Lelah, cuma satu kata yang bisa menggambarkan kondisiku saat itu. Di jam malam yang kondisi jalan raya sudah mulai senggang, aku terus setia menunggu pelanggan selama 2 jam lebih di bawah gedung megah Kawasan kuningan, gedung yang menjadi lambang keadilan dan transparansi melawan tindak pidana korupsi.
“Maaf pak, saya sudah sampai lokasi” kataku setelah sampai dititik penjemputan. “mohon tunggu sebentar ya pak saya sedang rapat” balas pelangganku.
1 jam tak ada tanda-tanda pelangganku akan keluar, aku menghubunginya via pesan singkat yang terdapat diaplikasi perusahaanku bekerja. “Bapak maaf, apakah sudah selesai, saya masih menunggu” ketikku. Tak lama muncul balasan “Iya pak ini saya masih agak lama, soalnya rapat penting” jawabnya. Kemudian aku membalas pesan tersebut lagi “Baik pak saya tetap tunggu didepan gedung”. Namun pelangganku tak membalas lagi.
Yah tak apalah pikirku, akupun di sekolah terkadang jika kepala sekolah mengadakan rapat cukup memakan waktu lama. Toh jalanan kota sudah tidak macet, akanku antar pelanggan terakhir hari ini dan bergegas pulang kerumah yang terletak di kota sebelah untuk bertemu keluarga kecilku sambil membawa buah tangan hasil kerja dihari tersebut. Kulihat harga yang tertera di aplikasi Rp. 18.000,-., senyum ironi seketika menghiasi wajah lelahku mengingat kejadian satu minggu sebelumnya dimana aku berhadapan dengan calon orang tua murid yang akan mendaftarkan mutasi anaknya ke sekolah tempatku bekerja. Betul sekali, aku dikala itu tepatnya ditahun 2012 adalah seorang guru honorer pada salah satu sekolah negeri yang terletak berdekatan dengan simbol ibukota negara, menyambi sebagai supir ojek online demi mencari tambahan penghasilan.
“Sudahlah pak, gak usah banyak pikir, kalo bapak bisa atur anak saya lolos masuk sekolah ini uang 10 juta secara cash sudah saya siapkan buat bapak dan sekolah ini.” Ungkap lugas calon orang tua murid tersebut kepadaku setelah sebelumnya, terjadi obrolan yang cukup panjang mengenai mekanisme mutasi murid. “Mohon maaf pak tidak bisa” jawabku singkat. “Kurang memang?, jadi berapa?” Dia kembali berkata kepadaku. “Bukan begitu pak, memang tidak boleh. Ikuti saja sesuai mekanisme yang ada. Kalau anak bapak setelah tes dinyatakan masuk bapak tidak perlu juga memberikan uang tersebut, karena yang seperti itu tidak dibenarkan sesuai aturan” Jawabku menjelaskan. Orang tua murid itu melanjutkan perkataan “Apa perlu saya langsung bertemu kepala sekolah, bapak tidak usah khawatir nanti jatah bapak tetap saya siapkan”. “Tidak perlu pak, kepala sekolah sudah mempercayakan saya sebagai bagian dikepanitiaan ini, saat ini beliau juga sedan gada urusan ditempat lain, dan lagipula kemungkinan hasilnya akan sama saja jika bapak bertemu beliau” jawabku kembali.
Sebelum bertugas kami para panitia kegiatan mutasi murid sudah diwanti-wanti agar tidak mmelakukan kecurangan oleh kepala sekolah, beliaupun berpesan jika ada orang tua calon murid mau bertemu tidak usah ditanggapi karena diduga akan melakukan usaha kecurangan. Inilah yang mendasariku berkata seperti itu kepada orang tua tersebut.
“Halah gak usah belagu pak, saya tau dari teman saya bapak tuh cuma guru honorer, gak usah bergaya ikutin aturan,mau dikasih untung sok-sok-an gak mau” tukasnya marah sabil berdiri dan bergegas pergi meninggalkan ruangan. “Besok saya akan balik lagi buat ketemu kepala sekolah” Ucapnya lagi tanpa memandangku dan terus berlalu pergi.
Sebenarnya ada perasaan marah di hati mendengar perkataan tersebut yang menurutku merendahkan statusku sebagai guru honorer, memangnya ada apa jika aku guru honorer?. Apakah karena aku seorang honorer lalu tidak perlu mematuhi aturan, lalu apa lagi yang bisa kubanggakan sebagai honorer selain taat dan mematuhi aturan yang ada?. Namun, ya sudahlah, toh orang tua tersebut sudah pergi, aku tak perlu menanggapinya lagi sehingga bisa saja urusan menjadi lebih panjang. Aku kembali pikiranku yang sekarang sambil menghela nafas melihat jam di HP telah menunjukkan pukul 22.17 wib. Baiklah 10 menit lagi menunggu tak ada salahnya kurasa nanti akan ku hubungi kembali pelangganku tersebut yang katanya sedang rapat. Berselang waktu yang cukup lama aku menunggu akhirnya untuk kesekian kali aku menghubungi kembali, aku sengaja menelponnya langsung.
“Halo pak, maaf saya masih menunggu dibawah. Bapak apakah sudah selesai rapat?” Tanyaku melalui selluler. “Saya sudah dirumah pak, tadi pulang numpang sama kawan saya. Tadi saya cari-cari bapak gak ada” jawabnya kemudian mematikan panggilan dariku.
Deg... hatiku berdegup mendengar jawaban itu, sesaat terpaku memikirkan kondisi yang sedang kualami, walau pada akhirnya hanya senyuman yang kuhadirkan untuk menghadapi kejadian ini. Dalam hati saat itu aku berkata “Begini amat jadi Guru Honorer”, pernyataan yang sebenarnya tidak nyambung dengan kejadian yang baru saja terjadi. Dengan agak lemas kunaiki Vario hitamku, kuhidupkan mesin kemudian pergi menuju selatan Jakarta ketempat istri dan anak-anakku menunggu.
Sesampai di depan rumah, istriku membukakan pintu kemudian menanyakan apa aku sudah makan atau belum sambil memberitahukan ada mie instan dan telur yang dia beli malam itu, jika aku mau makan dia akan memasakkannya untukku. Aku hanya menggeleng dan berkata hanya butuh membersihkan badan kemudian istirahat, kulihat kedua anakku sudah lelap tertidur. Tak perlulah aku ceritakan yang telah terjadi padaku malam itu kepada istriku tercinta, hanya akan menambah-nambah pikirannya saja. Dengan doa kupejamkan mata untuk kemudian tidur mengisi tenaga agar esok hari siap sedia menjalani aktifitas kembali.
Pagi, didepan gerbang sekolah aku bersama beberapa guru dan pak satpam sudah siap sedia sambil tersenyum menyambut para tunas bangsa yang semangat menggapai ilmu hari ini.
“Kemaren sampe rumah jam berapa pak?. Saya lihat motor pak alam di daerah kuningan pas saya anter penumpang ke daerah pejaten”. Tanya Pak Bowo salah satu caraka yang tiba-tiba datang dari lobby sekolah kepadaku. “Eh mas wo, malam banget mas lupa jam berapa.”sahutku menjawab pertanyaannya. “saya mau tegor, tapi agak jauh posisinya semalem”ia kembali berbicara meneruskan obrolan. “Ya harusnya teriak aja, “Pak alam ganteng, ini bowo” gituuu” jawabku sambil bercanda.
Salah satu guru yang bernama bu ida mendengar ucapanku berbicara “laut siapa yang garemin, bang alam?” ucapnya melemparkan kiasan khas betawi yang memiliki makna sindiran “orang yang suka memuji diri sendiri. Aku mendengar itu hanya tertawa cekikikan.
“Pak alam tadi dicariin Pak Sairan di ruang TU”lanjut mas bowo memberikan info. “Oh oke, makasih ya mas wo”. Jawabku, kemudian segera masuk ke gedung sekolah untuk bertemu Pak Sairan Kepala TU sekolahku.
Sesampainya di Ruang TU, aku langsung bertanya “Permisi Pak, tadi kata Mas Wo, bapak cari saya yah”. “Nah kebetulan Mas Alam, ini kemaren siang ada surat undangan lomba lupa saya kasih. Sudah ditandatanganin Pak Kepsek katanya bapak yang ditugasi mendampingi.” Jelas Pak Sairan menerangkan. Saya baca-baca sebentar surat tersebut sekilas. “Baik makasih ya pak”, ucapku sembari meninggalkan ruangan. Jujur aku senang mendapatkan tugas mendampingi lomba yang berhubungan dengan pelajaranku.
“LOMBA CERDAS CERMAT HARI OZON SEDUNIA” dilaksanakan di Museum IPTEK TMII, penyelenggara Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian Riset dan Teknologi. “Wow ini lomba berkelas” pikirku. Dibayanganku hanya ada 3 orang murid, Bunga, Febi, dan Tanti. Yah mereka 3 Srikandi yang kupilih untuk mewakili sekolah dalam perlombaan ini.
“Kok Septian dan Amelia gak dipilih lam” tanya bu Benny guru matematika, saat tau aku memilih anak-anak perempuan tadi. “Saya nyari anak yang bisa diarahkan ben dan punya semangat juang Tinggi” jawabku. Yah dalam memilih anak lomba aku terkadang dianggap aneh oleh para guru, karena dianggap justru jarang memilih anak-anak yang terbilang pintar atau juara umum. Yah bagiku lomba berbeda dengan belajar, terlalu banyak faktor yang bisa membuat anak menjadi juara umum disekolah. Namun lomba butuh faktor X, diantaranya faktor tidak mudah ditekan oleh lawan. Dan ketiga anak tadi salah satunya. Saat kubilang mereka akan kupilih mewakili sekolah dalam lomba nasional mereka langsung antusias dan langsung bertanya kapan akan dimulai pelatihannya. Jadilah selama 3 hari full dengan ijin kepala sekolah dan wakil kurikulum anak-anak tersebut kuminta tidak ikut pembelajaran dikelas namun fokus belajar di ruang Aula bersamaku dan bantuan seorang guru lagi. Ya, saya beruntung karena Pak Andy sebagai guru kimia juga bersedia memberikan bimbingan materi.
Sekolahku bukanlah sekolah unggulan ataupun Favorit sehingga dalam urusan lomba selalu menjadi tim yang tidak diunggulkan, jadi saat ada undangan paling kami berupaya seadanya. Namun berbeda aku tidak pernah berpikiran seperti itu, sebagai alumni dan guru sekolah ini aku ingin memberikan yang terbaik kepada almamater, dan itu yang selalu aku tanamkan ke murid-murid ku. Makanya setiap lomba yang dipercayakan padaku pasti aku melakukan persiapan yang menurutku maksimal. Kalah menang urusan belakangan.
Hari yang ditunggu tiba, kepala sekolah melalui bendahara sekolah memberikan uang transport sebesar 200 rb kepadaku untuk transport dan makan murid selama lomba. Karena uang yang kami terima tidak terlalu besar, aku dan para muridku memutuskan untuk pergi menggunakan 2 sepeda motor. Sesampainya di TMII, suasana sebenarnya membuat aku dan mungkin juga murid-muridku tertekan. Bagaimana tidak ada 60an sekolah baik negeri dan swasta yang tersebar di 3 provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang sebagian besar sekolah terbilang unggulan. Banyak Mobil type mini bus bertuliskan nama masing-masing sekolah berlalu lalang menurunkan para murid sekaligus supporter didepan pintu masuk Museum. Aku melihat murid-muridku memandangi murid sekolah lain yang lalu lalang diantar oleh mobil sekolah masing-masing.
“Tau ngak?, mereka semua datang buat melihat hari ini kalian yang datang hanya menggunakan motor vario dan scoopy mengangkat piala juara pertama.” Jawabku pelan kepada mereka bertiga namun dengan nada yang mantap. Mendengar ucapanku Tanti berucap “Betul, kasian sekali mereka”. Padahal diantara mereka bertiga Tanti inilah yang paling terlihat tertekan, namun entah semangat darimana dia malah bisa berkata seperti itu. Dua temannya saat mendengar obrolan kami hanya tersenyum.
Setelah melakukan registrasi, peserta dibawa ketempat penyisihan, sekolah kami dapat ruangan F, bersama beberapa sekolah lainnya. Perlombaan dibagi dalam 3 babak. Babak penyisihan tiap murid akan mendapatkan beberapa soal yang mana hasil akhir nilai yang didapat akan digabungkan dengan nilai teman satu tim untuk kemudian diurutkan. 3 Nilai tertinggi akan maju kebabak semi final yaitu babak cerdas cermat. Dan di final akan diambil 6 Nilai tertinggi untuk merebut juara 1, 2 dan 3. Pada babak pertama ini para pembimbing diberikan ruang khusus untuk menunggu murid-muridnya menyelesaikan soal yang diberikan.
“Dari sekolah mana pak ?” Aku mencoba membuka obrolan kepada guru yang duduk tak jauh dari posisiku berdiri. Dan tahukah ekspresi orang itu mendengar pertanyaanku. Hanya nengok kearahku melihatku dari atas kepala sampai kaki lalu menengokkan kembali wajahnya kearah depan tak perduli. Aku yang diperlakukan seperti itu kaget dan shock. “oh, oke” jawabku dalam hati. Yah mungkin bapak itu sedang tidak ingin diganggu. Tak lama aku menyisir sekitar melihat-lihat mungkin ada guru yang aku kenal dari sekolah lain. Dan akhirnya aku melihat 3 sosok guru muda yang sedang mengobrol di sudut ruangan. Mereka bertiga aku kenal, yang dua adalah kakak kelasku di kampus, dan satunya lagi adik kelasku. Aku menghampiri mereka dan nimbrung dalam obrolan setelah menyapa.
Satu jam berlalu dan akhirnya para murid ditiap ruang satu persatu keluar. “Bapaaaak, alhamdulillah pak yang diajarkan bapak sama pak andi banyak yang keluar” jelas Bunga. “O ya, alhamdulillah” jawabku. Aku senang mendengar perkataan Bunga, terlebih hal yang sama dikatakan oleh dua muridku yang lain Febi dan Tanti. Saat Panitia menempelkan kertas pengumuman dimasing-masing kelas kami berempat langsung menuju pengumuman tersebut dengan perasaan dag dig dug. “Yeeeee, akhirnya kita masuk” Teriak Febi disusul teriakan Bunga dan Tanti. Akupun melihat dengan teliti pengumuman tersebut, dan ternyata sekolahku ada di posisi kedua grup F dengan selisih nilai yang tidak begitu jauh dari sekolah pertama. Kamipun bersiap melanjutkan kebabak semifinal dimana 18 peserta yang lolos akan dibagi 3 untuk tiap tiap kelompok diambil dua nilai tertinggi melaju ke final. Lagi-lagi puji syukur kuucapkan karena setelah pembagian kelompok, sekolahku tidak berada di kelompok neraka yang berisi sekolah-sekolah unggulan. Dan benar saja para Srikandi-ku lolos dengan mudah diurutan pertama kelompok dan maju kebabak final. Babak final akan dilaksanakan di Ruang pameran utama atau auditorium yang terletak di lantai 2 pada pukul 13.30 WIB, jadi menjelang Final peserta sekolah yang lolos dipersilahkan melihat-lihat museum sambil istirahat.
Lagi-lagi situasi yang kontras kurasakan dimana sekolah lain yang diantar dengan mini bus lengkap suporter yang banyak disediakan makan oleh sekolah mereka sedang kumpul dan makan bersama. Aku dan ketiga murid hanya bengang-bengong melihat sekitar. Uang 200rb yang diberikan 60rbnya sudah dibelikan bensin saat berangkat, kemudian 75rb-nya lagi sudah dibelikan jajanan dan makan pagi sebelum berangkat. Alhasil sisa uang yang diberikan tersisa 65rb rupiah. Melihat makanan dan minuman yang dijajakan dibazar yang diadakan diluar museum rasa-rasanya tidak cukup untuk kita berempat. Yah aku sebagai guru harus tanggung jawab tentunya aku keluarkan uang 100rb dari dompet dan aku berbicara “Ayo saya teraktir, kalian boleh beli makanan yang enak dan mahal buat merayakan masuk final” omongku sombong dijawab sorakan ketiga Srikandi yang makin semangat. 3 hari 3 malam mereka sudah rela keluar kelas untuk full belajar demi persiapan lomba tentu uang 100rb tidak bisa menggantikan usaha keras mereka hingga masuk ke final, jadi buatku cukup wajar. Setelah kami menghabiskan makanan kami ada panitia menghampiri kami dan menanyakan asal sekolah kami, lalu panitia tersebut mengatakan bahwa sekolah kami belum mengambil konsumsi dari panitia. Hehehe ternyata panitia menyediakan konsumsi untuk peserta. Senyum getirku muncul, “tau gituuu” bisikku dalam hati. Tapi yah tidak kuutarakan, malu sama anak murid hehehe.
Saat Final mulai dilaksanakan, semua orang, panitia, peserta, guru pendamping dan kali ini supporter boleh memberikan dukungan di auditorium yang membuat suasana menjadi riuh ramai. Aku berpesan kepada ketiga murid agar santai saja di final jangan terlalu berambisi menjawab soal, sebelum soal selesai dibacakan. Pada babak final ini materi bukan hanya diambil dari masalah ozon saja tapi diambil dari materi pelajaran umum. Satu persatu nama sekolah yang maju kefinal dibacakan, sorakan dan teriakan supporter menyemangati saat nama sekolah mereka dibacakan. Saat nama sekolahku disebutkan, suasana hening karena kami memang tidak membawa supporter. Tiba-tiba beberapa detik hening aku reflek berteriak sambil bertepuk tangan sendirian, supporter sekolah lain kompak berteriak huuuuu, yang membuat ketiga muridku malu menutup wajah mereka. “Ah bodo amat lah pikirku, toh sekolahku masuk Final” pikirku. Panitia pun menyemangati sekolahku dengan mengatakan “walau gak ada suporter mereka uda terbilang hebat loh karena masuk final” disitupun akhirnya murid-muridku makin semangat.
Saat babak final dimulai bel bergantian berbunyi menandakan sengitnya peraihan nilai para peserta, sorakan dukungan suporterpun bersahut-sahutan, tak mau kalah akupun ikut bersorak jika tim sekolah kami menjawab pertanyaan dengan benar, yah walaupun setelah itu ada saja teriakan huu dari sekolah lain. Pertarungan ini bak David melawan Goliath pikirku agak lebay. Namun saat pertanyaan selesai semua dijawab ada dua Tim yang nilainya sama hingga ditentukan dengan pertanyaan terakhir. Yang tidak disangka-sangka adalah satu dari dua tim yang sama adalah murid-muridku. Saat aturan dibacakan panitia bila pertanyaan terakhir belum selesai lalu salah satu tim memencet bel maka tim yang memencet bel harus menjawab tanpa pertanyaan selesai dibacakan dan jika salah akan dikurangi yang otomatis tim lawan dinyatakan menang. Aku langsung memberi kode kepada mereka agar sabar menunggu pertanyaan selesai, namun juri membacakan pertanyaan “Hewan yang hidupnya aktif pada..” ding dong, lampu bel tim sekolah ku menyala dan berbunyi, jujur saja aku sebagai guru panik karena pertanyaan belum selesai namun febi dengan reflek memencet bel. Kedua temannya melotot melihat anak tersebut. Namun entah darimana Febi menjawab mantab “Diurnal”. Panitia yang memberi pertanyaan hanya tersenyum, yang tidak bisa dibaca maksudnya. Kemudian panitia membaca lengkap pertanyaan itu “Hewan yang hidupnya aktif di siang hari dinamakan...” setelah panitia membacakan pertanyaan tersebut secara lengkap ketiga muridku langsung melonjak kegirangan karena mereka tau jawaban mereka benar, dan otomatis mereka menjuarai Lomba Cerdas Cermat ini, akupun kegirangan namun kali sorakan kegiranganku disambut tepuk tangan oleh suporter sekolah lain disertai ucapan selamat oleh panitia dan beberapa guru sekolah lain juga menghampiriku mengucapkan selamat. Sungguh momen yang tak akan pernah kulupakan.
Saat penutupan panitia membacakan hadiah yang akan diberikan kepada pemenang. Ya hal ini memang tidak dijelaskan dalam surat undangan lomba baru kali ini diumumkan, kamipun penasaran hadiah apa yang akan diberikan. Ternyata selain piala lomba dan sertifikat, masing-masing peserta juara satu akan mendapatkan uang tunai senilai Rp. 1.500.000,-. Wah aku dan muridkupun kaget karena tidak menduga artinya mereka bertiga jika ditotal mendapatkan Rp. 4.500.000,-. “Loh guru pendamping dapat apa pak?” Tanya Tanti kepada panitia yang memberikan hadiah. Panitia bingung mendapatkan pertanyaan itu, kemudian sambil tengok kanan kiri bapak itu menjawab, “kan yang lomba cuma muridnya”. Jujur saja akupun sebenarnya tidak mempermasalahkan itu karena melihat murid yang kubina bisa menjuarai lomba ini hatiku sudah sangat bangga. Kemudian MC kembali menginformasikan bahwa untuk juara pertama akan dihubungi besok karena akan ada kejutan lagi. Aku dan murid-muridku kembali senang tak habis-habisnya.
Diperjalanan pulang bunga yang kubonceng tiba-tiba berbicara “Pak hadiahnya kita bagi 4 aja yah, kan bapak uda dampingin kami. Nanti saya ngomong ke temen-temen” ucapnya. Motor ku rem dan berhenti kepinggiran, kuturun dan kutatap Bunga, Tanti dan febi yang berboncenganpun ikut menghentikan motornya. Lalu aku berbicara “Gak usah ngomong kaya gitu, itu usaha kamu bertiga, sudah tugas saya mendampingi kalian. Saya digaji. Udah nikmati aja, kamu tabung buat kuliah.” Jawabku. Lalu aku melanjutkan perjalanan, Tanti dan febi yang melihat kami jalan lagi tampak kebingungan tak mengerti kenapa tadi aku berhenti.
Keesokan harinya benar saja, orang dari Kementrian Lingkungan Hidup menghubungiku melalui nomor telepon sekolah. “Dengan bapak Salamun yah?” ucap perempuan di telepon itu. “Iya bu betul” jawabku. “Begini pak, anandanya yang kemarin menang lomba agar segera bersiap karena besok selama 3 hari mereka akan kami ajak untuk mengikuti Konferensi Hari Ozon Dunia yang diselenggarakan di Bali. Untuk Tiket dan akomodasi sudah kami siapkan, mereka tinggal bawa diri saja.” “Baik bu saya sampaikan kemereka”. Akupun bergegas menghampiri mereka dikelasnya masing-masing saat kusampaikan akan hal tersebut mereka kegirangan, teman-temannyapun dikelas senang, dan ada juga yang iri, sampai-sampai mereka ada yang protes “Pak besok-besok kalo ada lomba, saya dong yang diajak” ucap salah satu teman kelas mereka. Setelah itu kabar tersebut saya sampaikan ke Kepala Sekolah dan sekolah menghubungi orang tua masing-masing anak untuk kesekolah hari itu juga agar bisa mengizinkan dan segera bersiap-siap.
Saat orang tua dan murid sudah berkumpul saya dan kepala sekolah juga beberapa orang wakil bersama-sama membicarakan hal tersebut. Orang tua sangat senang dan berterimakasih kepada pihak sekolah karena sudah memberikan kesempatan anandanya ikut lomba tersebut. Tiba-tiba Bunga berbicara “Tapi Pak Alam yang dampingin kita lomba gak dapat hadiah juga, gak diajak juga kebali Ma.” Ucapnya kepada ibundanya didengarkan orang tua lain. Tanpa diduga Bunga mengeluarkan amplop “ini kami patungan pak, kami sudah sepakat hadiah kami bagi 4” ucapnya lagi. Aku kaget namun kepala sekolah dan para wakil hanya tersenyum melihatku begitupula para orang tua. Ibunda Bunga buka suara “Bunga sepulang lomba sudah membicarakan masalah uang itu Pak Alam, sayapun sudah menghubungi orang tua lain yang sekarang ada disini kami semua sudah sepakat, tidak apa-apa kan yah Bapak Kepala Sekolah”. Kepala Sekolah mengangguk sambil tersenyum. Namun entah kenapa saya malah menangis, entah apakah saya munafik saat itu atau bagaimana saya tidak mengerti. “Apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya akan saya laksanakan dengan baik bapak ibu, terkait hadiah ini saya tidak pernah memikirkan apakah ada hak saya disitu atau tidak, tidak pernah terlintas dikepala saya, biar saja itu dipegang mereka, mereka pantas menerima hadiah itu semua, bukannya saya menolak, namun saya merasa saya tidak boleh menerimanya. Kalau mau doakan saja saya semoga sehat dan bahagia, doakan semoga karier saya bagus” ucapku sambil mengusap air mata. Mendengar ucapanku murid-murid ikut menangis, orang tua, para wakil dan kepala sekolah ikut terharu. “Sudah bu disimpan saja, Pak Alam sudah berbicara seperti itu, doakan saja Pak Alam bisa segera jadi PNS”. Ucap kepala sekolah yang diaamiinkan oleh semua orang diruangan. Singkat kata oertemuan itu selesai dan murid-muridku akhirnya menikmati hadiah menonton jalannya konferensi ozon sedunia di Bali.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2021 dan 2022 di halaman Balai kota DKI Jakarta aku dilantik sebagai CPNS dan PNS, dengan seragam kemeja putih lengan panjang dipadu celana bahan warna hitam dilengkapi nametag dan pin KORPRI di bagian dada kanan dan kiri aku mantap mengucap sumpah sebagai PNS, saat dibagian sumpah yang berbunyi “Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara”. Tak terasa air mata menetes, terbayang deretan orang tua, istri, anak-anak, saudara dan rekan-rekan juga murid dan orang tua mereka yang tak habis-habisnya memberikan dukungan serta doa selama bertahun-tahun.
Doa-doa mereka yang saya anggap memudahkan saya bisa berada diposisi ini saat itu. Memang tidak mudah perjalanan saya hingga dilantik menjadi abdi negara, Namun ada saja kemudahan bak keajaiban yang menolong . Bayangkan saja saat ujian SKD CPNS saya kesiangan bangun, berangkat dari Tangerang Selatan menuju Kawasan Cakung Jakarta Timur hanya dalam waktu 1 jam dipagi hari adalah hal yang mustahil namun terjadi. Tiga kali kejadian ditabrak orang dijalan tak kuhiraukan, hanya tahlil dan istighfar yang kuucapkan berkali-kali hingga sampai ditempat ujian. Dari tempat parkir aku berlari kegedung ujian yang hampir ditutup, kejaiban lagi yang buat ku beruntung secara tak terduga ada kawan yang bertugas sebagai petugas keamanan yang meneriakiku karena mengenali diriku untuk segera bergegas yang membuat lariku makin kencang, hal ini yang membuat petugas lain simpati sehingga mempercepat proses pemeriksaan sehingga aku bisa masuk didetik-detik akhir menjelang pintu tempat ujian ditutup.
Sampai didalam saya mendapatkan bangku dipaling belakang tepat didepan AC besar yang meniapkan angin sangat dingin. Pikirku aku tak akan konsen mengerjakan soal ujian jika kedinginan selama 2 jam, tapi lagi-lagi ada kemudahan diberikan, tanpa kuminta panitia memanggil diriku untuk kedepan karena ada bangku kosong dibagian depan, Alhamdulillah. Sepanjang ujian lagi-lagi sambil mengerjakan soal aku tak berhenti-henti ber-istighfar untuk menenangkan jantungku yang terus berdegup agak cepat karena kejadian barusan dijalan dan hampir telat. Saat peserta lain selesai mengerjakan dan melihat nilai pekerjaan mereka aku makin panik karena nilai mereka kecil-kecil padahal kulihat mereka sangat cepat mengerjakannya bahkan terlihat santai, aku tak berani menyelesaikan soal terburu-buru. Saat semua soal terjawab kubiarkan waktu habis dengan sendirinya tak berani meng-klik selesai. Waktu habis dan keluar angka 400 sebagai hasil dari ujian SKD-ku. Istighfarku berubah menjadi hamdalah karena kutau nilai ini cukup besar dan saat kulihat diserver ujian dibagian luar gedung akhirnya ku tau nilai yang kudapat adalah termasuk 5 tertinggi kala itu. Diparkiran sepulang ujian aku tak langsung pulang gemetar kaki ini sambil menangis dipojokan parkiran aku berkali-kali mengucap hamdalah. “Sabar ya bang lain kali dicoba lagi” tiba-tiba tukang parkir mengucapkan perkataan itu karena melihat ku menangis. Aku tak menghiraukan hanya anggukan yang kuberikan kepadanya, untuk kemudian ku pergi dari tempat itu.
Untuk ujian SKB aku tidak terlalu mengkhawatirkannya walau nilai SKD ku bukan urutan pertama tapiaku sudah memiliki sertifikat pendidik karena ditahun 2018 aku mendapatkan kesempatan kuliah PPG dalam jabatan dan lulus. Dua sainganku di SKB kutelusuri melalui jaringan internet, mulai mencari di Info gtk, mencari di instagram maupun medsos lainnya, data yang kudapatkan keduanya belum pernah menjadi guru yang artinya pula tidak memiliki sertifikat pendidik. Sehingga SKB menjadi jalan tol bagiku untuk meraih impianku selama ini. Dan benar saja pengumuman CPNS di tahun 2020 namaku menjadi salah satu yang lulus.
Ditempat dinas yang baru, aku sudah berjanji sesuai sumpah yang sudah diucapkan saat pelantikan bahwa akan menjaga Integritas sebagai PNS, hal pertama yang aku lakukan saat menjadi Wali Kelas adalah menyampaikan kepada para orang tua bahwa selama aku memberikan pelayanan kepada anandanya, akan menolak segala macam pemberian apapun jenisnya karena hal tersebut termasuk bentuk gratifikasi yang tidak dibenarkan untuk diterima menurut undang-undang yang berlaku.
Alasan lain aku bertindak demikian karena di sekolah tempatku mengajar sekarang terdapat data 60% muridnya sebagai penerima KJP (Kartu Jakarta Pintar) hal ini tentunya cukup menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi mereka. Aku tau tidak selamanya pemberian orang tua memiliki motif dibelakangnya, bisa saja memang murni karena ingin memberikan perhatian kepada guru, namun aku membayangkan bagaimana nantinya para orangtua murid dari kalangan yang tidak mampu ini, jika melihat orang tua yang mampu memberikan pemberian diwaktu-waktu tertentu kepada guru, mungkin karena rasa tidak enak, akhirnya mereka bisa saja memaksakan diri untuk memberikan sesuatu ke guru, walaupun sebenarnya kebutuhan mereka dirumah akhirnya dikorbankan, dan aku tidak ingin hal itu terjadi.
Pernah saat aku diminta untuk visiting keperluan survey KJP anak-anak kelasku, kulihat kondisi real yang tek pernah kutemukan, akses rumah dimana hanya bisa dilalui satu orang itupun harus berjalan menyamping, kondisi rumah yang bobrok dan tentunya tak nyaman ditinggali atau sekedar beraktivitas didalamnya. Ada anak yang sudah ditinggal kedua orang tuanya sehingga diasuh nenek sorang yang juga sudah jompo. Anak yang sudah tidak dipedulikan ayahnya yang kabur sehingga terpaksa iya sepulang sekolah bekerja dikafe hingga larut malam untuk mencari nafkah untuk membantu ibunya dan membiayai adik-adiknya yang masih kecil. Tak tega rasanya diriku menerima sesuatu dari orang-orang seperti ini, sedangkan diriku dengan gaji dan tunjangan bulanan dari pemerintah yang masih berstatus ibukota negara, dapat dikatakan sangat berkecukupan.
Memang tidak mudah menanamkan hal ini disekolah baru baik kepada orang tua, murid maupun rekan guru dan karyawan karena ada saja alasan yang berujung perdebatan nantinya, oleh karena itu aku tidak pernah mengomentari rekan guru lainnya jika dimomen tertentu seperti saat ambil rapor, hari guru, dan lainnya saling memamerkan pemberian orang tua dimana mereka bertugas menjadi wali kelas. Pernah suatu saat di hari ulangtahunku sebagian orang tua mengumpulkan murid untuk membuat kejutan kepadaku dengan memberikan kado dan didalamnya terdapat uang dalam jumlah ratusan ribu, dengan berkata lembut tanpa mengurangi ketegasan dalam menjaga prinsip ini, ku tolak sambil memohon maaf dan meyakinkan bahwa untuk aku yang sudah PNS hal tersebut tidak boleh dilakukan lagi.
Di lain waktu saat aku terkena covid, orang tua murid mengirimkan parcel buah dan lagi-lagi ada uang ratusan ribu didalamnya, kembali setelah aku sembuh uang tersebut ku kembalikan lewat murid yang orangtuanya sebagai koordinator, melalui WA group ku jelaskan ke orang tua kembali bahwa aku sangat berterimakasih atas perhatian dan doa mereka namun tidak bisa menerima pemberian uang yang diberikan.
Syukur alhamdulillah setelah kurang lebih 3 tahun aku bertugas di sekolah ini sedikit banyak baik guru, karyawan, orang tua dan murid sudah memahami dan menerima sikap yang aku ambil ini, teman-teman tidak lagi mengomentari jika setelah ambil rapor, aku tidak membawa tentengan atau sejenisnya atau sekedar mencandai bahwa aku hanya menerima pemberian orang tua melalui rekening jadi tak perlu bersusah payah menenteng barang. Tentu saja itu hanya candaan mereka, dan tidak pernah aku lakukan.
Tidak mudah memang menyikapi hal tersebut, bagaimana mungkin aku tidak tergoda untuk menerima pemberian tersebut, pemberian yang terkadang menggiurkan bisa saja diterima dengan beribu alasan yang bisa membenarkan, namun aku percaya pilihan yang aku ambil ini bisa membuatku menjaga profesionalitas sebagai guru, karena aku juga meyakini mengajar dan mendidik bukan hanya masalah menyampaikan informasi lewat buku namun juga mencontohkan lewat aktualisasi diri. Bukankah banyak orang mengkritik pemerintah karena banyak kasus korupsi yang terjadi?. Lalu mengapa mereka harus protes jika ada seorang guru mencoba menjauhi suap maupun gratifikasi. Bukankah jika kita ingin mengubah negara ini menjadi lebih baik mustahil dilakukan jika tidak dimulai dari hal kecil, dan dimulai dari diri sendiri.
Oleh karena itu akan ku pertahankan sumpah yang pernah diucapkan saat pelantikan dulu, status PNS yang kusandang karena doa banyak orang tak ingin kunodai. Aku kan terus berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar nurani ini tak akan tergoyah dan terkikis oleh waktu oleh gratifikasi atau suap yang sesungguhnya tak berarti. Karena sebagai guru dan abdi negara, walaupun statusnya Honorer ataupun sudah menjadi PNS, Integritas harus tetap terpatri didalam hati demi masa depan negeri dan Ibu Pertiwi.