Bayangkan sebentar: sebuah sinetron panjang, tayang setiap hari dari Senin sampai Jumat (dan kadang lembur Sabtu), durasi tayang 8 jam penuh, tanpa jeda iklan. Judulnya: "Cinta Dalam Dinas" atau mungkin "Intrik di Ruang Tunggu Tanda Tangan." Genre? Campuran antara drama keluarga, thriller psikologis, dan kadang komedi slapstick. Lokasinya? Ya tentu saja kantor pemerintahan.
Dan siapa bintangnya? Tentu saja: ASN.
Aparatur Sipil Negara. Pemeran utama sejati. Perannya bisa ganda: kadang sebagai korban sistem, kadang sebagai tokoh antagonis, kadang figuran yang mendadak jadi spotlight saat ada inspeksi mendadak.
Dalam dunia sinetron, waktu bisa berhenti. Satu adegan bisa diulang dari berbagai sudut kamera. Begitu juga di kantor. Sebuah nota dinas bisa menunggu berhari-hari hanya demi... satu tanda tangan. Entah mengapa, keberadaan pejabat struktural selalu misterius. Hari ini ada di lapangan, besok rapat, lusa "WFH terbatas", minggu depan dinas luar.
Para ASN pun belajar seni bersabar. Mereka menatap map dengan harapan, sambil bisik-bisik, “Padahal tinggal paraf.”
Di balik printer yang sering mogok dan dispenser tanpa galon, ada dinamika tak kalah panas dari sinetron Ikatan Dinas. Gosip berkembang lebih cepat dari e-mail resmi. Siapa yang dipanggil Pak Sekda, siapa yang dekat dengan Kabid, siapa yang dititipkan dari “atas” semua jadi bahan narasi tanpa skrip.
Di sinilah keahlian komunikasi nonverbal ASN diuji: senyum separuh, bisik-bisik sambil menyeruput kopi sachet, serta tatapan penuh kode di balik kacamata minus.
Seorang ASN tak hanya dituntut kompeten, tapi juga cakap membaca suasana hati pimpinan. Kalau atasan lagi senyum, bisa ajukan usulan. Kalau diam dan gelap mata, ya sebaiknya ikut diam bahkan saat printer terbakar sekalipun.
Beberapa ASN bahkan sudah seperti analis kepribadian: tahu mana momen atasan lapar (jadi sensitif), mana waktu aman untuk minta izin cuti, atau kapan sebaiknya “tidak terlihat”.
Sinetron kantor pemerintah punya dialog khas:
“Perlu ditindaklanjuti secara teknis dan substantif.”
“Agar jadi perhatian bersama.”
“Sudah kami koordinasikan, tinggal menunggu hasil rapat lanjutan.”
Satu rapat bisa melahirkan tiga rapat turunan, dua grup WhatsApp, dan satu draf notulen yang entah siapa yang edit terakhir. Penonton alias publik hanya bisa bertanya: apakah ini sedang bekerja, atau hanya simulasi kerja yang sangat meyakinkan?
Di balik semua ini, ASN tetap manusia biasa. Ada yang idealis, ingin membenahi sistem. Ada yang realistis, mengisi absen sambil bertanya: “Kalau kerja keras tapi output-nya dikoreksi pimpinan yang belum baca, apa gunanya?”
Namun jangan salah. Justru dalam absurditas itulah muncul daya tahan luar biasa. ASN adalah aktor yang tahu naskah sering berubah, tapi tetap tampil maksimal. Bahkan ketika panggungnya gelap, honor belum cair, dan insentif menunggu revisi juknis.
Jika kantor pemerintah adalah sinetron, maka ASN bukan hanya bintang utama. Mereka juga penulis skrip darurat, kameramen (saat bikin dokumentasi kegiatan), bahkan properti (saat harus jadi MC mendadak).
Mereka hidup dalam birokrasi yang kadang kaku, kadang lucu, sering absurd. Tapi justru karena itulah mereka layak diapresiasi bukan karena drama yang mereka mainkan, tapi karena kemampuan bertahan dalam sistem yang kadang tak tahu siapa sebenarnya sutradaranya.
Dan seperti sinetron yang tak pernah tamat, mereka tetap datang setiap pagi. Membuka absen, menyeduh kopi, dan bersiap memainkan peran lagi. Entah sebagai pembuat kebijakan, pengolah data, atau sekadar “penerima disposisi”.
Karena, pada akhirnya, yang membuat kantor tetap berjalan bukan hanya sistem. Tapi para pemeran utamanya.