Indonesia Sakit, Indonesia Kotor, Karena Koruptor

Gambar sampul Indonesia Sakit, Indonesia Kotor, Karena Koruptor

Sejak awal Januari hingga September 2025, publik Indonesia terus-menerus diberitakan dengan maraknya kasus korupsi, yang datang bertubi-tubi seakan negeri ini tidak punya harga diri.

Lebih miris lagi, kasus-kasus tersebut tidak hanya menyeret pejabat tinggi negara, melainkan pegawai biasa atau staf di sebuah kementerian dan Lembaga (K/L) turut bermain curang.

Mulai dari skandal korupsi BUMN PT Pertamina yang merugikan negara hingga ratusan triliun. Kemudian, adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara dan sejumlah pejabat lainnya pada 26 Juni 2025, karena dugaan kolusi pengadaan dengan e-katalog untuk proyek jalan senilai kurang lebih Rp 231 miliar.

Kasus korupsi Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer tidak kalah menggegerkan. Wamen yang dilantik sejak Oktober 2024 tersebut, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Agustus 2025 dalam kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikat K3.

Hingga urusan agama pun tak luput dari ladang korupsi, yakni kasus korupsi kuota haji yang menyeret Mantan Menteri Agama-Yaqut Cholil Qaumas. Kasus tersebut tengah diselidiki oleh KPK sejak 9 Agustus 2025, dengan dugaan korupsi penentuan kuota haji dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama.

Kasus korupsi lain menjerat sejumlah kepala daerah yang bermain proyek infrastruktur. Sementara di level staf, praktik pungutan liar dan pengadaan fiktif makin sering terungkap di berbagai instansi.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sudah merambah ke semua lapisan birokrasi. Mulai dari pejabat dengan jabatan tinggi hingga pegawai biasa tanpa jabatan, semua bisa terjebak.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, mengapa korupsi bisa merajalela hingga level staf?

Salah satunya yaitu disebabkan oleh sistem pengawasan yang lemah. Sehingga banyak sekali praktik-praktik curang yang baru terbongkar setelah berlangsung bertahun-tahun, setalah pejabat itu tidak lagi menjabat atau pegawai itu telah dipindahkan.

Selain lemahnya pengawasan, faktor ekonomi juga berperan. Gaji kecil pegawai pada level staf membuat sebagian pegawai tergoda mencari tambahan, meskipun melalui cara haram, hingga akhirnya merugikan masyarakat luas.

Terlebih di masa efisiensi anggaran, kesenjangan gaji dan tunjangan kinerja antar K/L makin terasa, hingga muncul sebutan K/L sultan dan jelata. Bagi mayoritas ASN di K/L jelata, mereka terbiasa dengan pendapatan sebelum masa efisiensi, sebab masih ada pendapatan dari perjalanan dinas. Sedangkan K/L sultan, tanpa adanya perjalanan dinas pun, gaji dan tukin mereka sangat cukup untuk mencukupi kebutuhan sebulan, asal gaya hidup tak berlebihan.

Namun masalah saat ini tidak hanya semata-mata soal ekonomi. Budaya birokrasi yang permisif dan terbiasa dengan gratifikasi kecil telah lama bertumbuh, hingga dianggap sebagai hal yang lumrah.

Ketika praktik kecil dianggap wajar, pintu untuk korupsi besar pun terbuka lebar. Pelaku merasa nyaman untuk melakukan kecurangan, sebab mereka yakin tidak akan ada sanksi tegas.

Tidak adanya ketegasan dan ringannya hukuman terhadap koruptor turut memperparah keadaan. Banyak pejabat yang ditangkap akhirnya mendapat vonis lebih singkat, bahkan beberapa bisa kembali ke dunia politik dengan sangat mudah.

Pada akhirnya muncul hitung-hitungan dalam berkorupsi. Apabila tertangkap, uang hasil korupsi masih bisa menyelamatkan hidup pelaku pasca hukuman. Atas dasar itulah masyarakat Indonesia menuntut untuk dimulainya pembahasan RUU Perampasan Aset.

Tak heran jika kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin runtuh. Masyarakat melihat bahwa hukum hanya keras untuk pencuri kelas rendah, tapi lunak bagi pencuri uang negara atau uang rakyat itu.

Pendidikan integritas pun masih minim. Baik pejabat maupun staf tidak terbiasa diberi pemahaman bahwa kejujuran dan tanggung jawab adalah harga mati dalam pelayanan publik.

Apabila kondisi tersebut dibiarkan, korupsi akan semakin dalam mencengkram. Indonesia bisa terjebak dalam lingkaran setan yang membuat pembangunan selalu tersendat.

Maka strategi besar sangat dibutuhkan. Presiden harus menunjukkan komitmen nyata, bukan sekadar pidato. KPK dan Kejaksaan harus diberi ruang bekerja tanpa intervensi politik, serta dijamin perlindungannya.

Digitalisasi layanan publik juga harus dipercepat. Semakin sedikit tatap muka, semakin kecil peluang pungutan liar. Semua perizinan, bantuan, hingga pengadaan sebaik-baiknya memang berbasis online. Meskipun tidak langsung menghilangkan tindak korupsi, setidaknya mempersempit ruang untuk para koruptor.

Pendidikan antikorupsi juga wajib dimasukkan sejak sekolah dasar. Anak-anak harus diajarkan bahwa korupsi bukan tradisi, melainkan kejahatan yang merusak negeri.

Partai politik pun tak boleh tinggal diam. Mereka wajib melakukan seleksi ketat terhadap calon anggotanya sebelum ditugaskan untuk menjabat di legislatif maupun eksekutif. Partai politik juga diharapkan tegas dalam menyingkirkan kader yang terlibat kasus korupsi.

Masyarakat sipil juga memegang peran besar. Media, LSM, dan masyarakat harus berani melapor, di sisi lain negara juga wajib melindungi whistleblower agar tidak merasa terancam saat melaporkan sebuah kasus.

Terlebih di era media sosial, masyarakat harus lebih berani melapor, dan pemerintah juga harus berkomitmen untuk menindaklanjuti sekecil apapun informasi, bahkan dari akun anonim sekalipun.

Solusi konkret juga dapat diterapkan untuk solusi jangka pendek. Mulai dari transparansi harta pejabat yang perlu diaudit secara rutin, sistem tender yang perlu diperketat hingga dapat diakses oleh publik, serta penyusunan RUU Perampasan Aset untuk koruptor.

Selain itu, proses hukum juga perlu dipercepat dan diperketat. Penegak hukum harus menghindari penanganan kasus korupsi yang berlarut-larut hingga bertahun-tahun lamanya, sementara rakyatnya harus menunggu keadilan yang tak kunjung tiba.

Tidak hanya hukuman penjara, perlu ada hukuman sosial yang membuat pelaku malu dan jera. Koruptor tidak seharusnya disambut hangat, tetapi harus dicap sebagai perusak masa depan bangsa. Koruptor adalah penjahat, dan tidak wajar jika penjahat kembali menjabat.

Pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan ASN golongan bawah. Jika kebutuhan hidup tercukupi, mereka tidak akan mudah tergoda untuk mencari jalan pintas lewat pungli atau mark-up anggaran.

Gaji ASN level staf mungkin terbilang besar, tapi 30 tahun yang lalu, sekarang? Hanya terbilang cukup. Gaji ASN hanya naik sedikit demi sedikit, namun inflasi naik cepat sekali. Itupun kalau ada kenaikan satu digit persen, langsung jadi bulan-bulanan masyarakat.

Pada akhirnya, semua pihak harus terlibat. Pemerintah, partai politik, lembaga hukum, masyarakat, hingga dunia pendidikan harus bergandengan tangan melawan korupsi.

Ada seorang netizen menyatakan Mau pejabat atau staf, mau pemerintah atau masyarakat, semua bisa menjadi koruptor, hanya metode dan nominal yang membedakan. Saya sangat setuju, mengingat kualitas SDM Indonesia yang masih begini-begini saja.

Sebagai rakyat, sungguh miris melihat negeri sebesar Indonesia tapi korupsinya begitu merajalela. Jika tidak berubah, generasi berikutnya hanya akan mewarisi kerusakan dan ketidakadilan.

Namun, harapan masih ada. Jika semua lini bergerak bersama, Indonesia bisa membuktikan bahwa korupsi bukan takdir, melainkan penyakit yang bisa disembuhkan. (rgs)

Bagikan :