Dalam menjalankan roda pemerintahan, saat ini manajemen talenta bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran yang krusial. Masih menjadi bagian dari manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), manajemen talenta lebih spesifik bertujuan untuk menjaring SDM potensial yang dianggap memiliki talenta dalam mencapai sasaran strategis dalam suatu organisasi.
Sejak dicanangkan secara resmi melalui terbitnya Permenpan-RB Nomor 3 Tahun 2020, manajemen talenta ASN telah digadang-gadang sebagai proyek prioritas nasional, menjadi basis pengembangan karier talenta baik di level nasional maupun instansi.
Hadirnya manajemen talenta pada dasarnya dimaksudkan untuk mengelola dan mengembangkan karier sekumpulan manusia yang memiliki potensi tinggi untuk menduduki jabatan tertentu, sekaligus agar tersedia pasokan talenta untuk menyelaraskan prinsip "The right man on the right place". Selain itu, proyek ini juga lahir sebagai konter atas maraknya praktik negatif dan kontraproduktif dalam manajemen kepegawaian khususnya dalam pola karier ASN, yang dalam pelaksanaannya sering kali bertentangan dengan konsep merit system.
Meskipun diawali dengan proses rekrutmen yang bersih, tak jadi jaminan para tunas muda ASN akan mengemban tugas dan jabatan sesuai dengan bidang keahliannya. Tak jarang pula, mereka yang berprestasi tinggi dalam birokrasi justru memilih untuk melanjutkan karier di luar instansi pemerintah. Salah satu penyebabnya karena absennya keterlibatan instansi dalam memfasilitasi potensi SDM yang dimiliki.
Apakah manajemen talenta ideal untuk menjawab persoalan itu?
Isu mengenai pentingnya implementasi manajemen talenta di instansi pemerintah ini juga pernah dibahas dalam buku bertajuk "Manajemen Talenta ASN Kementerian Hukum dan HAM" yang ditulis oleh 30 orang pegawai yang tergabung dalam komunitas ASN Muda Kemenkumham (Kemenkumham Muda). Buku tersebut berisi esai dan opini para penulis tentang implementasi manajemen talenta ASN khususnya dalam lingkup kerja di Kemenkumham.
Dalam salah satu esai yang ditulis oleh Asep Humaedi, penulis mengibaratkan manajemen talenta sebagai kawah candradimuka bagi ASN di Kemenkumham. Perumpamaan itu tentunya berisi hasrat agar para petinggi di instansi tak lagi pelit apresiasi, sehingga tak ada lagi SDM yang merasa potensinya disia-siakan karena kegagapan dalam proses pemetaan jabatan atau akibat benturan kepentingan.
Dengan demikian, memang sudah semestinya diterapkan kembali sistem promosi yang transparan dan sistem pengembangan karier yang saling menguntungkan antara instansi dan individu dalam hal ini pegawai. Misalnya, ketika instansi menginginkan pegawainya menginvestasikan karier untuk instansi maka sudah selayaknya disediakan wadah khusus pengembangan karier bagi pegawai tersebut. Hal ini mungkin mirip istilah "It takes two to tango" dalam konsep berpasangan.
Menarik pula ketika salah satu penulis, Bustomi, dalam esainya mengusulkan agar dilakukan pendekatan inklusif untuk mengetahui talenta setiap pegawai, kemudian mengembangkan talenta tersebut, lalu mengubahnya menjadi kinerja yang nyata bagi organisasi. Sejalan dengan itu, perlu dipertimbangkan juga metode penjaringan talenta melalui Virtual Assessment Center yang selanjutnya dibahas Dian Din Astuti Mulia dalam tulisannya.
Namun, bagaimana pun juga, manajemen talenta mustahil direalisasikan tanpa adanya bibit-bibit talenta dalam lingkup instansi itu sendiri. Menurut Guntur Widyanto dalam esainya di buku tersebut, krisis talenta muda bisa jadi disebabkan oleh rendahnya kesadaran literasi sebagian besar pegawai karena terlalu fokus dengan rutinitas harian yang dilakukan. Bukan hanya literasi dalam hal membaca atau menulis, tetapi dalam definisi yang lebih luas. Anggapan itu memang terdengar agak ironis, tapi rasanya tak ada alasan untuk tak mengamininya.
Pada akhirnya, konklusinya sudah jelas bahwa aset instansi yang paling utama adalah SDM yang bekerja di dalamnya. Manajemen talenta seharusnya bukan lagi soal mengidentifikasi pemain inti dalam suatu organisasi atau dalam hal ini instansi pemerintah, tetapi bagaimana mengembangkan talenta yang dimiliki agar dapat berkontribusi penuh di setiap levelnya.