Pemerintah telah melakukan kebijakan penyederhaan birokrasi melalui pemangkasan struktur birokrasi. Pemangkasan ini bertujuan untuk meringkaskan alur pelayanan kepada warga negara. Dengan kata lain, pemerintah mengalihkan beberapa level jabatan administrasi ke jabatan fungsional dan dikenal dengan sebutan penyetaraan jabatan. Jabatan administrasi yang dialihkan meliputi eselon 3, 4 dan 5. Pada pemerintahan daerah, eselon 4 dan eselon 5 yang menjadi “korban” pengalihan ini dan telah terlaksana sebelum 31 Desember 2021.
Sebagai pegawai di pemerintah daerah yang telah bekerja selama delapan belas tahun, tentu saja saya mengalami perubahan penyetaraan jabatan ini. Namun menjadi masalah saat jabatan fungsional tertentu yang telah mengikat ini tidak mendapatkan “tuntunan” yang semestinya. Dibandingkan dengan jabatan fungsional pada rumpun kesehatan dan rumpun pendidikan, jabatan fungsional tertentu lainnya menjadi asing di dengar bahkan bagi pemangku jabatan itu sendiri.
Tuntunan yang dimaksud tentu saja bagi pegawai yang mengalami peralihan jabatan ini. Jika selama ini mendengar jabatan fungsional adalah tentang bekerja secara mandiri dan mendapatkan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya. Namun selama beberapa periode ini, para pemangku jabatan fungsional tertentu ini atau sering disingkat sebagai JFT merasa kebingungan saat ingin menanyakan tentang status dan tupoksi mereka. Kebingungan ini sangat dirasakan oleh pegawai pada pemerintah daerah seperti saya.
Mempunyai garis koordinasi secara horizontal dan vertikal membuat kami pemangku JFT ini harus mampu mengakomodir keinginan masing-masing instansi, dimana instasi kepegawaian daerah secara horizontal dan instansi pembina secara vertikal. Instansi teknis yang memiliki kementerian sebagai instansi pembina tentu saja membutuhkan rujukan tertentu yang berkaitan dengan status dan norma kepegawaiannya. Namun instasi kepegawaian daerah juga tidak dapat melepaskan tanpa regulasi yang pasti.
Misalkan saja, jabatan fungsional yang saya emban hanya memiliki dua jenis jabatan dengan kriteria keahlian dan keterampilan. Pada pemerintahan daerah yang terdiri dari beberapa organisasi perangkat daerah atau OPD, JFT tersebut tidaklah dimiliki oleh OPD lainnya. Jikapun secara rumpun dapat memiliki nama jabatan yang sama tetapi pada kenyataannya penentuan jabatan ini sangatlah ditentukan oleh instansi kepegawaian dan bagian organisasi di daerah tersebut. Akibatnya dimana sebuah organisasi dapat memiliki pilihan JFT saat penyetaraan jabatan lalu, namun tidak berlaku bagi beberapa pemerintahan daerah. Adanya kecenderungan untuk langsung menentukan nama-nama JFT pada organisasi tanpa melihat latar belakang pendidikan pegawai yang bersangkutan.
Masalah ini tidak seberapa dibandingkan dengan masalah-masalah yang muncul setelah pelantikan. Seperti tentang penyusunan Dupak dan pencarian angka kredit. Bagi pegawai yang terbiasa dengan pekerjaan secara struktural, kemudian beralih harus bekerja secara mandiri tentu saja mengalami goncangan yang signifikan. Misalkan saja, pekerjaan yang berkaitan dengan anggaran. Jika sebelumnya pemangku eselon 4 bertanggungjawab pada pelaksanaan program kegiatan yang tercantum dalam dokumen anggaran, bertanggung jawab secara langsung kepada atasan eselon dua, namun dengan peralihan ini pemangku JFT harus berusaha mencari dan menciptakan pekerjaan mandiri yang seringkali tidak didukung anggaran. Ironinya, di saat bersamaan para JFT ini tetap “dipaksa” untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan penganggaran.
Akibat dari penyetaraan yang dipaksakan ini, para JFT dadakan ini lebih banyak bermutasi ke tempat lain dengan alasan promosi dengan menjadi pegawai struktural. Namun pada hakikatnya, pegawai JFT bingung harus melakukan apa dan bagaimana status mereka ke depan. Untungnya saat yang bersamaan munculnya regulasi yang menyatakan bahwa tidak diperlukannya angka kredit sebagai syarat untuk peningkatan pangkat dan golongannya. Regulasi ini otomatis mengurangi beban mental yang harus di tanggung oleh pegawai yang bersangkutan.
Selain itu, walaupun terdapatnya sejumlah formasi jabatan hasil penyetaraan jabatan tersebut, bukanlah sebuah peluang sehingga pegawai yang ingin menjadi JFT tersebut dapat mengisi ruang yang kosong tersebut. Diperlukannya penghitungan formasi jabatan yang harus diajukan oleh pemerintah daerah kepada kementerian PAN RB. Proses pengajuan formasi ini memerlukan rekomendasi dari instansi pembina dalam hal ini kementerian tempat nama jabatan JFT tersebut berada.
Disinilah munculnya ego sektoral antara pemerintah daerah dan kementerian terjadi. Pada satu sisi, sudah sebenarnya bahwa pemerintah daerah tunduk kepada kementerian dalam negeri dan kemenpan RB, sehingga regulasi dari merekalah yang menjadi acuan dalam hubungannya dengan status kepegawaian seseorang. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kementerian teknis mempunyai regulasi tersendiri berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi dari para jabatan yang tersedia di bawah binaan dan naungan mereka. Tarik ulur regulasi inilah yang membuat saya dan teman-teman JFT ini seperti anak ayam kehilangan induk. Tidak tahu harus kemana dan bagaimana melakukan pekerjaan. Agar kenyamanan bekerja itu dapat terwujud. Sebuah quote dari Jhon F. Kennedy menyatakan "Perubahan adalah hukum kehidupan. Dan mereka yang hanya melihat ke masa lalu atau masa kini pasti akan kehilangan masa depan." Dari sini kita belajar, bahwa dimana pun kita, bahkan menjadi anak ayam yang kehilangan induknya, kita harus menerima perubahan yang terjadi. (rr)
#ASNmenulis #ASNbercerita #ASNpunyacerita #JFT #Jabatanfungsional