Saya adalah orang yang suka dengan berbagai pembahasan perkembangan sains dan teknologi, bahkan termasuk pembahasan sains-fiksi yang suka dipakai di dalam film-film barat. Bagi saya, sebagai masyarakat kita harus mendapatkan berbagai science-based policy dari pemerintah agar bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan aman dan nyaman. Oleh karena itu, saya menggelitik untuk menyuarakan opini saya menjelang Pemilu esok hari, tanggal 27 November 2024. Mengapa?
Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024, saya merasakan atmosfer politik yang semakin memanas. Banyak calon yang bermunculan, masing-masing menawarkan visi, misi, dan janji kampanye untuk membangun di wilayahnya masing-masing. Namun, di antara banyak nama itu, ada satu sosok yang benar-benar mencuri perhatian saya—bukan karena visi inovatifnya, melainkan karena serangkaian kontroversi yang membingungkan, bahkan sebagai calon pemimpin dia tidak percaya dengan situasi perkembangan sains saat ini. Saya menyebutnya si "Bapak Halu", seorang tokoh yang namanya dikenal karena memadukan drama politik, teori konspirasi, dan skandal besar terkait data pribadi. Ia adalah calon gubernur untuk wilayah yang saya tidak sebutkan namanya, tetapi wilayah tersebut tadinya merupakan ibukota negara.
Pencurian Data Pribadi untuk Kepentingan Pribadi
Si Bapak Halu adalah calon independen dari pemilihan umum tingkat gubernur. Salah satu syarat pencalonan independen adalah mengumpulkan dukungan dalam bentuk KTP warga. Tentu saja, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, saya merasa si Bapak Halu menemukan "jalan pintas". Mulai dari pengajuan pencalonan dirinya yang tiba-tiba, beberapa warga Jakarta kemudian terkejut ketika mengetahui bahwa identitas mereka tercantum dalam daftar dukungan, meskipun mereka tidak pernah memberikan persetujuan. Tidak hanya masyarakat biasa, bahkan anak mantan Gubernur sebelumnya juga ikut tercatut datanya sebagai pendukung si Bapak Halu. Dugaan pencurian data pribadi pun mencuat, dan polemik ini semakin panas setelah beberapa laporan resmi dilayangkan.
Bayangkan saja, identitas pribadi saya digunakan untuk mendukung seseorang yang bahkan tidak saya kenal, apalagi percayai. Kejadian ini membuka pertanyaan serius tentang integritas dan etika seorang calon pemimpin. Jika di tahap awal saja sudah ada skandal seperti ini, bagaimana nantinya saat dia memegang kekuasaan? Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga soal kepercayaan publik. Di era di mana privasi adalah barang mewah, tindakan seperti ini ibarat membuka pintu bagi ketidakpercayaan massal terhadap sistem politik kita. Portal pengaduan telah dibuat untuk memberikan ruang bagi para ‘korban’ pencurian data. Tetapi hingga hari ini pengaduan tersebut belum ada kelanjutannya, mengingat sang calon gubernur masih bisa melenggang di debat ketiga.
Pandemi? Konspirasi Aja Itu!
Kontroversi si Bapak Halu tidak berhenti di situ. Dalam berbagai kesempatan seperti podcast dengan mantan raja kuis Indonesia dan mentalis nomor satu di Indonesia, ia terang-terangan menyatakan ketidakpercayaannya terhadap pandemi COVID-19 dan program vaksinasi. Menurutnya, virus ini adalah bagian dari konspirasi global, dan vaksinasi hanyalah alat untuk "mengendalikan" populasi. Bahkan, ia menyebut vaksin sebagai "berhala modern" yang seharusnya dihindari.
Pandangan ini mungkin terdengar menarik bagi mereka yang gemar teori konspirasi, tetapi bagi saya, dan tentu saja bagi masyarakat umum, terutama tenaga kesehatan yang telah berjuang di garis depan, ini adalah tamparan keras. Bagaimana mungkin seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin tidak percaya pada sains, padahal sains adalah dasar dari kebijakan kesehatan yang melindungi jutaan nyawa? Melalui perkembangan sains lah, negeri Tiongkok berhasil menciptakan satelit kuantum yang tidak bisa diretas oleh pihak musuh. Melalui perkembangan sains juga, negara-negara Islam seperti Qatar dan Dubai bisa menjadi vital ekonomi dunia. Indonesia negara muslim terbesar, tetapi bagaimana perkembangan sains kita?
Penolakan terhadap vaksin bukan hanya masalah personal. Ini memiliki dampak luas, terutama jika disampaikan oleh figur publik. Ketika seorang calon pemimpin menyuarakan ketidakpercayaan terhadap vaksin, ia secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk mengikuti jejaknya. Hasilnya? Program kesehatan masyarakat terganggu, tingkat vaksinasi menurun, dan risiko wabah meningkat. Ini bukan lagi soal kebebasan berpendapat, melainkan soal tanggung jawab sosial.
Sekolah adalah Konspirasi Dajjal (?)
Si Bapak Halu juga memicu kontroversi dengan pernyataannya yang menghubungkan institusi pendidikan di Indonesia dengan simbolisme "Dajjal." Dalam podcast Close The Door milik Deddy Corbuzier, ia menyoroti penggunaan angka dalam sistem pendidikan Indonesia—6 tahun sekolah dasar, 3 tahun sekolah menengah pertama, dan 3 tahun sekolah menengah atas—yang jika dijumlahkan menghasilkan angka 666. Dharma mengklaim bahwa pola ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari agenda tersembunyi untuk memengaruhi generasi muda menuju nilai-nilai yang ia sebut sebagai "anti-keimanan."
Pernyataan ini sangat memalukan sekaligus memilukan, karena artinya dia tidak belajar tentang sejarah pendidikan dan percaya cocoklogi. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintah mulai membangun sistem pendidikan nasional. Struktur 6 tahun sekolah dasar, 3 tahun sekolah menengah pertama, dan 3 tahun sekolah menengah atas dirancang sebagai upaya standar internasional untuk memberikan pendidikan dasar yang cukup bagi seluruh rakyat. Pola ini didasarkan pada kebutuhan praktis untuk memastikan seluruh warga negara memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (literasi dasar) sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, struktur pendidikan ini terus disempurnakan untuk menjawab tantangan global. Kurikulum nasional diperbarui secara berkala, dengan fokus pada integrasi teknologi dan keterampilan abad ke-21. Meski begitu, pola 6-3-3 tetap dipertahankan karena dianggap sebagai standar yang efektif untuk mendukung perkembangan anak secara bertahap. Struktur ini juga banyak digunakan di berbagai negara di dunia, termasuk Amerika Serikat (6-2-4) dan Jepang (6-3-3-4).
AI adalah Mata - Mata Asing
Dalam berbagai kesempatan pula, si Bapak Halu kerap menyebut jika kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI.) sebagai alat mata-mata yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan masyarakat tanpa sepengetahuan mereka. Menurutnya, teknologi ini dirancang untuk mengumpulkan data pribadi pengguna secara diam-diam, dan penggunaannya oleh perusahaan teknologi besar adalah bagian dari agenda global untuk mengendalikan populasi. Pandangan ini mencerminkan skeptisisme terhadap perkembangan teknologi modern, terutama di era digital yang sangat bergantung pada data. Ia menegaskan bahwa data yang dikumpulkan melalui AI tidak hanya digunakan untuk kebutuhan komersial, tetapi juga untuk tujuan yang lebih besar, seperti pengawasan masif dan manipulasi perilaku individu.
Pernyataan ini, meskipun tidak sepenuhnya salah dalam beberapa aspek, terkesan terlalu menyederhanakan kompleksitas AI dan bagaimana teknologi ini sebenarnya bekerja. AI memang sering digunakan untuk mengolah data dalam skala besar, namun menyebut seluruh teknologi AI sebagai alat mata-mata adalah generalisasi yang menyesatkan. Tidak semua aplikasi AI bergantung pada data pengguna. Banyak algoritma AI dirancang untuk tujuan yang jauh dari pengawasan, seperti analisis cuaca, penelitian medis, atau pengembangan kendaraan otonom. Meskipun ada risiko penyalahgunaan, manfaat yang ditawarkan AI jauh lebih besar jika digunakan dengan cara yang bertanggung jawab. Menyebut AI sebagai alat mata-mata secara universal mengabaikan aspek positif dan kontribusi AI terhadap inovasi dan kemajuan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, regulasi tentang privasi data semakin diperketat. Contohnya, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia dirancang untuk memastikan bahwa data pengguna tidak disalahgunakan, termasuk dalam konteks penggunaan AI. Meskipun ada potensi penyalahgunaan, regulasi ini membantu mencegah penggunaan teknologi secara tidak etis.
Efek Domino Kepemimpinan Berbasis Hoaks
Mengapa ini berbahaya jika menjadi nyata? Karena pemimpin adalah panutan, yang bisa dicontoh, digugu, dan ditiru. Apa yang dia percayai dan katakan akan mempengaruhi dan menginspirasi banyak orang. Jika seorang pemimpin mengeluarkan ide-ide yang tidak berdasar, itu akan menciptakan efek domino yang merugikan. Mari kita bayangkan skenario terburuk: jika seorang pemimpin seperti si Bapak Halu terpilih, kebijakan apa yang bisa kita harapkan? Apakah dia akan menolak kebijakan berbasis sains lainnya? Bagaimana dia akan menangani krisis di masa depan? Bukankah kita berisiko dipimpin oleh seseorang yang lebih mempercayai teori konspirasi daripada data ilmiah?
Pemimpin seperti ini bukan hanya berbahaya bagi kesehatan masyarakat tetapi juga bagi kemajuan kota. Warga masyarakat mantan ibukota membutuhkan pemimpin yang berpikiran terbuka, rasional, dan mampu membuat keputusan berdasarkan bukti. Bukan seseorang yang terjebak dalam narasi-narasi fantastis yang mengabaikan realitas.
Sebuah Bahan Pertimbangan, Bukan Kampanye Negatif!
Di akhir tulisan, izinkan saya memposisikan opini saya dalam tulisan ini. Tulisan ini bukan bertujuan untuk menjatuhkan si Bapak Halu secara personal. Saya percaya setiap orang memiliki hak politik, hak memilih dan hak untuk dipilih. Tidak ada yang salah dengan memiliki pandangan berbeda, tetapi ketika pandangan tersebut berpotensi merusak kepentingan publik, saya rasa masyarakat berhak dan wajib untuk mempertanyakannya. Setiap pemilih harus memegang prinsip kritis dan rasional dalam menentukan pilihan. Memilih pemimpin adalah investasi jangka panjang bagi wilayah manapun, dan menyangkut nasib hidup orang banyak. Si Bapak Halu, dengan segala kontroversinya, memberikan kita pelajaran penting: jangan terburu-buru terpikat oleh janji-janji manis atau retorika penuh semangat. Lihatlah rekam jejak, nilai etika, dan sejauh mana kebijakan mereka didasarkan pada fakta dan data sains, bukan opini pribadi yang bias.
Akhir kata, kita harus ingat bahwa pemilu bukan sekadar soal memilih siapa yang paling populer, tetapi siapa yang paling mampu membawa perubahan positif. Dan perubahan itu hanya bisa datang dari pemimpin yang mampu berpikir jernih, bertindak rasional, dan meletakkan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Jadi, sebelum saya memberikan suara, saya akan bertanya pada diri sendiri: apakah calon yang akan saya pilih sudah layak disebut pemimpin?