Prolog: Piket malam menyambut para pejabat Eselon II
Hilir-mudik peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II tampak silih berganti menuju meja registrasi. Satu per satu kendaraan menurunkan para pejabat Eselon II dari berbagai daerah, yang segera masuk ke asrama untuk memulai rangkaian pelatihan. Semangat mereka begitu terasa yaitu semangat untuk meningkatkan kompetensi sekaligus menyiapkan inovasi terbaik demi pelayanan publik di instansinya masing-masing.
Jam dinding asrama menunjukkan pukul 22.15. Dari meja registrasi, mataku sesekali melirik ke arah daftar hadir, memastikan semua peserta tercatat dan terlayani dengan baik. Malam itu, saya kebetulan mendapat tugas menjadi bagian dari tim penyelenggara bersama dua rekan senior. Jujur, pengalaman saya masih terbatas, sehingga bimbingan dan supervisi mereka sangat berarti. Bila dihitung pada tahun tersebut usia pengabdian saya di Lembaga Administrasi Negara (LAN) memang masih seumur jagung karena baru 10 bulan saya diberikan kesempatan mengabdikan diri dan merasakan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, walaupun hanya sebagai penyelenggara pelatihan yang melayani segala urusan peserta, dari yang mau absen, ngeprint, minta dibawakan koper, menyiapkan perlengkapan kelas dan hal kecil lainnya yang tentunya sama kecilnya dengan jabatan dan peran saya dilembaga yang begitu besar peran nya untuk kemajuan Kompetensi ASN di Republik Indonesia. Meski begitu, ada rasa bangga tersendiri karena LAN adalah lembaga yang sejak lama saya kagumi, beberapa karya intelektual para Kepala LAN berupa buku-buku administrasi negara masih tersusun rapi di rak buku kecil di rumah, peninggalan masa perjuangan kuliah dulu. Selain itu bisa memberikan pelayanan dan menghadirkan senyum di wajah para peserta merupakan kepuasan yang tidak ternilai.
Pelayanan inklusif tanpa syarat
Suara dering handphone tiba-tiba membuyarkan konsentrasiku. Di layar tertera nama seorang senior yang sudah sangat saya kenal. Dengan tergesa, saya angkat telepon itu.
“Siap, Kang,” sapaku, panggilan akrab yang biasa saya gunakan.
Beliau langsung bertanya, “Bagaimana, peserta sudah masuk asrama semua?”
“Belum semua, Kang. Masih ada sekitar 12 orang lagi,” jawabku.
“Oh begitu, ya. Nanti kalau ada peserta atas nama Bapak X, tolong dibantu.”
“Baik, Kang. Aman, semua peserta akan saya layani sebaik mungkin,” balasku mantap.
Itulah penggalan percakapan pertama yang menjadi awal mula pengalaman saya terkait integritas dibalik map merah, sebuah kisah yang akan selalu saya kenang dengan penuh kebanggaan sepanjang pengabdian saya sebagai PNS.
Tak lama setelah telepon dari senior itu berakhir, ponselku kembali berdering. Kali ini dari nomor yang sama sekali tidak saya kenal.
“Selamat malam, benar ini dengan Mas Indra?” suara di seberang terdengar sopan.
“Iya, Pak. Mohon maaf, dengan siapa saya berbicara, dan apa yang bisa saya bantu?” jawabku ramah.
Beliau memperkenalkan diri sebagai staf dari Bapak X, seorang Kepala Dinas dari salah satu kota di luar Pulau Jawa. Intinya, beliau meminta saya untuk membantu Bapak X selama mengikuti pelatihan. Tentu saja, sebagai penyelenggara, saya berkomitmen memberikan bantuan sekuat tenaga dalam batas kemampuan dan kewenangan saya.
Membantu peserta bukanlah hal baru bagi saya. Bahkan, pernah suatu kali saya harus menggendong seorang peserta dengan berat badan sekitar 70 kilogram yang terkena stroke dari lantai dua, karena ruang kelas di lembaga pelatihan itu tidak dilengkapi lift. Entah dari mana datangnya kekuatan, tetapi dalam kondisi darurat saya hanya berpikir bagaimana peserta tersebut bisa segera mendapatkan pertolongan medis. Meski setelahnya pinggang saya terasa ngilu hampir seminggu, pengalaman itu tetap menjadi pengingat betapa besar tanggung jawab seorang penyelenggara pelatihan.
Memang, tidak jarang ada peserta yang meremehkan atau merendahkan peran saya sebagai seorang penyelenggara, walaupun sama-sama PNS, jelas ada perbedaan “kasta” yang terasa. Namun, saya tidak pernah merisaukannya. Bagi saya, apa pun profesi dan jabatannya, selama seseorang bekerja dengan jujur dan penuh integritas, serta setiap rupiah upah yang dia terima lahir dari peluh dan keringat, maka ia layak saya anggap sebagai orang terhormat.
Integritas di Balik Map Merah
Esok harinya, setelah acara pembukaan pelatihan usai, para peserta mulai menuju ruang kelas. Jaraknya tidak terlalu jauh dari gedung tempat pembukaan, namun bila ditempuh dari asrama, kira-kira berjarak sekitar 300 meter. Para Widyaiswara terlihat hilir-mudik menyampaikan materi pembelajaran. Sesekali, suara gemuruh diskusi dan tawa dari dalam kelas terdengar cukup jelas hingga ke ruang sekretariat, ruang tempat saya bertugas sementara. Ruangan yang bukan tempat bekerja saya sehari-hari, melainkan ruang sementara karena saya diperbantukan ke lembaga pelatihan tersebut mengingat penjaminan mutu pelatihannya memang berada di bawah pembinaan satuan kerja saya.
Hari itu merupakan hari kedua saya menjalankan tugas piket. Untungnya, lokasi pelatihan masih berada di wilayah yang sama, sehingga jarak ke rumah hanya sekitar 25 hingga 30 kilometer. Meski demikian, saya memilih tetap menginap di tempat pelatihan, alasannya khawatir ada hal darurat yang membutuhkan penanganan segera. Selain itu, amanat pimpinan sangat jelas, bahwa saya harus siap melayani peserta, baik siang maupun malam, selama masa penugasan berlangsung.
Tidak terasa kegiatan pembelajaran di sore itu telah berakhir, setiap peserta sudah kembali ke asrama nya, ada pula yang sekedar berjalan jalan keluar untuk membeli beberapa kebutuhan di toserba yang jarak nya tidak terlalu jauh dari asrama. Sore itu kebetulan petugas piket hanya 2 orang termasuk saya yang masih mengerjakan beberapa hal di sekretariat sementara rekan saya sudah kembali ke asrama untuk beristirahat.
Baru saja saya akan mengunci pintu sekretariat, tiba-tiba seorang peserta menghampiri.
“Mas Indra, saya mau ngobrol sebentar, boleh?” tanyanya.
“Tentu boleh, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” jawabku sopan.
Beliau melanjutkan, “Ini saya mau diskusi terkait dokumen laporan saya, Mas Indra bisa bantu tidak?”
Saat itu saya langsung teringat, peserta yang berbicara dengan saya adalah Bapak X.
“Boleh, Pak. Kalau Bapak kesulitan mengetik, saya bisa bantu sekadar mengetik. Kalau butuh nge-print, saya juga bisa bantu,” jawabku.
Walaupun saya hanya seorang penyelenggara, saya memiliki latar pendidikan yang cukup untuk memahami kerangka dari laporan pelatihan yang para peserta sebut sebagai proyek perubahan. Selain itu, pergaulan dengan para widyaiswara dan kebiasaan memperhatikan mereka ketika mengajar membuat saya sedikit paham alur penyusunan laporan tersebut. Awalnya, saya berpikir Bapak X hanya membutuhkan bantuan sederhana seperti mengetik atau mencetak dokumen. Namun ternyata, situasinya jauh di luar dugaan.
Dengan serius, beliau berkata, “Bukan, Mas. Saya minta Mas Indra membantu membuatkan laporan pelatihan saya.” Sambil berkata begitu, beliau menyodorkan sebuah map berwarna merah yang cukup tebal. Saya masih belum sepenuhnya mengerti maksudnya, hingga saya coba membuka map itu. Seketika saya terkejut bukan kepalang. Alih-alih berisi dokumen, map merah itu penuh dengan lembaran uang seratus ribuan, cukup tebal sekilas saya perkirakan sekitar 10 hingga 15 juta rupiah. Dengan tangan agak gemetar, saya segera menutup map itu dan mengembalikannya. Saya mencoba memberi penjelasan dengan hati-hati, “Mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu bila konteksnya adalah membuatkan proyek perubahan Bapak. Saya hanya pegawai rendahan, dan apa yang Bapak minta kan jelas di luar kemampuan serta kewenangan saya. Sekali lagi, saya mohon maaf, Pak.” Bapak X tidak menyerah. Ia terus berusaha meyakinkan saya bahwa saya mampu membantunya. Namun dengan hati-hati dan penuh kesantunan, saya kembali menolak dengan ramah. Hingga akhirnya, dengan wajah kecewa, beliau meninggalkan saya seorang diri di ruang yang sepi itu. Sementara pikiran saya masih berkecamuk antara shock dan marah. Amarah karena merasa dipandang begitu rendah, seolah saya bisa dibeli dengan uang untuk mencurangi lembaga yang telah memberi saya kesempatan berkembang dan mengabdi.
Epilog: ini bukan tentang materi tapi tentang harga diri
Walaupun saya hanyalah seorang pegawai rendahan, yang berada di kasta paling bawah birokrasi, saya tidak akan pernah mengotori darah saya, juga anak-istri saya, dengan uang sogokan yang kelak harus saya pertanggungjawabkan di akhirat. Bagi saya, peristiwa itu menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga. Dari situ saya belajar bahwa selalu ada saja manusia, yang dengan uang dan kekuasaannya berusaha mengotori hidupnya sendiri sekaligus hidup orang lain.
Hampir tujuh tahun telah berlalu, dan saya masih beberapa kali menemui kasus serupa. Namun hingga hari ini, saya bersyukur masih bisa menjaga kehormatan diri. Saya masih berjuang untuk tidak tergoda dan tidak terperosok menjadi “pelacur birokrasi” yang hanya dimanfaatkan dan dikendalikan oleh syahwat uang serta kekuasaan. Terdengar naif namun semua itu saya lakukan agar bisa berpesan dengan bangga dan penuh keyakinan kepada anak saya:
“Setiap makanan dan minuman yang kalian nikmati, di dalamnya ada keringat, lelah, serta kehormatan. Walaupun kita hidup sederhana, berbanggalah, Nak, karena ayahmu menghidupi kalian dengan kejujuran dan harga diri.”