"Suasana rumah sakit tidak lagi menjadi menjadi momok yang menakutkan bagi Made. Perlu lebih dari satu dekade bagi Made kecil yang kini telah tumbuh dewasa untuk mengubur trauma masa kecilnya. Pasca pemulihan dengan waktu yang tidak sebentar, ia tak ingin trauma ini terulang kembali, terlebih bagi anak anak di usianya"
Ungkapan "Orang Miskin Tidak Boleh Sakit" pernah menjadi ungkapan yang relevan bagi Made. Kondisi keterbatasan ekonomi yang sejalan dengan keterbatasan lapangan kerja di era belum berkembangnya pariwisata Bali secara masif pada pertengahan tahun 2007 berimplikasi pada tidak terjaminnya kehidupan Made termasuk dalam jaminan kesehatan. Kondisi sakit sering menjadi pukulan telak bagi keluarganya. Puncaknya, pada suatu pertengahan malam di tahun 2007, kondisi mendengung disertai rasa nyeri dan pendarahan pada telinga memberikan rasa takut bagi seorang anak usia delapan tahun sepertinya. Di tengah malam, dengan menggunakan motor bebek, kedua orang tua hanya bisa membawa Made ke Puskesmas Pembantu desa setempat. Keterbatasan peralatan puskesmas berdampak pada tidak tertanganinya telinga Made yang terinvasi serangga. Sayang, saat dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih besar, ia tidak mendapat penanganan bahkan terkesan diacuhkan.
Tak ayal, kondisi tersebut menumbuhkan trauma baginya untuk berhubungan kembali dengan fasilitas kesehatan. Bayang-bayang ketimpangan pelayanan bagi masyarakat miskin masih membekas dalam pikirannya. Hingga empat belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2021, kondisi fisik Ibu Made perlahan menurun dan terdiagnosa Secondary Hypertension menyebabkan Made harus berurusan dengan rumah sakit bahkan rutin setiap bulannya. Syukurnya, Made dapat bernafas lega. Seluruh biaya pengobatan ter-cover dan rasa traumanya akan fasilitas kesehatan perlahan pulih.
Keluarga Made merupakan salah satu penerima manfaat program Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang merupakan salah satu jenis kepesertaan BPJS dengan iuran yang dibiayai melalui APBN maupun APBD. Fasilitas BPJS Kelas 3 termasuk pemeriksaan, obat-obatan, dan rawat inap telah dinikmati tanpa membayarkan iuran setiap bulannya. Hadirnya program ini bak setitik cahaya dalam gelap. Kini ia bisa bernapas lega, setidaknya ketika kondisi fisik cenderung terdegradasi, ia tak perlu membebankan psikisnya untuk memikirkan sumber pendanaan pengobatan.
Made merupakan salah satu dari jutaan penduduk Indonesia yang merasakan manfaat dari alokasi belanja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam bidang kesehatan. Hal ini merupakan implikasi dari berjalannya fungsi pajak sebagai fungsi budgetair, yaitu dalam membiayai pembiayaan rutin negara. Perlu disadari dalam setiap tahun anggaran, aspek kesehatan selalu konsisten dianggarkan secara optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjamin terselenggaranya pembangunan bidang kesehatan. Sebagaimana dalam APBN Tahun 2024, nilai dari anggaran Kesehatan mencapai 5,6% dari APBN dan tumbuh 8,7% dibandingkan outlook 2023 dengan salah satu target prioritas adalah cakupan penduduk menjadi peserta PBI melalui JKN/KIS yang mencapai 96,8 juta jiwa. Selain dari sisi kuratif, sisi preventif juga mendapat perhatian, khususnya dalam upaya mempercepat penurunan prevalensi stunting. Tujuannya, tentu saja untuk kemajuan SDM Indonesia di masa mendatang.
Beranjak dari pemerintah pusat, penyusunan APBD oleh pemerintah daerah juga dilakukan dengan konsisten dan memadai dalam mengalokasikan anggaran kesehatan. Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024, dinyatakan bahwa kesehatan menjadi bagian dari mandatory spending, yaitu belanja yang telah diatur oleh undang-undang dalam mengurangi permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi, baik dalam skala nasional maupun daerah. Hingga tahun 2023, pemerintah pusat berkewajiban mengalokasikan anggaran kesehatan dengan nilai minimal 5% dari APBN. Demikian halnya dengan pemerintah daerah yang wajib menganggarkan 10% dari APBD Tahun 2023. Pendek kata, semakin besar nilai yang dianggarkan pemerintah dalam APBN maupun APBD, maka semakin besar cakupan jaminan kesehatan yang bisa diberikan pemerintah, serta semakin berkurang pula jumlah Made-Made lainnya dengan persepsinya, “Orang Miskin Tidak Boleh Sakit”.
Berbekal pemikiran yang sederhana, dapat disimpulkan bahwa terjaminnya kesehatan masyarakat berawal dari optimalnya anggaran belanja yang disediakan dan ketersediaan anggaran belanja tentu bergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh. Menelisik dari komponen pendapatan negara dalam APBN Tahun 2024, pendapatan negara dianggarkan mencapai Rp2.802,3 Triliun dengan komposisi terbesar yaitu Rp2.309,9 Triliun berasal dari penerimaan perpajakan. Demikian pula dengan pemerintah daerah, sektor pajak daerah masih menjadi penyumbang utama dalam postur pendapatan asli daerah. Dapat dibayangkan, bagaimana transformasi pelayanan kesehatan seiring dengan peningkatan penerimaan perpajakan dan alokasinya ke belanja bidang kesehatan. Sebagai contoh nyata, kita dapat melihat bagaimana sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis di Finlandia yang digadang-gadang menjadi yang terbaik di dunia, yang sudah tentu dibiayai dari pajak bahkan dengan tarif PPh tertinggi mencapai 56,95%.
Sebagai warga negara kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan menyerahkan segala beban ke pundak pemerintah. Sebagai warga negara, kita hanya perlu melakukan pembayaran pajak dengan jumlah dan waktu yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Terlebih dengan mudahnya aksesibilitas pelayanan perpajakan saat ini melalui kanal digital atau daring ataupun penyederhanaan administrasi melalui penerapan NIK sebagai NPWP di Tahun 2024 ini, perilaku sadar pajak seyogianya dapat dengan mudah diimplementasikan oleh wajib pajak. Karena bersama kita tuntaskan kewajiban sebagai wajib pajak, bersama kita tumpaskan kesenjangan dalam pelayanan dasar kepada masyarakat.