“OTT KPK, Wamenaker Immanuel Ebenezer ditangkap karena kasus pemerasan.” Berita ini menjadi headline di berbagai media nasional. Kabar ini sontak bikin publik kaget sekaligus kecewa. Pasalnya, Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa “Noel”, selama ini dikenal vokal dalam menyuarakan isu keadilan dan bahkan sempat jadi tokoh yang cukup populer di kalangan aktivis. Tapi ternyata, jabatan yang diembannya malah dipakai untuk mencari keuntungan pribadi.
Ironis banget, apalagi kasus ini muncul di tengah kondisi masyarakat yang lagi susah-susahnya menghadapi tekanan ekonomi. Harga bahan pokok terus merangkak naik, ongkos hidup semakin menyesakkan, dan banyak keluarga harus memutar otak hanya untuk bisa bertahan. Bahkan, tak sedikit orang yang hanya mampu makan sekali dalam sehari. Lalu di saat rakyat “ngos-ngosan” menahan hidup, pejabat publik malah sibuk mengisi pundi-pundi pribadi.
Inilah luka lama bangsa ini: korupsi yang tidak pernah berhenti menghantui. Dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim, selalu saja ada pejabat yang terjerat kasus serupa. Padahal, mereka dipilih atau diangkat bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk mengabdi pada rakyat. Celakanya, banyak pejabat yang lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan ladang untuk panen uang haram.
Kasus Noel ini jadi pengingat pahit, bahwa integritas sering kali tumbang ketika seseorang sudah merasakan nikmat kekuasaan. Suara lantang saat di luar kekuasaan bisa berubah jadi bisu atau bahkan munafik saat berada di dalam lingkaran kekuasaan. Publik tentu merasa dikhianati. Karena bagi rakyat kecil, pejabat adalah perwakilan harapan. Tapi kalau harapan itu justru dipermainkan, kepercayaan publik akan semakin terkikis.
Namun kita juga harus sadar, korupsi tidak mengenal latar belakang. Ia bisa menjerat siapa saja, mantan aktivis, birokrat karier, politisi senior, bahkan orang yang tampak alim sekalipun. Semua bisa tergelincir ketika godaan kekuasaan tidak diimbangi dengan integritas. Karena itu, publik jangan hanya terpaku pada sosok Noel, tapi juga menjadikan kasus ini cermin bahwa tanpa sistem yang transparan dan pengawasan yang ketat, siapapun bisa jatuh ke lubang yang sama.
Korupsi bukan hanya soal uang yang raib dari kas negara. Ia mencuri masa depan anak-anak bangsa, memperlebar jurang kesenjangan, dan menghancurkan kepercayaan publik pada negara. Dan ketika pelakunya adalah orang yang dulu menyuarakan “anti-ketidakadilan”, maka itu adalah bentuk pengkhianatan moral yang tak termaafkan.
Kasus ini harus jadi alarm keras: jabatan publik bukan tempat menebar janji palsu, bukan juga ruang untuk memperkaya diri. Bagi rakyat, pejabat adalah tumpuan harapan. Maka, setiap kali ada pejabat, siapapun dia, dari latar belakang apapun. Yang korup, itu sama saja dengan meruntuhkan kepercayaan sekaligus menghancurkan harapan.
Di sinilah abdimuda, generasi muda yang bekerja di sektor publik punya peran besar. Jangan biarkan sejarah terus berulang. Abdimuda harus jadi contoh nyata integritas: berani berkata tidak pada praktik-praktik curang, jujur dalam setiap pelayanan, serta konsisten menjaga amanah sekecil apapun. Jika pejabat senior banyak yang gagal menjaga diri, maka abdimuda harus menunjukkan bahwa ada harapan baru bagi bangsa ini. Harapan yang lahir dari sikap sederhana tapi tegas, tidak tergoda dengan korupsi, tidak silau dengan kekuasaan, dan tidak takut untuk melawan praktik menyimpang.
Rakyat sudah cukup menderita. Jangan ditambah luka dengan pengkhianatan.
“Hari ini Noel, besok bisa siapa saja. Karena korupsi bukan soal siapa dia, tapi seberapa kuat ia menjaga diri.” Dan di tangan abdimuda, harapan itu bisa dijaga.”