Jalur Kolaboratif dalam Memberdayakan UMKM di Indonesia: Kebijakan, E-Procurement, dan Co-Production

Gambar sampul Jalur Kolaboratif dalam Memberdayakan UMKM di Indonesia:  Kebijakan, E-Procurement, dan Co-Production

Di era digital, lompatan Indonesia menuju tata kelola pemerintahan secara elektronik menandai pergeseran penting dalam cara pengadaan barang dan jasa pemerintah. Mandat pengadaan secara elektronik (e-procurement) yang dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) bertujuan untuk memastikan proses pengadaan yang tidak hanya efisien, tetapi juga inklusif, terutama bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Tulisan ini mencoba membuka diskusi mengenai potensi transformatif dari mengintegrasikan UMKM ke dalam sistem e-procurement di Indonesia. Apakah integrasi tersebut secara efektif mendorong produksi bersama (co-production)? Upaya kolaboratif antara entitas pemerintah dan bisnis dalam penyediaan layanan.

Co-production is an abstract concept with lots of varying definitions. It’s a way of creating and developing public services that involve citizens. The government doesn’t hand down a completed service. Instead, service recipients have a say in designing and shaping what’s offered to them. It’s a method in which everyday citizens share resources, outcomes, and risks. In return, they get greater control over the decisions that affect them.” (What Is Co-Production & How Can It Help Public Services?, 2019)

Jika dilihat dari jumlah UMKM terdaftar, fokus strategis LKPP untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam sistem e-procurement telah membuahkan hasil. Pada tahun 2022, jumlah pelaku usaha yang terdaftar di SIKAP mencapai lebih dari 300 ribu, naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya (LKPP, 2022). Dari seluruh pelaku usaha yang terdaftar di SIKAP, lebih dari 80% diklasifikasikan sebagai pelaku usaha kecil. Pemerintah telah mengamanatkan agar K/L/D mengalokasikan setidaknya 40 persen dari anggaran belanja mereka dengan memprioritaskan penggunaan barang/jasa UMKM. Oleh karena itu, peluang pasar bagi produk dalam negeri dan UMKM dalam pengadaan barang/jasa pemerintah semakin besar. 

Data tersebut menggarisbawahi potensi sistem ini untuk memfasilitasi ekonomi yang lebih produktif, mandiri, dan berkeadilan. Namun, perjalanan ini bukannya tanpa tantangan. Tingkat partisipasi aktif UMKM yang relatif rendah, jika dibandingkan dengan jumlah total di Indonesia, menyoroti hambatan yang ada, termasuk kesenjangan kebijakan dan sifat kompleks dari sistem pengadaan itu sendiri. Untuk mengatasi tantangan ini, LKPP telah memperkenalkan solusi inovatif seperti Katalog Elektronik, Toko Daring, dan layanan pelatihan, yang bertujuan untuk menyederhanakan masuknya UMKM ke dalam pasar e-procurement.

Eksplorasi terhadap partisipasi UMKM dalam sistem e-procurement di Indonesia ini mengungkap implikasi yang signifikan terhadap konsep co-production dalam penyediaan layanan publik. Inklusi UMKM tidak hanya memberdayakan bisnis ini secara ekonomi, tetapi juga mendorong model tata kelola yang menghargai partisipasi dan inklusivitas. Upaya-upaya tersebut berkontribusi pada tujuan yang lebih luas untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan publik melalui keterlibatan aktif para pemangku kepentingan. 

Perjalanan mengintegrasikan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) ke dalam sistem e-procurement di Indonesia memperlihatkan persimpangan yang menarik antara teknologi, kebijakan publik, dan pemberdayaan ekonomi. Ketika kita menavigasi transformasi digital pengadaan publik, sebuah pertanyaan penting muncul: Bagaimana kita dapat lebih meningkatkan partisipasi UMKM agar tidak hanya memenuhi tetapi juga melampaui tingkat keterlibatan saat ini? Terlepas dari keberhasilan berbagai inisiatif seperti aplikasi belanja Katalog Elektronik, Toko Daring, dan layanan pelatihan yang ditargetkan, tingkat partisipasi UMKM dalam permadani besar ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa kita baru mulai menggores permukaan. Skenario ini membuka spektrum yang luas dari poin-poin diskusi. Misalnya, hambatan apa yang masih menghalangi integrasi UMKM yang lebih besar ke dalam sistem e-procurement? Apakah kompleksitas proses pengadaan, kesenjangan kebijakan, atau mungkin tingkat literasi digital di kalangan pemilik UMKM? Selain itu, konsep co-production dalam penyediaan layanan publik-di mana pemerintah dan pelaku usaha secara kolaboratif berkontribusi-merupakan potensi yang belum dimanfaatkan. Bagaimana model ini dapat diimplementasikan secara efektif untuk memastikan bahwa kedua belah pihak tidak hanya menjadi partisipan, tetapi juga kontributor aktif dalam pengembangan dan penyediaan layanan publik? 

Peran platform digital dalam mendemokratisasi akses dan mendorong inklusivitas ekonomi tidak dapat dilebih-lebihkan, namun jalan untuk mewujudkan potensi ini penuh dengan tantangan dan peluang untuk inovasi. Bagaimana tata kelola digital dapat menjadi katalisator bagi sistem layanan publik yang lebih inklusif dan efisien? dengan mengajak seluruh pemangku kepentingan, terutama UMKM, untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam membentuk masa depan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Dari aspek mana kita harus fokus berbenah?

Referensi:

LKPP. (2022). Profil Pengadaan.

What is Co-Production & How Can it Help Public Services? (2019, July 28). Civil Service College. https://www.civilservicecollege.org.uk/news-what-is-co-production-how-can-it-help-public-services-230 

Bagikan :