Integritas yang Menuntun Langkah

Gambar sampul Integritas yang Menuntun Langkah

Pelajaran pertama tentang integritas tidak saya dapatkan dari ruang kelas atau bimtek-bimtek anti korupsi, melainkan dari rumah. Saya adalah seorang ASN yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga ASN di sebuah kabupaten kecil. Kala itu, kedua orang tua saya mengabdikan sepanjang hidupnya sebagai ASN, sama seperti saya sekarang.

Suatu hari di awal tahun 2000-an, ketika saya masih duduk di bangku sekolah, Bapak saya yang pada waktu itu seorang Camat pulang dengan wajah lesu. Dengan suara pelan ia berkata, “Bapak mau mengundurkan diri.” Sebagai anak kecil, saya tentu tak memahami sepenuhnya maksud dari kalimat itu. Namun keesokan harinya, sebuah koran lokal menjawab rasa penasaran saya. Di halaman utamanya tertulis berita tentang beberapa pejabat pemerintah yang melakukan aksi mengundurkan diri, karena Bupati yang menjabat saat itu terjerat kasus korupsi (sampai sekarang jejak digitalnya masih ada di Google).

Dengan polos saya bertanya, “Kenapa nama Bapak ada di koran?” Beliau pun bercerita bahwa ia tidak sanggup lagi bekerja di bawah kepemimpinan Bupati yang mengkhianati amanah. Selama bertahun-tahun ia menjalankan tugasnya dengan tulus, tetapi merasa dikhianati oleh atasannya sendiri yang menyalahgunakan anggaran. Bagi Bapak, bertahan di tengah lingkaran korupsi sama saja dengan menggadaikan prinsip yang selama ini Beliau pegang.

Singkat cerita, Bupati pada masa itu akhirnya divonis bersalah. Setelah pergantian kepemimpinan, Bapakku kembali dipercaya untuk menjabat sebagai Camat, beliau satu-satunya ASN yang kembali dipercaya setelah sebelumnya mengundurkan diri. Namun yang paling membekas bagi saya bukanlah jabatan yang kembali ia dapatkan, melainkan pesan sederhana yang ia ucapkan: “Jadilah pintar, supaya kamu bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka kamu akan selamat di manapun kamu berada.”

Pendidikan dan Hati Nurani

Sebagai anak kecil, dulu saya mengira “pintar” berarti pintar di sekolah: juara kelas, memenangkan lomba, atau berpendidikan dengan gelar tinggi. Namun seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa “pintar” yang dimaksud Bapak saya punya makna yang jauh lebih dalam. Pintar bukan hanya soal raport atau deretan prestasi akademis, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mampu berpikir kritis sekaligus mempunyai akal sehat sehingga dapat membedakan hal yang benar dan salah.

Pendidikan sendiri menjadi jalan agar kita mempunyai pola pikir untuk mampu mengurai masalah secara terstruktur dan tidak mudah terjebak pada kepentingan sesaat. Kenyataannya, ilmu tanpa etika bisa menjerumuskan. Tidak sedikit orang bergelar tinggi, bahkan menduduki jabatan penting, tetapi tetap terjerat kasus korupsi. Hal itu membuktikan bahwa pendidikan sejati sebenarnya bukan sekadar soal angka di ijazah, melainkan tentang membentuk empati, menumbuhkan integritas, dan menjaga keberanian moral. Inilah yang membuat saya semakin paham, pesan Bapak tentang “pintar” sesungguhnya adalah ajakan untuk menjadi manusia yang utuh yaitu memiliki ilmu, tapi juga nurani.

Jika harus mencari perbandingan, pendidikan mungkin seperti cahaya. Ia menerangi jalan yang akan kita tempuh. Tetapi cahaya itu akan sia-sia bila kita memilih menutup mata. Maka, pendidikan dan nurani harus berjalan bersama-sama. Pendidikan memberi kita pengetahuan tentang apa yang benar, sementara nurani menguatkan kita untuk tetap memilih jalan itu meskipun penuh godaan dan risiko.

Warisan Nilai Integritas

Dari Bapak saya, saya belajar bahwa rezeki halal lebih berharga daripada jabatan setinggi apa pun. Keputusannya untuk mundur saat itu adalah bukti nyata bahwa harga diri dan integritas tidak bisa ditukar dengan kenyamanan sesaat. Saya yang waktu itu masih kecil mungkin tidak mengerti seluruh risikonya, tapi saya bisa merasakan keteguhan hati yang ia pilih bahwa lebih baik kehilangan posisi daripada kehilangan integritas yang dipegang.

Seiring berjalannya waktu dan sekarang saya menjadi seorang ASN, saya memahami bahwa rezeki halal adalah sumber ketenangan batin, energi yang menjaga keluarga tetap utuh, dan warisan tak kasatmata yang membentuk cara pandang anggota keluarga di rumah. Saya juga semakin percaya bahwa rezeki halal memiliki daya jangkau yang panjang. Ia tidak berhenti pada satu generasi, tetapi mengalir sebagai nilai yang diwariskan dari orang tua ke anak-anaknya. Bagi saya, integritas yang saya pegang hari ini adalah buah dari keputusan Bapak saya di masa lalu. Bapak saya menjadi contoh teladan yang meneguhkan jalan kami, anak-anaknya, agar tidak mudah goyah ketika menghadapi pilihan serupa.

Sebagai ASN, pengalaman ini mengingatkan saya bahwa tugas kita bukan sekadar melaksanakan aturan birokrasi. Kita sedang menanam teladan yang akan dikenang dan ditiru. Masyarakat melihat ASN bukan hanya sebagai pelayan publik, tetapi juga sebagai wajah negara. Bila wajah itu tercoreng oleh korupsi, maka runtuhlah kepercayaan publik yang menjadi dasar hubungan antara rakyat dan pemerintah.

Nilai inilah yang sejak dini ditanamkan di rumah bahwa yang paling layak diwariskan bukanlah harta atau kedudukan, melainkan nama baik dan pola pikir yang dibentuk dari pendidikan. Dari rumah itulah saya belajar pelajaran penting bahwa integritas adalah fondasi hidup, bukan lagi pilihan, tapi sebuah kebutuhan. Integritas membuat langkah ASN tidak mudah goyah, meski ada tekanan, godaan, atau iming-iming jalan pintas. Ia adalah kompas moral yang menuntun kita kembali ke arah yang benar ketika situasi membuat batas benar dan salah tampak kabur.

Lingkup keluarga menjadi madrasah anti korupsi yang pertama dan paling kokoh. Dari percakapan sederhana, dari diskusi sehari-hari, hingga dari cara orang tua menempatkan pekerjaan sebagai amanah, semuanya membentuk pemahaman penting, yang jika nilai ini terus diwariskan, maka akan lahir generasi-generasi ASN yang tidak hanya cerdas secara profesional, tetapi juga tangguh secara moral, karena mereka membawa teladan yang sudah hidup dalam keluarga sejak dini.

Mungkin Belum Terlambat

Sebagai bagian dari generasi muda ASN, saya percaya bahwa perubahan birokrasi menuju budaya yang bersih dan berintegritas masih sangat mungkin diwujudkan. Lingkungan saat ini memberikan peluang yang lebih besar melalui sistem pelayanan publik yang semakin efisien, pemanfaatan teknologi digital untuk meminimalkan celah penyalahgunaan, serta pengawasan masyarakat dan media yang makin kritis. Semua itu menjadi momentum yang tidak boleh disia-siakan.

Namun, peluang ini hanya bisa benar-benar terwujud bila didukung oleh ekosistem yang sehat. Aturan yang jelas, kepemimpinan yang memberi teladan, serta budaya kerja yang mendukung termasuk reward and punishment dan sistem pelayanan publik yang transparan adalah fondasi penting agar integritas dapat tumbuh untuk menanamkan budaya anti korupsi. Individu yang berpegang pada nilai integritas akan lebih kuat bila lingkungannya juga bersinergi. Sebaliknya, ekosistem yang permisif terhadap penyimpangan bisa melemahkan bahkan niat baik yang paling tulus sekalipun.

Saya percaya integritas harus dipandang sebagai nilai hidup, bukan hanya sebagai kewajiban dalam pekerjaan. Value seperti kejujuran, keberanian untuk berkata “tidak”, dan keyakinan bahwa rezeki yang didapatkan secara benar dan halal lebih menenteramkan daripada keuntungan sesaat adalah warisan penting yang sejak kecil saya bawa dari keluarga. Kini, nilai itu perlu terus saya rawat meskipun generasi sudah berbeda dari generasi ASN Bapak saya dulu, tapi tuntutan zaman tidak pernah mengurangi arti penting dari nilai integritas itu sendiri. Justru di era serba cepat dan penuh godaan ini, teknologi boleh berubah, sistem birokrasi boleh semakin modern, tapi integritas semakin dibutuhkan untuk menjadi penopang agar langkah tetap lurus.

Mungkin belum semua hal berjalan ideal, tetapi belum terlambat untuk membangun budaya yang lebih baik. Dengan ekosistem yang mendukung dan generasi muda ASN yang membawa bekal integritas sebagai core value dalam kesehariannya, selalu ada harapan bahwa birokrasi Indonesia kelak dapat dipercaya. Karena pada akhirnya, integritas bukan hanya menjaga nama baik pribadi, tetapi juga menjaga kehormatan institusi dan negara kita tercinta, Indonesia.

Bagikan :