukan sebuah ideologi yang menjiwai ASN lintas generasi yakni Integritas Berkelanjutan. Prinsipnya sederhana integritas bukan proyek lima tahun atau jargon reformasi semata, melainkan komitmen moral yang diwariskan terus-menerus. Sama seperti Pancasila yang menjiwai bangsa, Integritas Berkelanjutan harus menjadi menjadi warisan yang diberikan Dosen kepada anak didiknya setiap generasi.
Kampus adalah miniatur birokrasi. Di dalamnya ada aturan, tata kelola anggaran, mekanisme pelayanan, hingga ruang interaksi antara “pejabat” yakni dosen dan “warga negara” yakni mahasiswa. Jika kampus gagal menjaga integritas, jangan harap birokrasi bisa bersih. Analogi dosen adalah pejabat dalam lingkungan kampus membuat integritas harus dimulai dari kepala dan menjalar ke tingkat bawah dan langkah-langkah nyata sudah dimulai sedikit-demi sedikit dalam intitusi saya. Di Universitas Nusa Cendana, terdapat kebijakan Rektor yang melarang mahasiswa melakukan bimbingan di luar lokasi dan jam kerja, serta melarang pemberian makanan, minuman, atau tanda terima kasih kepada dosen saat maupun setelah sidang skripsi. Aturan ini terlihat sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam dimana ini melatih mahasiswa untuk menghormati integritas akademik walaupun dengan nilai makanan yang tak seberapa, sekaligus menjaga dosen dari habit gratifikasi kecil-kecilan. Kampus yang menegakkan aturan seperti ini sedang membangun benteng integritas sedari dini. Ia sedang melatih generasi Calon ASN muda agar memahami bahwa gratifikasi bukanlah budaya, dan hubungan akademik tidak boleh dibeli dengan “tanda terima kasih”.
Dosen di perguruan tinggi negeri adalah ASN jua. Itu berarti dosen memikul dua peran sebagai pendidik intelektual sekaligus pelayan publik. Di ruang kuliah, dosen bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga penanam nilai khusunya nilai integritas. Dengan pendekatan pembelajaran baru yang di implementasi dalam intitusi saya yakni pembelajaran berorientasi case method, dosen dapat mengajak mahasiswa membedah kasus nyata korupsi di berbagai sektor baik kesehatan, pendidikan, bahkan tingkat daerah. Mahasiswa terus diajak oleh dosen untuk peka menganalisis siapa aktornya, kerugian negara, dan siapa yang paling dirugikan. Dari sana tumbuh kesadaran bahwa korupsi bukan sekadar masalah birokrasi, melainkan menjadi masalah peradaban manusia itu sendiri. Dengan metode pembalajaran yang kritis ini kami merangsang kepekaan mahasiswa akan penderiataan yang ditumbulkan dari penyakit korupsi. Tidak sekedar kemampuan berpikir kritis tapi keberanian untuk menyuarakan ketiakadilan, membela kelompok rentan dan melawan sistem korupsi adalah tujuan akhir. Lebih jauh, sebagai dosen kami juga harus memberi teladan. Menolak gratifikasi, menghindari konflik kepentingan, menjaga obyektivitas dalam penilaian akademik, semua itu adalah bagian dari pendidikan karakter. ASN dosen yang berintegritas akan melahirkan mahasiswa yang berintegritas.
Jika birokrasi adalah panggung besar abdi negara, maka kampus adalah ruang latihan menjadi calon abdi negara. Di sanalah calon ASN, calon pejabat publik, calon pemimpin bangsa diuji karakternya. Laboratorium integritas di kampus melatih mahasiswa untuk berkata jujur, menolak gratifikasi, bekerja sesuai aturan, dan menghargai proses. Kita tidak boleh menunggu KPK sendirian berperang melawan korupsi. Gerakan antikorupsi harus ditanam sejak mahasiswa, dirawat oleh dosen, ditegakkan oleh kebijakan kampus, dan diwariskan menjadi ideologi. Dari jalan inilah lahirlah ASN masa depan yang tegak lurus, bermartabat, dan siap menjaga Indonesia.
#aksaraAbdimuda