“Aku tak pernah menuntut ke mana arus akan membawaku mengalir. Aku hanya punya keyakinan bahwa ia akan menyampaikanku pada muara. Muara itulah yang sejatinya akan mengajarkanku arti ketenangan, kebermanfaatan dan kesempatan. Aku bermanfaat pada apa yang aku punyai, mungkin kapasitas, mungkin keberanian, tekad loyalitas, kemauan, atau sekedar uluran tangan. Atas nama profesi, perjalanan ini aku telusuri”,
Aceh, April 2024
Lupa, doa manakah yang terkabulkan hingga Tuhan menunjukkan jalan agar saya menapakkan kaki di ujung barat negeri ini, Nanggroe Aceh Darussalam. “Tuhan, ijinkan saya kembali berkarir di profesi”, itulah mungkin musabab saya ditetapkan berkarir di PNS Kementerian Sosial. Bermula rindu setelah setahun resign dari Pekerja Sosial Adiksi di akhir 2016 atas dukungan suami saya coba ikuti seleksi CPNS. Proses berjalan lancar, hingga tahap akhir, dan saya dinyatakan lulus, berbeda dengan dua kali seleksi CPNS sebelumnya. Tahun 2013, awal menjadi fresh graduate ikutan daftar belum lolos, 2015 belum lolos juga. Mungkin memang harus ada pelajaran hidup dan ilmu dari praktik diluar yang harus saya miliki, itu pikir dan motivasi penguat internal saya. Mengedepankan keyakinan bahwa skenario terbaik Tuhan yang menentukan.
Benar mungkin kata orang, fresh graduate memang belum perlu pekerjaan tetap. Di sela rasa tidak percaya diri karena belenggu pikiran bahwa profesi pekerjaan sosial kurang diminati dan tidak banyak dibutuhkan terlebih di lingkup pemerintahan daerah. Lantas saya bangun penguatan hati, ah masih juga sebagai anak baru lulus kemarin. Saya harus menunjukkan kemampuan dan belajar banyak dulu, biar Tuhan yang memilihkan jalan selanjutnya. Fresh graduate perlu tempaan keras, proses belajar yang panjang, sarana pembentukan mental, juga fase penataan finansial. Pembentukan itulah yang akan memberi bekal fresh graduate tentang standar kematangan, matang pola pikir, sikap dan tindakan. Sehingga kemudian paradigma pribadi yang terbangun adalah kedewasaan.
Proses yang saya temui di empat tahun pertama pasca kelulusan memberikan bekal yang tidak sedikit, bekal yang tentunya tidak semua tentang bahagia/suka cita dan pujian tapi juga lara, air mata, ketidaknyamanan dan benturan hingga pertentangan. Tapi saya yakin, kalau tidak diberi kesempatan menghadapi proses demikian barangkali saya tidak bisa menjadi seperti ini, akan menjadi anak lulusan Pekerja Sosial yang biasa saja, berkompetensi sejauh apa yang saya punya, tidak lebih, hanya berilmu sekapasitas fresh graduate saja. Tapi proses empat tahun mengajari saya banyak pembelajaran, terimakasih Tuhan.
Tangga-tangga Perjalanan
Dua tahun pertama saya menjadi pegawai kontrak Kementerian Sosial, di Program Pelayanan Terpadu Gerakan Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera (Pandu Gempita), program baru di bawah Pusbinjabfung Kementerian Sosial di Tahun 2013 – 2015 lalu. Fokus penanganan di bidang Penanganan Fakir Miskin dan Pemberdayaan Masyarakat, program ini hanya dilaksanakan di 5 (lima) kabupaten/kota se Indonesia, salah satunya Sragen yang menjadi lokasi tugas penempatan saya. Tugas dengan menginduk di lembaga daerah yang belum ada profesi pekerja sosial di sana menjadi proses pembelajaran dan tantangan tersendiri, “mbabat alas”, dituntut menghadirkan profesi pekerjaan sosial dalam pelayanan, di awal program merasa kalang kabut itu pasti, dari mana harus memulai? Mewujudkan praktik profesi harus seperti apa? Di mana dalam konteks pekerjaan tersebut sebagai seorang fresh graduate saya belum begitu banyak pengalaman praktik, bingung orientasi program padahal sudah ada pedoman pelaksanaan.
Berbekal pengalaman praktik selama masa kuliah, teori dan pelajaran semasa mahasiswa, saya bersama seorang rekan bertekad melakukan improvisasi layanan berbasis keilmuan yang kami miliki. Banyak pelajaran bagaimana menyikapi dan menangani masyarakat miskin, ikut serta menyumbangkan pikiran, ide gagasan, tenaga dan waktu dalam upaya pemberdayaan masyarakat, tidak jarang menjadi tempat pengaduan, dan keluh kesah masyarakat kurang mampu, sedih iya – tapi kesedihan itulah yang pada akhirnya menjadi motivasi penguat saya semangat bekerja. Membantu masyarakat untuk berdaya.
Dalam pekerjaan ini saya mencoba mempadu padankan teori selama kuliah dengan kondisi di lapangan. Hingga akhirnya orang sekitar, lembaga setempat dan instansi terkait memahami apa dan bagaimana profesi Pekerja Sosial. Selalu saya bergumam, mengucap syukur atas keadaan, “Terimakasih Tuhan, telah mengajarkan arti kebermanfaatan dan kemuliaan”.
Dua tahun di bidang pemberdayaan masyarakat, saya tertarik dengan dunia baru namun masih tetap di ranah profesi, bergabunglah saya di “Pekerja Sosial Adiksi” . Ini dunia baru bagi saya, sepertinya akan lebih menantang dan memberikan pelajaran, pengalaman dan tantangan lebih. Itu harapan saya. Lolos seleksi masuk, resmilah saya menjadi bagian dari pekerja sosial adiksi di bawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA Kementerian Sosial RI di pertengahan 2015 sampai akhir 2016.
Harapan saya benar-benar terwujud. Terjun langsung di lapangan membersamai komunitas pengguna NAPZA semakin membuka pola pikir dan pengetahuan saya, tanggungjawab profesi ini ternyata besar. Pendampingan kepada anak korban penyalahgunaan NAPZA yang harus melakukan pendampingan di berbagai keadaan, menyeksamai fase demi fase proses pemulihan rehabilitasi, bahkan lingkup pergaulan yang semakin meluas dengan terhubung di komunitas yang mayoritas adalah memerlukan pendampingan rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA.
Melalui pendampingan sosial, rehabilitasi sosial setting rawat inap dan rawat jalan seperti halnya pengalaman praktik sebelumnya, menuntut saya secara langsung maupun tidak untuk terus belajar, belajar dari sana sini, banyak diskusi dengan senior yang lebih dahulu berkecimpung di bidang penanganan NAPZA, mengikuti diklat di kota A, kota B, berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Lelah itu pasti, namun itu semua sangat memberikan keuntungan lebih bagi saya, aspek ilmu saya lebih mendalam, espesially dalam bidang Peksos Adiksi.
Publikasi Profesi
Seiring melaksanakan layanan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA maupun pengalaman sebelumnya di setting Pemberdayaan Masyarakat menjadikan saya sedikit berani menyampaikan opini/pemberitaan terkait kesejahteraan sosial untuk konsumsi publik. Saya biasakan menulis essay, features atau opini sejenisnya di media-media massa, cetak maupun elektronik. Alasan terbesar saya adalah upaya membangun pemahaman tentang dunia kesejahteraan sosial tidak akan lengkap hanya dalam bentuk penanganan langsung tapi kita memerlukan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya melalui penyebaran informasi maupun opini ke media massa.
Mendokumentasikan best practice dalam bentuk buku, jurnal juga bagian terintegrasi yang saya yakini akan terus melambungkan nama profesi dan pemahaman masyarakat. Kondisi yang akhirnya terwujud atas upaya itu selanjutnya juga akan memudahkan kita sebagai pekerja sosial dalam menangani sasaran pekerjaan, dukungan oleh banyak pihak juga akan kita dapatkan. Mudah kan? Maka kepada semua rekan-rekan pekerja sosial di manapun berada, Era Industry 4.0 yang ada di depan kita harus disiasati dengan berkecimpungnya tangan-tangan kita menuangkan informasi dan gagasan tentang apa itu pekerja sosial, tentang capaian dan proses kinerja kita.
Menjaga Suhu Birokrat Kelas Internasional
Lima tahun berjalan, dengan asam garam pelajaran di lapangan membuat saya terus belajar bagaimana memaknai profesi sebagai bagian terintegrasi dalam diri. Nilai luhur profesi, etika dan tata nilai yang sudah harus terinternalisasi kemudian terhabituasi dalam diri menjadi bagian perenungan dan evaluasi setiap waktu.
Membincang sedikit perihal lingkungan pekerjaan, ketakutan pribadi tentang zona nyaman sebenernya menjadi ancaman yang saya takutkan. Jauh waktu sebelum menjadi bagian dari birokrasi pelayan masyarakat (PNS) kekhawatiran saya adalah kesibukan rutinitas, kenyamanan, keamanan finansial yang ke depannya akan mengkerdilkan kapasitas dan kompetensi saya sebagai seorang pekerja sosial. Sayang rasanya, mengenang perjuangan dan pengorbanan semasa kuliah, jatuh bangun belajar di STKS juga di organisasi yang memberikan sumbangsih banyak dalam pembentukan diri serta kapasitas, asam garam nyicipin dunia kerja yang tidak selalu tersenyum ramah. Panjang proses itu terlalu sayang kalau disia-siakan, tidak tega juga saya lunturkan setelah berada di dalam kenyamanan dan kemapanan setelah di dunia birokrasi.
Ketakutan itulah yang kemudian menjadi pedoman berpikir dan bersikap saya selanjutnya. Mencari lingkungan sekondusif mungkin, menentukan target capaian personal, mencari kompetitor dari dalam atau luar lingkungan PNS, bergabung dengan komunitas profesi juga di luar profesi. Intinya saya berusaha mencari muara yang tidak menggenang airnya. Riak dan ombak itulah yang akan menjaga saya dalam perbaikan dan perubahan. Target menjadi birokrasi berkelas internasional selalu saya kuatkan.
Sebagai seorang Pekerja Sosial Ahli Pertama, tingkatan awal dari hierarki jabatan pekerja sosial ahli, tanpa kesan menggurui serta tanpa menghilangkan rasa hormat saya pada senior atas nama profesi saya menitipkan pesan kepada rekan-rekan pekerja sosial di dalam lingkup dunia PNS, kita harus mampu menciptakan iklim kompetitif secara sehat sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita. Melalui inovasi, improvisasi dan pencapaian target personal yang kita miliki mampu senantiasa meningkatkan kapasitas diri dan profesi.
Bahkan serangkaian proses kenangan masa kuliah yang tidak simple kerap saya gunakan bahan refleksi untuk menjadi lebih baik lagi, meski kondisi sudah senyaman ini. Kenangan seperti halnya bagaimana awal meniti dunia pekerjaan sosial di bangku perkuliahan, yang awalnya merasa “saya salah ambil jurusan”, tiba-tiba merasa jatuh cinta dengan sendirinya. Pengalaman organisasi di masa kuliah yang seolah selaras memberikan dukungan bahwa saya harus kuliah dengan benar-benar. Sampai keinginan menebarkan virus cinta pada bidang profesi dengan membentuk pojok-pojok diskusi sepertihalnya Scientific Social Work Discussion dengan membahas isu hangat seputar pekerja sosial, menulis buku tentang tokoh-tokoh senior pekerja sosial serta jatuh bangunnya perjuangan orangtua menyokong biaya pendidikan.
Air mata dari memori masa lalu itulah yang termanifestasikan secara efektif sebagai cambuk prestasi dan kontribusi personal saya. Sudahlah tentu masing-masing dari kita punya manifestasi sejarah dan cerita yang berbeda.
Panggilan-panggilan Hati
Setibanya kaki ini di tanah Aceh, seolah dibukakan dengan lebar kedua mata dan telinga saya. Berinteraksi dengan beragam anak yang memiliki latar belakang keadaan hingga mereka menjadi anak yang memerlukan perlingungan, “Kakak, bantu saya ya”, itulah bisikan yang samar selalu terdengar di hati dan nurani diri.
Tidak saya pungkiri, meski telah sekian tahun berkecimpung dalam bidang penanganan kluster Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) air mata iba tak kuasa saya tahan paksa. Rapuh bathin saya rasanya, melihat anak dirampas haknya sebagai anak, diletalantarkan, dijadikan korban dan pelampiasan kesewenang-wenagan, eksploitasi, tipu goda NAPZA dan banyak lainnya juga.
“Ini tugas dan tanggung jawab profesimu, kewajiban dan manah atas keberadaanmu”, bekal itulah yang sejatinya selalu saya jadikan pegangan untuk menghentikan iba yang kadang berganti dengan keluhan. Keluhan? Iya, pun bagaimana tidak, menginfakkan diri di jalan profesi pekerja sosial menjadikan kita harus 24 jam siap menjalanakan tugas, terlebih jika tugas berada dalam lembaga rehabilitasi sosial seperti kami. Tengah malam diketok pintu untuk pendampingan kasus darurat, pulan kadang hingga larut karena kegiatan yang belum dapat ditinggalkan. Kontak banyak pihak untuk menuntaskan proses rehabilitasi, membantu anak untuk reintegrasi ataupun resosialisasi. Proses berkepanjangan dari asesmen sampai terminasi, selesai satu kasus masih menumpuk kasus lainnya.
Kapan pekerja sosial istirahat? Sejatinya, mendengarkan keberhasilan dari eks klien dampingan kita dapat bangkit dan kembali berfungsi sosial secara normal adalah obat dari kelelahan itu sendir. Melihat senyum anak-anak kembali merekah, mereka hidup dalam keamanan dan kenyamanan, hilang rasa trauma atas korban, mampu beraktivitas wajar dan kembali berfungsi sosial secara normal. Saat demikianlah sebagai seorang pekerja sosial saya merasakan keberhasilan, rasa berhasil yang sebanding lurus dengan menguapya kelelahan ataupun kejenuhan.
Logika Perlu Ilmu
Panjangnya rangkaian proses kerja yang dilakukan tentulah butuh ilmu, soft skill maupun hard skill. Ilmu yang didapatkan dari bangku-bangku kuliah disempurnakan dengan pendidikan lanjutan formal maupun informal yang senantiasa kita sempurnakan. Penyempurnaan ilmu itulah yang sejatinya menjadi sarana pengembangan kapasitas dan kompetnesi kita selaku pekerja sosial. Tingginya kompetensi serta kapasitas mengantarkan kita pada kemudahan serta kemampuan untuk menangani setiap masalah yang kita dampingi.
Demikianlah, cukup panjang perjalanan ini dikisahkan. Tapi yakinlah, profesi kita adalah sarana pengabdian yang mulia. Kita membantu orang dan pasti bantuan itu akan dihitung Tuhan serta dikembalikan pada kita. Cepat atau lambat akan kita rasakan. Tugas kita hanya memaknai proses, meluruskan setiap langkah dan tugas kemanusiaan in dengan ikhlas, tanggung jawab dan profesionalitas. Selebihnya percayalah,keajaiban akankerap kita jumpai seolah menjadi hadiah dan kejuran yang Tuhan kirimkan atas kerja-kerja, perjuangan dan pengorbanan kita.
Mantapkanlah langkahmu menjadi seorang pekerja sosial. Bukankah ini jalan profesi yang telah Tuhan pilihkan?
Tekan ego kita,
Kaki-kaki mereka tengah berhenti berjalan,
Terjatuh lumpuh, dalam luka yang menganga,
yang tak pernah mereka pinta.
Sakit mereka tahan, luka mereka paksa,
“Kami masih boleh punya cita-cita, kan?”
Itu yang bisa mereka tanya,
Bukan ketidak-adilan yang terus menerus kita salahkan,
Bukan kecerobohan yang menjadi kambing hitam,
Luka tidak semata sembuh karena tudingan,
Caci hinaan sejatinya yang semakin menyiksa,
Lara semakin terkubang luka
Jika jiwa masih ada,
Hidupkanlah kembali mereka dalam asa,
Tak sembuh benar mungkin luka lama,
Namun duka akan luruh, terobati menjadi tawa,
Dunia tersenyum yang mengajarkan mereka arti bahagia,
(Aceh, 2018 – Erna)