Sebagai bagian dari generasi muda ASN, saya percaya bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan regulasi dan penegakan hukum. Ada harapan baru yang bisa kita bangun yaitu menghadirkan strategi yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, berbasis nilai-nilai lokal, dan mengakar pada kultur sosial kita sendiri. Dengan cara inilah, gerakan antikorupsi bisa lebih diterima, tidak sekadar menjadi kewajiban administratif, melainkan kesadaran kolektif yang tumbuh dari bawah.
Berangkat dari pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, yang mengatakan, "……sudah jadi kebiasaan masyarakat memberi imbalan sebagai bentuk terima kasih. Ini tentu kebiasaan yang salah,"[1] maka, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi telah mendarah daging di mayoritas masyarakat Indonesia. Gratifikasi, sebagai bentuk imbalan atau hadiah yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan pejabat publik, merupakan tantangan signifikan dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia.[2] Upaya penanggulangan gratifikasi yang efektif memerlukan pendekatan kultur lokal sehingga dapat meningkatkan efektivitas penanggulangan gratifikasi di Indonesia.
Kasus Budaya Gratifikasi di Indonesia
Di Indonesia, praktik gratifikasi sering kali dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan telah menjadi budaya yang mendarah daging di berbagai sektor. Bahkan 86% pelaku dari korupsi, termasuk gratifikasi, berlatar belakang pendidikan yang tinggi.[3] Salah satu contoh nyata dari fenomena ini terjadi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), di mana banyak warga memberikan uang atau hadiah kepada pegawai untuk mempercepat proses administrasi seperti pembuatan KTP dan akta kelahiran. Kasus ini terjadi di banyak daerah, salah satu yang naik ke media massa akhir ini adalah di Pinrang, ketika seorang warga diwajibkan membayar sebesar Rp 150 Ribu agar pengurusan KTP-nya segera selesai.[4] Praktik ini dianggap sebagai "biaya tambahan" yang diperlukan untuk mendapatkan layanan yang lebih cepat dan efisien. Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat merasa terpaksa memberikan imbalan untuk mendapatkan layanan yang lebih baik di tengah keterbatasan sumber daya.
Gratifikasi ini juga sangat awam terjadi dalam kasus jual beli jabatan. Contohnya, kasus terbaru di tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan IJ, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Maluku Utara, sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi terkait jual beli jabatan, dengan AGK, mantan Gubernur Maluku Utara, sebagai pihak penerima. IJ diduga memberikan uang melalui beberapa transaksi rekening, atas perintah AGK, sebesar sekitar Rp1,2 miliar untuk pengisian jabatan Kadisdik.[5]
Kasus serupa juga dapat ditemukan di sector kesehatan. Gultom dkk melakukan wawancara dengan dua dokter PNS di rumah sakit pemerintah Kota Medan, terungkap bahwa gratifikasi dalam kerjasama dengan perusahaan farmasi sangat umum. Dokter Caroline Tobing mengungkapkan bahwa perusahaan farmasi sering menawarkan diskon obat sebesar 15-20% dan imbalan uang atau barang sebagai insentif untuk meresepkan produk mereka. Dokter Benny Manurung menambahkan bahwa perusahaan farmasi memberikan fee atau uang imbalan agar obat mereka terjual dengan harga lebih tinggi, membebankan biaya tambahan kepada pasien. Dokter juga menghadapi target penjualan, misalnya menjual obat senilai Rp. 8.000.000 dari stok seharga Rp. 2.000.000, dengan konsekuensi mengembalikan obat yang tidak terjual atau meminta tambahan jika target terlampaui. Perusahaan farmasi kini lebih sering membiayai akomodasi seminar daripada memberikan uang langsung, dan dokter harus mencapai target penjualan untuk mengikuti seminar tersebut. Imbalan untuk dokter bisa berupa barang berharga seperti TV, kulkas, mobil, tiket perjalanan, serta fee atau uang. Keikutsertaan dalam seminar membantu dokter mengumpulkan 250 SKP (Satuan Kredit Profesi) yang diperlukan untuk memperpanjang izin praktik dan membuka klinik. Penjualan obat biasanya melalui sales yang kemudian melaporkan ke perusahaan farmasi.[6]
Yang menjengkelkannya lagi, terkait bidang Kesehatan, dalam penelitian kualitatifnya, dr. Ardian menemukan bahwa banyak bidan lebih suka merujuk pasien ke rumah sakit swasta karena kualitas pelayanan yang dianggap lebih baik dibandingkan rumah sakit pemerintah. Sebanyak 97 persen bidan mengetahui praktik ini, di mana rumah sakit swasta memberikan fee kepada bidan untuk merujuk pasien dan mendorong persalinan caesar. Praktek gratifikasi ini berdampak negatif pada kualitas pelayanan, keselamatan ibu, dan meningkatkan angka persalinan caesar, serta berpotensi melanggar etika profesi dan hak pasien. [7]
Di lingkungan pendidikan, kasus gratifikasi juga sering terjadi. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, mengungkapkan bahwa penerimaan peserta didik baru (PPDB) sering kali tidak bersih dari praktik korupsi dan gratifikasi. Melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023, KPK menemukan bahwa 24,6 persen siswa diterima di sekolah karena memberikan imbalan kepada pihak sekolah. Kecurangan ini termasuk penggunaan joki atau menitipkan imbalan melalui orang lain. Wawan mencatat bahwa 42,4 persen guru menganggap siswa yang diterima sebenarnya tidak layak, tetapi tetap diterima berkat gratifikasi dan koneksi.[8]
Masih banyak kasus lain di berbagai sektor yang meracuni jagat bumi pertiwi, namun contoh-contoh tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa gratifikasi telah menjadi praktik yang diterima luas di Indonesia. Masyarakat sering kali memandangnya sebagai norma sosial atau biaya tambahan yang dianggap wajar untuk memperoleh layanan maupun keuntungan tertentu. Kondisi ini menuntut upaya pencegahan, penegakan hukum, serta peningkatan kesadaran publik tentang dampak negatif gratifikasi agar tercipta sistem yang lebih adil dan transparan. Perubahan paradigma sangat penting: dari anggapan gratifikasi sebagai hal biasa menjadi kesadaran bahwa ia adalah racun bagi integritas bangsa. Untuk itu, langkah ke depan harus dimulai dengan evaluasi data, identifikasi kelemahan kebijakan yang ada, serta perumusan solusi yang lebih efektif. Fakta menunjukkan regulasi dan penegakan hukum masih menghadapi keterbatasan, dan di sinilah harapan kami sebagai ASN muda hadir menawarkan pendekatan baru yang lebih menyentuh sisi budaya, nilai, dan keseharian masyarakat.
Gratifikasi di Indonesia: Apa yang Membuatnya Begitu Umum?, Faktor Utama dan Solusi
Gratifikasi di Indonesia adalah masalah kompleks yang berasal dari berbagai faktor mendasar, masing-masing memerlukan solusi yang terfokus untuk mengurangi prevalensinya. Salah satu penyebab utama adalah norma sosial dan budaya yang menganggap pemberian hadiah atau imbalan sebagai bentuk penghargaan yang wajar. Menurut survei dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019, hanya 37 persen masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi, yang menunjukkan rendahnya pemahaman mengenai praktik ini.[9] Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan pendidikan antikorupsi agar masyarakat dapat lebih memahami perbedaan antara hadiah budaya yang sah dan gratifikasi yang tidak etis, sehingga praktik gratifikasi dapat dikurangi.
Kurangnya pemahaman mengenai gratifikasi juga merupakan masalah signifikan. Untuk mengatasi kekurangan ini, perlu ada penguatan program pendidikan antikorupsi di sekolah dan tempat kerja. Sosialisasi yang lebih luas tentang etika dan integritas juga penting untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan gratifikasi dan bagaimana membedakannya dari praktik yang sah.
Penegakan hukum yang lemah adalah faktor penting yang membuat gratifikasi tetap meluas. Waluyo menyatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia sering kali tidak konsisten[10], terutama bagi rakyat kecil,[11] yang membuat pelaku gratifikasi merasa aman dari konsekuensi hukum. Untuk mengatasi hal ini, perlu memperbaiki sistem penegakan hukum dengan meningkatkan kapasitas lembaga hukum, meningkatkan transparansi dalam proses hukum, dan mempercepat penuntutan. Dengan langkah-langkah ini, pelaku gratifikasi akan merasa kurang aman dan lebih tertekan untuk mematuhi aturan.
Ketidaktransparanan dalam administrasi publik menciptakan peluang untuk gratifikasi. Penelitian Gaol dkk di tahun 2024 menunjukkan bahwa kesenjangan dalam akses informasi di daerah terpencil masih menjadi kendala dalam mencapai transparansi[12]. Solusi untuk masalah ini melibatkan peningkatan transparansi melalui penerapan sistem yang jelas dan teknologi yang dapat melacak keputusan administratif. Dengan cara ini, proses administratif menjadi lebih mudah dipantau dan risiko gratifikasi dapat dikurangi.
Di sektor korporasi, gratifikasi sering digunakan untuk memperoleh keuntungan. Gratifikasi sering kali dipandang sebagai cara untuk mempengaruhi keputusan pejabat atau mendapatkan keuntungan yang tidak seharusnya.[13] Solusi untuk masalah ini melibatkan penerapan kebijakan ketat dan memberikan pelatihan etika bisnis kepada semua level perusahaan. Ini akan membantu mencegah korupsi dan memastikan bahwa perusahaan beroperasi dengan standar etika yang tinggi.
Kelemahan dalam sistem pengawasan dan kontrol internal juga berkontribusi terhadap praktik gratifikasi. Data dari KPK menunjukkan bahwa banyak institusi pemerintah dan korporasi memiliki kelemahan dalam sistem kontrol internal mereka.[14] Solusinya adalah dengan memperkuat prosedur audit internal dan mekanisme pelaporan. Sistem pengawasan yang efektif akan memudahkan deteksi gratifikasi dan mencegah terjadinya praktik tersebut.
Ketergantungan ekonomi dan sosial sering kali membuat pegawai negeri merasa terdorong untuk menerima gratifikasi. Untuk mengatasi masalah ini, kesejahteraan pegawai negeri perlu ditingkatkan dengan struktur gaji yang memadai dan insentif yang sesuai. Laporan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara di tahun 2020 menekankan pentingnya peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sebagai bagian dari reformasi birokrasi.[15]
Terakhir, kelemahan dalam pendidikan etika di sekolah dan tempat kerja juga berkontribusi pada praktik gratifikasi. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan etika di sekolah dan tempat kerja sering kali tidak memadai.[16] Solusi untuk masalah ini adalah dengan menyediakan pelatihan berkelanjutan yang menekankan pentingnya integritas dan etika profesional. Pendidikan etika yang kuat akan membantu membentuk budaya kerja yang menolak gratifikasi dan mendorong perilaku yang sesuai dengan standar moral dan profesional.
Program Vital Pemerintah dan Evaluasinya
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk memberantas gratifikasi, termasuk sistem pelaporan whistleblowing, kampanye anti-korupsi, dan reformasi birokrasi. Meskipun upaya ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel, efektivitas program-program tersebut seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor kontekstual dan implementasional.
Program Pengenalan Gratifikasi
Hasil Survei Partisipasi Publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 mengungkapkan bahwa hanya 13 persen responden dari segmen pemerintah yang pernah melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK, meskipun undang-undang dan lembaga terkait telah ada sejak 2001 dan 2005 untuk menangani pelaporan gratifikasi. Data ini menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pegawai negeri di Indonesia, mengingat gratifikasi adalah masalah yang meluas dalam masyarakat. Penjelasan utama terletak pada fakta bahwa hanya 37 persen dari responden segmen masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi, sedangkan 63 persen tidak memahami istilah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman yang rendah tentang gratifikasi menghambat pelaporan, karena banyak yang tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka terima atau lakukan termasuk gratifikasi, sehingga mereka tidak melaporkannya. [17]
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan beberapa program unggulan untuk memperkenalkan istilah gratifikasi kepada masyarakat. Salah satunya adalah peluncuran platform "Jaga" oleh KPK, yang menggunakan media digital untuk meningkatkan kesadaran tentang gratifikasi.[18] Platform ini telah efektif dalam menjangkau banyak orang dan menyediakan materi edukasi yang bermanfaat, namun jangkauannya masih terbatas di beberapa daerah. Pelatihan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara juga telah meningkatkan pemahaman etika di kalangan pegawai negeri, tetapi masih ada kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Panduan yang diterbitkan oleh KPK memberikan informasi yang jelas tentang gratifikasi,[19] namun distribusinya masih terbatas. Kurikum antikorupsi juga telah diterapkan di program studi, namun penerapannya hanya terbatas di 69,28% saja. Selain itu, meskipun pemanfaatan media sosial efektif untuk audiens muda, tidak semua segmen masyarakat terjangkau. Untuk mengatasi gratifikasi secara lebih efektif, penting untuk memperluas akses ke materi edukasi, meningkatkan pelatihan di seluruh wilayah, dan memperkuat integrasi dalam sistem pendidikan dan media.
Program Penegakan Hukum
Terkait dengan penegakan hukum, program-program pemerintah di Indonesia telah menunjukkan berbagai kemajuan, namun masih menghadapi tantangan signifikan. Reformasi birokrasi yang dipimpin oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan integritas di kalangan pegawai negeri, tetapi sering terhambat oleh resistensi internal dan kapasitas yang terbatas di beberapa lembaga. Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga bertujuan memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi, termasuk gratifikasi, tetapi penegakan sering kali terkendala oleh sistem peradilan yang lambat dan ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan.[20] KPK telah aktif dalam menyelidiki dan menuntut kasus korupsi, namun lembaga ini sering menghadapi tekanan politik dan keterbatasan sumber daya yang mempengaruhi efektivitasnya. Inisiatif penguatan kapasitas aparat penegak hukum, meskipun penting, sering kali terhambat oleh kurangnya koordinasi dan pelatihan yang tidak merata. Program transparansi dalam pengadaan barang dan jasa telah meningkatkan akuntabilitas, tetapi masih terdapat celah dalam pengawasan dan evaluasi. Untuk mencapai hasil yang lebih baik, perlu adanya reformasi sistem peradilan, peningkatan kapasitas lembaga, serta dukungan yang lebih besar untuk aparat penegak hukum. Memperkuat transparansi, meningkatkan koordinasi antar lembaga, dan memperluas mekanisme pengawasan akan membantu mengatasi tantangan yang ada dan memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.
Transparansi dalam Administrasi Publik
Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan transparansi dalam administrasi publik. Salah satu inisiatif utama adalah penerapan Sistem Informasi Administrasi Publik (SIAP) yang memfasilitasi akses publik terhadap data administrasi pemerintah secara online. Selain itu, terdapat implementasi Program e-Government yang mengarah pada digitalisasi layanan publik dan prosedur administrasi untuk mengurangi potensi korupsi dan meningkatkan transparansi. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juga diperkuat untuk memastikan bahwa informasi tentang kegiatan dan anggaran pemerintah dapat diakses oleh publik. Namun, meskipun upaya ini berkontribusi pada peningkatan transparansi, terdapat beberapa tantangan yang masih perlu diatasi. Banyak lembaga pemerintah masih lambat dalam mengadopsi teknologi baru dan memperbarui sistem administrasi mereka, sementara akses ke platform digital sering kali terbatas di daerah-daerah terpencil. Kurangnya pelatihan bagi pegawai negeri mengenai pemanfaatan sistem digital juga menjadi hambatan.[21],[22] Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan dorongan lebih besar terhadap pelatihan pegawai, penyebaran teknologi yang lebih merata, dan pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan transparansi.
Program Pelaporan Whistleblowing
Praktik ilegal seperti korupsi dapat terjadi di setiap lembaga, dan penerapan whistleblowing dianggap sebagai langkah penting untuk mencegah penipuan dan pelanggaran serta meningkatkan pengendalian internal.[23] Saat ini, wewenang pencegahan korupsi berada di tangan KPK, yang mendistribusikan tanggung jawab kepada berbagai organisasi pemerintah pusat dan daerah, mengakibatkan setiap lembaga memiliki sistem whistleblowing masing-masing. Pendekatan terdesentralisasi ini sering menyebabkan ketidakefektifan karena perbedaan acuan dan penanganan di tiap lembaga, yang mengarah pada kurangnya konsistensi dan integrasi dalam pelaporan dan penanganan kasus korupsi. Selanjutnya, meskipun Indonesia telah menerapkan sistem whistleblowing di lembaga pemerintah dan KPK, implementasinya masih menghadapi tantangan. Dukungan hukum bagi pelapor belum memadai, sehingga whistleblowing di lembaga pemerintahan memerlukan tinjauan ulang.[24] Sementara itu, sistem pelaporan anonim dan transparansi yang efektif di Singapura[25],[26] mungkin menghadapi hambatan signifikan jika diterapkan di Indonesia, di mana norma sosial dan hubungan interpersonal sangat dihargai.
Penyesuaian Program dengan Kultur Lokal : Pendekatan Baru dalam Memerangi Gratifikasi
Secara keseluruhan, meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk memberantas gratifikasi, efektivitas program-program ini sering kali terpengaruh oleh faktor-faktor kontekstual dan implementasional. Penyesuaian berkelanjutan, peningkatan dukungan masyarakat, dan integrasi pendekatan berbasis kultur lokal akan menjadi kunci dalam meningkatkan keberhasilan usaha-usaha anti-gratifikasi di masa depan.
Kultur lokal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cara gratifikasi terjadi dan diterima. Di Indonesia, norma sosial dan hubungan interpersonal sering kali memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam konteks gratifikasi. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan hubungan personal, gratifikasi dapat dianggap sebagai bagian dari etika sosial atau cara untuk memperkuat hubungan, meskipun dalam konteks hukum, hal tersebut merupakan bentuk korupsi. Ini berarti bahwa strategi anti-gratifikasi yang hanya mengandalkan pendekatan formal dan hukum tanpa mempertimbangkan kultur lokal kemungkinan besar akan menghadapi resistensi.
Pendekatan baru dalam pemberantasan gratifikasi di Indonesia perlu melibatkan pemahaman mendalam tentang kultur lokal. Salah satu cara untuk mengintegrasikan kultur lokal dalam strategi anti-gratifikasi adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat, seperti pemuka agama, kepala desa, dan pemimpin komunitas, dalam proses pelaporan dan pencegahan. Tokoh-tokoh ini memiliki pengaruh besar dan sering kali lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan lembaga pemerintah. Dengan melibatkan mereka, sistem pelaporan gratifikasi dapat memperoleh dukungan lebih besar dari masyarakat dan mengurangi rasa takut akan pembalasan atau stigma sosial.
Tokoh-tokoh ini berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan lembaga penegak hukum, menjelaskan dampak negatif gratifikasi, dan mendorong partisipasi aktif dalam pelaporan. Keberadaan tokoh masyarakat dapat memperkuat komunikasi dan mempermudah proses pelaporan karena masyarakat merasa lebih aman dan dihargai ketika melibatkan orang yang mereka percayai. Pendekatan ini juga dapat membuat pelapor merasa lebih aman dan didengar, serta mengurangi jarak antara pelapor dan lembaga penegak hukum.
Selain itu, penting untuk mengadaptasi saluran pelaporan dengan mempertimbangkan kultur lokal agar masyarakat merasa nyaman dan aman saat melaporkan gratifikasi. Mengandalkan hanya pelaporan online atau telepon mungkin tidak cukup efektif di beberapa daerah yang lebih mengutamakan interaksi tatap muka. Oleh karena itu, menyediakan opsi pelaporan langsung melalui pertemuan tatap muka dengan tokoh masyarakat atau perwakilan yang dipercaya dapat menjadi solusi yang lebih baik. Pendekatan ini memungkinkan pelapor untuk merasa lebih aman dan didengar secara langsung, serta mengurangi kemungkinan ketidaknyamanan atau rasa takut dalam melaporkan gratifikasi.
Pendidikan dan sosialisasi yang menyeluruh merupakan aspek krusial dalam pemberantasan gratifikasi. Kampanye kesadaran harus melibatkan tokoh masyarakat untuk menjelaskan bahaya gratifikasi dan manfaat pelaporan tindakan tersebut. Melalui pendidikan antikorupsi yang berbasis komunitas, masyarakat dapat memahami perbedaan antara praktik sosial yang diterima dan gratifikasi yang merugikan. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang dampak negatif gratifikasi dan pentingnya pelaporan, diharapkan dapat mengurangi toleransi terhadap praktik tersebut dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar etika. Budaya anti-korupsi perlu ditanamkan sejak dini, termasuk dalam keluarga. Sejak KPK berdiri, hingga September 2023, telah menangani 1.648 tersangka tindak pidana korupsi, dengan 141 di antaranya adalah wanita.[27] KPK juga mengungkap bahwa 86% pelaku korupsi memiliki latar belakang pendidikan tinggi, dan banyak kasus korupsi terkait suap dan gratifikasi.[28] Pengaruh keluarga, termasuk keterlibatan anggota keluarga seperti istri dan anak, sering kali berkontribusi pada perilaku korup. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran penting dalam mencegah korupsi dengan saling mengingatkan dan membangun budaya antikorupsi dari dalam rumah. Ketika keluarga sudah menerapkan nilai-nilai antikorupsi, diharapkan dampaknya akan meluas ke lingkungan sekitar, mulai dari RT, RW, hingga komunitas yang lebih luas.
Terakhir, evaluasi dan penyesuaian program anti-gratifikasi perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan efektivitasnya dalam konteks budaya lokal. Pengumpulan data dari berbagai sumber, termasuk umpan balik dari masyarakat dan hasil investigasi, memberikan wawasan berharga untuk penyesuaian program. Penyesuaian yang berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi tantangan yang muncul dan memastikan bahwa strategi pemberantasan gratifikasi tetap relevan dengan kebutuhan dan norma lokal. Dengan cara ini, program anti-gratifikasi dapat lebih efektif dalam memerangi gratifikasi dan mengurangi dampaknya terhadap masyarakat.
Harapan saya sebagai ASN muda sederhana namun mendasar: Indonesia bisa membangun ekosistem antikorupsi yang bukan hanya ditopang oleh regulasi, tetapi juga oleh kekuatan budaya, pendidikan, dan keteladanan. Jika kultur lokal diberdayakan, tokoh masyarakat dilibatkan, dan ASN muda berani berinovasi, maka pemberantasan gratifikasi dan korupsi bukan lagi sekadar slogan, melainkan gerakan nyata yang hidup di tengah masyarakat. Inilah jalan panjang yang harus kita tempuh bersama demi menjaga marwah bangsa dan masa depan yang lebih bersih.
#aksaraAbdimuda
[1] Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta - Pemkot Yogya. (2024). KPK Cegah Korupsi Lewat Keluarga Berintegritas. Jogjakota.go.id., diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://warta.jogjakota.go.id/detail/index/29799
[2] Jaga. (2024). Apa Bedanya gratifikasi, suap dan pungli? Ini Penjelasannya. Jaga. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2024 di https://jaga.id/berita/9030b505-750a-4cd1-823c-5443a85e63b9/apa-bedanya-gratifikasi-suap-dan-pungli-ini-penjelasannya?vnk=9fcf9c7d
[3] Jaga. (2024). 86% Pelaku Korupsi Berpendidikan Tinggi, KPK Gandeng Perguruan Tinggi Berantas Korupsi. Jaga. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2024 di https://jaga.id/berita/b9e61a7c-44fe-4253-a5d0-12951936b5ad/-pelaku-korupsi-berpendidikan-tinggi-kpk-gandeng-perguruan-tinggi-berantas-korupsi?vnk=a1b7f689
[4] Abduh, M. (2023). Warga Pinrang Keluhkan Urus KTP Bayar Rp 150 Ribu, Tagih Keseriusan Pemda. Detik.com. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2024 di https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7047059/warga-pinrang-keluhkan-urus-ktp-bayar-rp-150-ribu-tagih-keseriusan-pemda
[5] KPK. (2024). KPK Tetapkan Tersangka Pemberi Gratifikasi Jual Beli Jabatan di Lingkungan Provinsi Maluku Utara. KPK. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024 di https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/3479-kpk-tetapkan-tersangka-pemberi-gratifikasi-jual-beli-jabatan-di-lingkungan-provinsi-maluku-utara
[6] Gultom, R. P., Syahrin, A., Ablisar, M., & Mulyadi, M. (2022). Gratifikasi Oleh Perusahaan Farmasi Terhadap Dokter Dalam Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 3(2), 139-145.
[7] Unair. (2020). Gratifikasi Rujukan Antara Ada dan Tiada. Unair. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://news.unair.ac.id/id/2020/01/22/dokter-rs-unair-gratifikasi-rujukan-antara-ada-dan-tiada/
[8] Putra, I.P. (2024). KPK: 24,6% Siswa Diterima PPDB 2023 Karena Beri Imbalan ke Sekolah. Medcom.id. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2024 di
[9] Furqon, I. (2024). Survei KPK: Hanya 13 Persen Lapor Gratifikasi!. KPK. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2024 di https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Persepsi/20240806-survei-kpk-hanya-13-persen-lapor-gratifikasi
[10] Waluyo, B. (2022). Penegakan hukum di Indonesia. Sinar Grafika.
[11] Hartati, S. (2022). KEADILAN HUKUM BAGI ORANG MISKIN. Mahkamah Agung. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2024 di https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/keadilan-hukum-bagi-orang-miskin
[12] Gaol, L. L., Santoso, E. B., & Prasetyo, A. (2024). Penguatan Tata Kelola Keuangan Publik melalui Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Informasi. Jurnal Akademi Akuntansi Indonesia Padang, 4(1), 126-140.
[13] KPK. (2023). Gratifikasi, Mengapa Dilarang dan Dianggap Korupsi. KPK. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230119-gratifikasi-mengapa-dilarang-dan-dianggap-korupsi
[14] Probohudono, A. N. (2015). Analisis audit BPK RI terkait kelemahan SPI, temuan ketidakpatuhan dan kerugian negara. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 1(1), 81-110.
[15] Menpanrb. (2020). Pemerintah Terus Berupaya Tingkatkan Kesejahteraan ASN. Menpanrb. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2024 di https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/pemerintah-terus-berupaya-tingkatkan-kesejahteraan-asn
[16] Setiadi, A. (2015). Pelanggaran etika pendidikan pada sistem pembelajaran e-learning. Cakrawala-Jurnal Humaniora, 15(2).
[17] Furqon, I. (2024). Survei KPK: Hanya 13 Persen Lapor Gratifikasi!. KPK. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2024 di https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Persepsi/20240806-survei-kpk-hanya-13-persen-lapor-gratifikasi
[18] KPK. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. KPK. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024 di https://www.kpk.go.id/images/Laporan_Tahunan_KPK_2023.pdf
[19] Jaga. (2024). Gratifikasi. Jaga.id. diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://jaga.id/jendela-pencegahan/gratifikasi?vnk=d5dd6fa8
[20] MKRI. (2024). Dinilai Multitafsir dan Tidak Beri Kepastian Hukum, UU Tipikor Kembali Digugat. Mkri.id. diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15198&menu=2
[21] Ngantung, D. R., Lumenta, A. S., & Karouw, S. D. (2018). Analisa Literasi TIK Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Manado. Jurnal Teknik Informatika, 13(4).
[22] Seputar Birokrasi. (2023). Menghadapi Tantangan Digitalisasi dalam Transformasi Birokrasi Pemerintahan. Seputarbirokrasi.com. diakses pada tanggal 13 Agustus 2024 di https://seputarbirokrasi.com/menghadapi-tantangan-digitalisasi-dalam-transformasi-birokrasi-pemerintahan/
[23] Anggariani, D. A., Kurniawan, T., & Holidin, D. (2017, December). Whistleblowing System in Indonesia's Directorate General of Tax. In 1st International Conference on Administrative Science, Policy and Governance Studies (ICAS-PGS 2017) and the 2nd International Conference on Business Administration and Policy (ICBAP 2017) (pp. 119-125). Atlantis Press.
[24] Kuncara W, A., Furqorina, R., & Payamta, P. (2017). Determinants of internal whistleblowing intentions in public sector: evidence from Indonesia. In SHS Web of Conferences (Vol. 34).
[25] Arismaya, A. D. (2021). Whistleblowing, KPK Indonesia dan CPIB Singapura. Aktiva: Jurnal Akuntansi dan Investasi, 6(2), 53-63.
[26] CPIB. (2024). Lodging of Corruption Complaints. Cpib.gov.sg. diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://www.cpib.gov.sg/faq/lodge-corruption-complaints/
[27] Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta - Pemkot Yogya. (2024). KPK Cegah Korupsi Lewat Keluarga Berintegritas. Jogjakota.go.id., diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://warta.jogjakota.go.id/detail/index/29799
[28]Jaga. (2024). 86% Pelaku Korupsi Berpendidikan Tinggi, KPK Gandeng Perguruan Tinggi Berantas Korupsi. Jaga.id., diakses pada tanggal 14 Agustus 2024 di https://jaga.id/berita/b9e61a7c-44fe-4253-a5d0-12951936b5ad/-pelaku-korupsi-berpendidikan-tinggi-kpk-gandeng-perguruan-tinggi-berantas-korupsi?vnk=a1b7f689