Gratifikasi di Pojok Ruang Kelas: Dikemas dengan Niat Mulia, Menjerat Pendidik dengan Sempurna

Gambar sampul Gratifikasi di Pojok Ruang Kelas: Dikemas dengan Niat Mulia, Menjerat Pendidik dengan Sempurna

Sebuah ilustrasi yang dimulai dengan sebuah scene dimana orang tua yang kerap memberikan hadiah kepada guru yang mengampu kelas anaknya. Setali tiga uang, di latar tempat dan waktu yang berbeda, seorang dosen menerima bingkisan dari mahasiswa di tengah-tengah relasi akademik antar sivitas akademika.

Apabila sebuah rangkai cerita hanya dipenggal sampai dengan babak ini saja, banyak orang tentu menangkap kesan yang baik dalam balutan kedermawanan atas sanjung puji sang orang tua kepada guru bagi anaknya. Citra kemurahan hati sebagai balas budi dari orang tua yang menitipkan anaknya kepada pendidik

Namun, ketika layar cerita satu babak di atas diperpanjang, fase klimaks akan menyeruak tatkala guru yang menerima hadiah tersebut harus menegakkan otoritas profesionalnya di kelas. Entah dalam bentuk penilaian berdasarkan hasil asesmen belajar atau teguran kepada murid yang orang tuanya sedemikian dermawan itu. Singkatnya, ujung pena dari otoritas guru akan menghadapi gangguan ketika berhadapan dengan situasi dilematis seperti ini.

Cerita dua babak di atas merupakan representasi visual dari potret bagaimana gratifikasi masih menjadi praktik yang terjadi di ruang-ruang kelas anak-anak bangsa ini. Survei Penilaian Integritas Tahun 2024 merekam hasil survei yang mencengangkan. Sebanyak 68,46 persen Satuan Pendidikan dari jenjang dasar, menengah, dan tinggi yang disurvei memiliki persepsi bahwa praktik gratifikasi adalah sebuah kewajaran. Dengan kata lain, angka tersebut dapat menjadi kisi-kisi bagi jumlah satuan pendidikan yang permisif terhadap praktik gratifikasi sekakigus mengindikasikan potensi insan-insan pendidik yang berhimpun di dalamnya untuk terlilit konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya.

Naif, mempermasalahkan gratifikasi di lingkungan satuan pendidikan terdengar klise. Dibahas hari ini, tenggelam di esok harinya, dan terulang sebagai kebiasaan di esok lusanya. Namun, Sidik Permana dan Mursyid Setiawan (2024: 255) mengingatkan bahwa gratifikasi merupakan salah satu indikasi yang dibahas bersama dengan suap, pungli, dan korupsi pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan. Untuk itu, kita semua harus mencari momentum dan alasan yang tepat untuk membangun kesadaran dan membangkitkan komitmen antikorupsi dalam bentuk penolakan terhadap gratifikasi di lingkungan satuan pendidikan masing-masing.

Dilema: Tegakkan Otoritas atau Berkompromi karena Gratifikasi

Coba bayangkan, di tengah kewajibannya untuk menegur murid atas kesalahannya atau memberikan nilai di bawah kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran (KKTP), sang Guru harus terbayang dengan kebaikan dari wali murid yang dermawan tadi. Akibatnya, untuk bertindak tegas dan adil, sang Guru harus berjibaku dan menundukkan dilema moral antara integritasnya sebagai pendidik dan manusia biasa yang dituntut untuk selalu membalas budi baik orang tua murid nan dermawan tersebut.

Plot twist rasanya ketika bayang-bayang hadiah di tengah realitas penegakan otoritas guru ini justru menjeratnya terjerembab di lubang ketidakadilan. Dilema yang diciptakan dari kebaikan si orang tua tadi sebagai alasan pemaaf, atau bahkan pembenar, bagi pemberian privilege kepada si murid satu ini. Hina rasanya, ketika murid yang lain harus berjuang di atas tekadnya mencapai KKTP si murid berorang tua altruis ini menikmati privilege di sekolah yang notabene menjadi media pencetak insan yang bercipta, rasa, dan karsa ala Pancasila.

Itulah mengapa dalam lingkup yang lebih luas, menerima pemberian semacam ini dikualifikasikan sebagai perilaku koruptif. Bahkan, apabila dilakukan oleh penyelenggara negara dan tidak dilaporkan ke kanal-kanal pelaporan gratifikasi, yang bersangkutan dapat diputus bersalah oleh lembaga kehakiman sekaligus dikenakan sanksi pidana atas tindak pidana yang dilakukannya.

Sebentar, apakah sebagai guru dan dosen memang sama sekali tidak boleh menerima hadiah? Nah, untuk hal ini kita perlu melihat Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi sebagai acuan. Disini, ada 17 pemberian yang dikualifikasikan sebagai penerimaan yang sah karena tidak berkaitan dengan jabatan penerimanya. Satu di antaranya, pemberian dari keluarga sedarah dan semenda dua derajat yang diantaranya mencakup kakek dan nenek, orang tua, anak, cucu, mertua, saudara ipar, dan saudara sepupu. Selain itu, ada juga hadiah yang diterima sebagai apresiasi atas prestasi yang didapatkan pada suatu kompetisi.

Curse in disguise

Ya, derita yang terselubung. Bagaimana tidak? Sesuatu yang dibungkus dengan kebaikan di prolognya justru berujung pada dilema dalam pemenuhan tugas kodrati seorang pendidik.

Sah-sah saja bagi yang berujar perihal tatanan nilai budaya yang tersaji dalam bentuk hadiah sebagai simbol ucapan terima kasih. Namun, tampaknya mereka luput memperhatikan dampak di kemudian hari ketika guru dan dosen harus berurusan dengan konflik kepentingan semacam ini.

Insan pendidik - baik yang berhimpun di lembaga pendidikan milik partikelir maupun yang dimiliki oleh negara - penting memahami pentingnya pengendalian gratifikasi. Tentu, selain sebagai wujud dari kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, pemahaman yang kuat mengenai gratifikasi akan juga membebaskannya dari potensi konflik kepentingan dalam penunaian tugas di ruang-ruang kelas pembelajaran.

Kehati-hatian insan sejawat guru tentu harus dikedepankan untuk menghadapi sekaligus menghindarkannya dari kegamangan dalam menjalankan tugas mulianya sendiri . Tidak hanya untuk kebaikannya sendiri, dengan memelihara sikap antigratifikasi, pendidik telah menjadi teladan bagi sejawat-sejawatnya serta murid-muridnya dalam menjaga nilai integritas secara keseluruhan. Lebih jauh, sikap menolak gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan sekaligus kewenangan akademiknya merupakan ikhtiar yang senantiasa tegak lurus dengan cita-cita pendidikan antikorupsi yang diajarkan pada jenjang-jenjang pendidikan di negeri ini.

Epilog

Gratifikasi memang tampak menarik dan penuh nikmat, tetapi mengandung ancaman kerusakan terhadap integritas insan pendidik di masa yang akan datang. Untuk itu, pengendalian gratifikasi yang mencakup penolakan dan pelaporan segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan jabatan serta berpotensi mendatangkan konflik kepentingan harus dilakukan segera.

"Ing ngarso sung tulodho" bukan hanya satu dari frase lain yang menemani "tut wuri handayani", melainkan juga panggilan kodrati insan pendidik mempersiapkan generasi pebelajar saat ini untuk menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana di masa yang akan datang. Tidak lain melalui sikap para sejawat insan pendidik yang mengaplikasikan nilai-nilai integritas yang menjadi teladan atau tulodho-nya bagi para peserta didik di satuan pendidikan masing-masing.

Referensi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 2001 Nomor 134, TLN Nomor 4150).

Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi (BN Tahun 2019 Nomor 1438).

Komisi Pemberantasan Korupsi. "Gratifikasi Masih Membayangi Ruang Kelas". https://www.kpk.go.id/id/ruang-informasi/berita/temuan-hasil-spi-pendidikan-2024-gratifikasi-masih-membayangi-ruang-kelas. Diakses pada 9 September 2025.

Tim Penyusun SPI Pendidikan Tahun 2024. Laporan Survei Penilaian Integritas Pendidikan Tahun 2024. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2025.

Permana, Sidik, dan Mursyid Setiawan. "Korupsi Sektor Pendidikan di Indonesia: Realitas, Penyebab, dan Solusi". Jurnal Integritas. Vol. 10, No. 2. 2024. Hal. 249-268.

#AksaraAbdimuda

Bagikan :