Mengabdi di Tapal Kuda Jawa Timur, Cerita dari Bumi Shalawat Nariyah

Gambar sampul Mengabdi di Tapal Kuda Jawa Timur, Cerita dari Bumi Shalawat Nariyah

Dari kecil kalau ditanya tentang cita-cita, saya selalu menjawab tanpa ragu untuk menjadi guru. Saya adalah lulusan jurusan Biologi di sebuah kampus pendidikan tertua di Jawa Timur. Gelar sarjana pendidikan saya seharusnya cocok untuk mengajar SMA atau minimal SMP. Tetapi justru saat ini saya malah mengajar SD. Sama-sama guru sih, tapi secara psikologis menurut saya mengajar SD jauh lebih menantang daripada mengajar SMP atau SMA. Kita harus bisa momong dan banyak belajar sabar juga telaten. Guru TK dan PAUD harusnya berada di level yang jauh lebih hebat lagi tentunya.

 

Saya sudah pernah mengajar di semua jenjang, dari sekolah dasar dan menengah sampai atas. Sekolah swasta dan negeri, pondok pesantren maupun Lembaga Bimbingan Belajar memenuhi kurikulum vitae saya. Hampir tidak pernah saya berada di satu sekolah yang sama selama lebih dari tiga tahun.

 

Dalam kurun waktu hampir satu dekade mengajar, saya merasa stagnan. Saya ingin mencari suasana baru dan keluar dari zona nyaman dengan tujuan mencari pengalaman yang berbeda. Hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan pergi jauh dari rumah saya di Probolinggo, yaitu nekat pergi mengajar ke luar Jawa, ke Flores. Mengajar selama kurang lebih setahun lewat program pemerintah, yaitu SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Benar saja, banyak pengalaman berharga tak ternilai yang saya petik dengan pergi merantau ke NTT tersebut.

 

Bonus dari program SM-3T yang saya ikuti adalah mendapat beasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru) prajabatan. Tiga tahun setelah lulus PPG tersebut, saya berkesempatan mengikuti ujian CPNS jalur khusus lewat program Guru Garis Depan angkatan II. Saya mendaftarkan diri karena formasi yang saya lamar ada di kabupaten tetangga yaitu kabupaten Situbondo yang digolongkan sebagai daerah tertinggal bersama-sama dengan tiga kabupaten lainnya di Jawa Timur yaitu Bondowoso, Sampang dan Bangkalan.

 

Formasi GGD disahkan dengan penerbitan Kebijakan Permenpan-RB No. 26 Tahun 2014 tentang Formasi Khusus ASN Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2014 dan Keputusan Menteri PAN-RB No. 762 Tahun 2014 tentang Formasi PNS untuk SM-3T. Walaupun teman-teman seangkatan saya mayoritas lolos tes, tetapi untuk penempatan tugas bisa jadi di luar pilihan pelamar. Ada yang tidak sesuai jenjang sekolahnya, seperti saya dari SMA mencelat ke SD. Ada yang lokasi penempatannya nun jauh disana, di pulau antah berantah. Ada yang dengan tabah menerima dan menjalani tugas sebagai abdi negara, walaupun harus terpisah jauh dari keluarga. Ada juga rekan guru yang sudah berkeluarga memilih mengundurkan diri dengan berbagai pertimbangan. Bukannya tidak punya nyali, meninggalkan anak istri butuh ketetapan hati.

 

Walaupun terbilang dekat dan bisa ditempuh dengan kendaraan umum, saya harus rela menjalani LDM (Long Distance Marriage). Pulang tiap sabtu demi bertemu suami dan anak saya yang waktu itu masih berumur 4 tahun. Sebagai ibu, hal ini tentu saja berat hati saya jalani. Tapi hidup itu sawang sinawang, masih ada yang lebih merana dari saya. Saya sangat bersyukur dengan kondisi saya karena banyak orang yang memimpikan menjadi PNS bahkan rela membayar puluhan juta demi mendapat NIP. 

 

Situbondo berasal dari kata Siti yang berarti tanah, dan Bondo yang berarti ikat. Jika digabungkan, Situbondo mempunyai makna suatu keyakinan bahwa orang pendatang akan diikat untuk menetap di tanah Situbondo (web.situbondo.go.id). Hal ini seperti mantra yang memang mengikat kami, 279 orang GGD dari seluruh wilayah Indonesia yang siap mengabdi di Situbondo. 

 

Dengan letak strategisnya yang merupakan penghubung jalur darat Jawa-Bali, jalan raya Situbondo selalu ramai dilewati kendaraan dan angkutan barang. Situbondo kerap kali menjadi pilihan tempat singgah dan istirahat. Suku Madura yang mendominasi kabupaten ini banyak berpengaruh terhadap budaya dan perekonomian masyarakat terutama di bidang perikanan, pertanian dan perkebunan. 

 

Di sekolah penempatan saya yang pertama, jumlah siswa totalnya dua belas anak. Heran dan miris, itu kesan pertama saya terhadap sekolah ini. Orangtua lebih memilih menyekolahkan anaknya di madrasah, dengan alasan sekalian belajar agama dan tentu saja dengan iming-iming fasilitas ini itu yang jauh lebih menggiurkan. Sekolah ini sudah terancam di merger tapi sepertinya masih menjadi wacana yang belum terbukti. Bangunan sekolah bisa dikatakan tidak layak untuk ditempati, terbengkalai tak tersentuh dana renovasi. Padahal sudah mengajukan bantuan berkali-kali. Entah apa yang menyebabkan lamanya pemerintah daerah mengulurkan tangan. Jadi, sangat wajar bila walimurid ketar-ketir sewaktu-waktu gedungnya roboh, jelas tidak aman untuk warga penghuni sekolah.

 

Jumlah siswa yang sedikit membuat saya hapal di luar kepala nama-nama mereka, alamat rumah, bahkan riwayat keluarga dan sanak saudaranya. Jika hujan, murid-murid dan kadang gurunya juga kompak absen berjamaah. Lokasi sekolah yang jauh dari kantor pengawas memang membuat kami sedikit lengah (baca: santai). Tak jarang, saya dan rekan satu penempatan mengurusi segala tetek bengek sekolah mulai dari mengajar kelas rangkap, persiapan dari awal sekolah sampai pulang, dan sebagainya. Bahkan waktu Ramadhan saya sering sendirian membimbing anak-anak. Menjadi guru agama, bahasa Inggris, dan bahasa Madura sekaligus sudah jadi makanan sehari-hari. Resiko menjadi guru profesional memang begitu, harus serba bisa.

 

Jika kami mengadakan upacara bendera, tidak ada pasukan paduan suara, karena untuk menjadi petugas upacara saja sudah menyita setengah jumlah siswa. Nggak lucu kalau upacara bendera tidak ada pesertanya kan. Hahahaha.

 

Macam-macam pengalaman yang saya dapat dari anak-anak murid. Mulai dari tips makan buah kaktus liar agar tidak gatal-gatal di bibir sampai mencicipi capung dan belalang bakar, jajanan ala anak-anak pedalaman Situbondo. Semangat mereka untuk pergi ke sekolah patut diacungi 4 jempol. Jarang sekali mereka memakai sepatu dan atribut lengkap ke sekolah. Mau pakai seragam sesuai hari saja sudah bagus. Urusan akademik juga tidak usah terlalu banyak teori, jelas saya akan ditinggal kabur karena membosankan. Mereka akan lebih memilih untuk berlarian di lapangan sekolah yang super luas bersama dengan para kambing dan sapi milik warga yang bebas merumput.

Terkadang saya merasa menjelma menjadi Bu Muslimah dengan Laskar Pelangi ala kearifan lokal Situbondo. Sering saya diajak ke sungai menemani mereka berenang. Pada masa jayanya, sekolah ini dulunya melahirkan atlet renang tingkat kabupaten. Semoga ada perhatian untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah agar seolah ini kembali mengulang masa emasnya dan lebih banyak wali murid yang mempercayakan putra-putrinya di sekolah tersebut.

 

Setelah mutasi tukar dengan alasan sama-sama mendekati rumah, saya memangkas waktu perjalanan sehingga jarak tempuh dengan kendaraan umum menjadi 45 menit atau sekitar 25 km. Setelah penantian dua tahun, akhirnya saya bisa dekat dengan keluarga. Walaupun harus saya bayar dengan rasa capek karena jauhnya perjalanan, tetapi tidak ada yang lebih membuat bahagia selain bisa tidur memeluk anak setiap hari.

 

Sekolah saya yang kedua ada di dekat pantai di balik gunung. Hampir setiap selesai ujian sekolah kami selalu jalan-jalan ke pantai. Pantainya cantik dengan pasir putih berkilauan.

Di daerah bernama Tampora ini saya jatuh cinta dengan masyarakatnya yang guyub dan rukun. Saya seperti menemukan keluarga baru di sekolah ini. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap motivasi pengembangan diri saya. Saya menjadi sangat produktif dan aktif di berbagai komunitas belajar karena lingkungan yang sangat mendukung. Saya bahkan melatih kemampuan public speaking saya, menjadi trainer beberapa platform digital dan narsum untuk pelatihan guru baik online maupun offline. 

 

Ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara wali kelas dan wali murid. Walaupun sekolahnya tidak terlalu besar tetapi punya banyak potensi positif yang bisa dikembangkan lebih jauh dan bahkan bisa bersaing dengan sekolah lain yang sudah lebih maju.

 

Tahun lalu saya mendapat SK mutasi lagi. Sekolahnya terletak di tepi jalan, tanpa masuk gang, tinggal loncat saja ke sekolah kalau turun dari bus, hehehe. Sekolah ini adalah sekolah besar tetapi anehnya bukan sekolah favorit. Tempat tugas saya kali ini jauh lebih menantang dan kompleks dari segala segi, mulai dari lingkungan masyarakat, intake siswa, dan kondisi internal sekolah.

Selama dua tahun berturut-turut, sekolah saya mendapat jatah mahasiswa praktik dari Kampus Mengajar (KM). Hal ini tentu saja tidak membuat bangga Kepala Sekolah kami. Kedatangan KM berarti raport pendidikan sekolah kami kurang bagus. Ya, benar saja. Kami mendapat dua nilai merah (kurang) pada aspek kualitas pembelajaran (turun 4,26% dari tahun lalu) dan kemampuan numerasi (31,58%) yang turun 1,75% dari tahun 2023. Kemampuan literasi (42,11%) walaupun kategori sedang tetapi jika dibandingkan tahun kemarin turun 11, 22%.

 

Hal ini membuat saya sebagai wali kelas 5, yang notabene adalah barometer AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), memikirkan strategi untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar di kelas. Tentu saja, jika dilakukan sendirian hal ini akan terasa sungguh berat. Peningkatan kualitas pembelajaran ini harus dilakukan secara simultan oleh seluruh guru yang mengampu kelas berapapun di satuan pendidikan kami.

Banyak jalan menuju Roma. Kemendikbudristek telah begitu banyak memfasilitasi pengembangan diri guru mulai dari pengadaan beasiswa yang bekerjasama dengan kampus luar negeri ternama, Program Guru Penggerak, sampai belajar online mandiri di PMM (Platform Merdeka Mengajar). Waktu belajar yang fleksibel sebenarnya sangat memudahkan belajar guru dimanapun dan kapanpun asalkan ada kuota internet untuk mengakses informasi dan berita.

 

Slogan pelajar sepanjang hayat yang digaungkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim sangat relevan di era industri 4.0 sekarang ini. Guru yang berhenti belajar dan gampang merasa puas diri tidak akan pernah mengembangkan dirinya secara optimal dan maksimal.

 

Sarana dan prasarana penunjang pembelajaran juga harus ditingkatkan, misalnya jaringan internet untuk mendukung pembelajaran digital. Jika pemanfaatan dana BOS sesuai dengan peruntukannya, segala fasilitas yang dibutuhkan sekolah untuk pembelajaran seharusnya sudah terpenuhi dengan baik.

 

Dengan perbaikan mutu SDM guru, fasilitas pembelajaran, dan kerjasama dengan wali murid, saya yakin kedepannya tidak akan ada lagi angka yang prosentasenya turun berwarna merah di raport pendidikan di sekolah kami. Meratanya akses pendidikan yang bermutu bukan lagi menjadi fatamorgana di tengah padang pasir yang tandus, tetapi adalah kenyataan yang bisa diwujudkan bersama-sama oleh warga sekolah. Maju terus pendidikan Indonesia! Bergerak bersama semarakkan Merdeka Belajar.

Bagikan :