Hampir sembilan bulan para ASN mengarungi “badai” efisiensi. Tahun 2025 hampir usai namun angin segar buka blokir anggaran tiada kunjung berhembus. Kondisi yang sama sepertinya akan terjadi di tahun depan. Bahkan bisa jadi akan berlanjut hingga 2029.
Diakui ataupun tidak, kebijakan efisiensi sangat berpengaruh bagi kehidupan ASN. Mereka harus memutar otak untuk mereformulasi lagi rencana anggaran dan pendapatan keluarganya tahun 2025. Pemangkasan anggaran kebutuhan yang tak perlu harus dilakukan. Sumber-sumber pemasukan selain gaji pun harus dicari.
Mungkin sudah lazim, di kantor pemerintah mudah ditemui para pegawai yang berjualan. Ada yang menyediakan sarapan, dagang jajanan, menawarkan kerudung, baju dan yang lainnya. Di grup-grup perpesanan pun setiap hari berseliweran pegawai menawarkan dagangan.
Kondisi tersebut terlihat baru di tahun ini, apa pasal? Jawabanya adalah efisiensi. Pemangkasan ekstrim terhadap anggaran khususnya perjalanan dinas sangat berkontribusi pada pendapatan. Bagi pejabat dan pegawai yang sering melakukan perjalanan dinas sangat berasa.
Memang, idealnya perjalanan dinas tidak bisa diharapkan dan dijadikan sebagai tambahan penghasilan. Kegiatan itu memang sudah menjadi tugasnya. Kalaupun ada, yang diterimanya adalah sepertiga dari uang harian. Karena, komponen uang harian perdin meliputi uang tranportasi, uang makan dan uang saku.
Penghasilan yang Kurang
Take home pay dari perjalanan dinas seharusnya hanyalah uang saku, jumlahnya pun tak seberapa, tapi ini sah dan halal. Meskipun yang diterima dari perjalanan dinas saat ini tak seperti dulu, tapi lumayan untuk menambah penghasilan, dari pada tidak ada sama sekali.
Mungkin Anda para ASN merasakan betapa “kurang”-nya gaji saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kecuali untuk instansi sultan ataupun daerah dengan TKD tinggi mungkin tak merasakan. Ditambah lagi keadaan ekonomi yang sepertinya tidak baik-baik saja membuat harga barang sulit terjangkau.
Mungkin dianggap naif, ketika ASN mengeluh urusan pendapatan. ASN dianggap sebagai golongan menengah ke atas, dengan penghasilan tetap, gaji di atas UMR, sumber dari uang negara, dan prasangka-prasangka baik yang lainnya. Janganlah kita berkeluh kesah sampai melukai perasaan rakyat yang kita layani. Kelakuan anggota DPR sudahlah cukup menjadi pelajaran bagi kita.
Sebagai seorang umbies jelata, tidak ada yang bisa penulis lakukan. Dalam keterpaksaan, dicari-carilah apologi menghadapi kondisi, apa sih hikmah dari efisiensi? Efisiensi tidaklah akan melenyapkan korupsi. Tapi, setidak-tidaknya lahan, potensi, peluang dan kemungkinan untuk korupsi berkurang.
Ketika berdiskusi, seorang kawan berpendapat bahwa korupsi hanya akan bergeser. Hasil dari memangkas anggaran suatu K/L ternyata dialihkan untuk proyek lain, yang menurut dia justru malah lebih rawan. Buru-buru dia menambahkan, “Tapi tenang, sudah banyak yang mengamankan”, selorohnya.
Anggaran pengadaan barang dan jasa saat ini sangatlah terbatas. Pengadaan hanya untuk kebutuhan yang sangat penting dan mendesak. Bahkan untuk ATK saja dipangkas habis. Yang terbiasa dengan penilapan, mark up dan kuitansi bodong akan sangat kelimpungan.
Keserakahan
Akankah korupsi akan lenyap, sirna dan musnah dari bumi Indonesia? Menurut hasil analisis beberapa tulisan di Sembaridinas, korupsi telah menjadi budaya dan mendarah daging di Indonesia sehingga sulit diberantas. Orang-orang Indonesia sangatlah kreatif untuk mencari dan mencari celah untuk berbuat korup di semua level.
Berdasarkan GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) Theory-nya Jack Bologne, KPK berkeyakinan bahwa keserakahan sebagai faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Berdasarkan teori ini, meskipun seseorang (termasuk ASN) telah memiliki penghasilan yang cukup, dia akan selalu merasa kurang. Dalam banyak kasus yang diungkap, para koruptor adalah pejabat dengan gaji tinggi ataupun pengusaha dengan penghasilan fantastis.
Sifat serakah mungkin ada, tapi ASN yang melakukan korupsi sepertinya lebih banyak karena alasan need. Saat kebutuhan meningkat, sisa gaji yang mepet dan sulitnya memainkan pengadaan, peluang godaan adalah gratifikasi. Godaan gratifikasi dialami oleh pejabat, yang berminat jadi pejabat dan yang berkecimpung dengan perizinan dan penegakkan aturan.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Pasal 12 B Ayat (1) No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 menjelaskan bentuk pemberian meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sebagai bangsa timur, suatu hal yang lumrah untuk saling memberi antar sesama. Lantas, mengapa gratifikasi dilarang? Atau gratifikasi seperti apa yang dilarang?
Pemberian yang kita terima atau pun kita berikan mungkin tampak sebagai hal yang biasa. Mungkin hanya berupa kue, parsel, pulsa, traktiran makan ataupun barang yang bernilai lumayan besar. Tapi sering pembelian tersebut secara tersamar merupakan tanam budi untuk kepentingan pemberi di suatu saat.
Pada suatu hari nanti penerima pasti akan mengingat pemberian tersebut. Dia akan merasa pekewuh, dan tidak enak hati, merasa harus membalas budi sehingga mempengaruhi keputusan terkait kepentingan pemberi. Apabila pemberi adalah pengguna layanan publik maka akan mempengaruhi pelayanan. Dia pasti akan diistimewakan dibandingkan pengguna yang tidak memberi gratifikasi.
Hal paling aman bagi ASN terkait pemberian adalah menolaknya. Apabila “tidak bisa” menolak, laporkan pemberian tersebut ke Unit Pelayanan Gratifikasi (UPG) di instansinya ataupun ke KPK. UPG atau KPK selanjutnya akan memutuskan apakah boleh diterima, diterima sebagian, dikembalikan ke pemberi ataupun diserahkan ke negara.
Gratifikasi yang tampak ringan dan diabaikan apabila sering dilakukan akan bisa berkembang menjadi suap ataupun pemerasan. Dalam peristiwa gratifikasi, tidak ada maksud dan tujuan yang jelas, sepintas hanya memberi saja. Akan tetapi dalam suap dan pemerasan sudah ada tujuan dan ada penawaran, perjanjian atau deal.
Suap terjadi apabila pemberi atau pengguna jasa secara aktif menawarkan sesuatu agar tercapai tujuannya. Tujuan bisa berupa jabatan yang diinginkan, pelayanan lebih cepat meskipun prosedur tidak dipenuhi. Bagi penegakkan aturan, suap ditujukan agar dirinya tidak atau dikenai atau pengurangan sanksi oleh petugas. Contoh kasus yang ditangani KPK terkait suap di tahun 2025 adalah OTT kasus suap dan gratifikasi proyek di Ogan Komering Ulu di bulan Maret.
Sedangkan kasus pemerasan terjadi apabila pihak penerima atau pemberi layanan secara aktif menawarkan jasa ataupun meminta imbalan. Tujuan pemberian imbalan adalah agar pelayanan dipercepat meskipun melanggar prosedur. Para aparat penegak aturan juga bisa menggunakan pemerasan untuk menghindarkan atau mengurangi hukuman. Contoh korupsi jenis ini yang masih hangat adalah kasus pemerasan pengurusan Sertifikat K3 di Kemenaker.
Sebagai ASN kita begitu dekat dengan dunia korupsi. Pimpinan ataupun rekan kita mungkin ada yang pernah “berkunjung” ke Gedung Merah Putih. Bahkan mungkin kita sadar atau tidak kecipratan atau pelaku langsung, meskipun untuk hal yang kecil. Dalam beberapa tulisan di Sembari dinas, beberapa penulis mencontohkan korupsi yang sering dilakukan ASN semisal datang terlambat, membolos, memanipulasi presensi, menggunakan barang kantor untuk kepentingan pribadi dan yang lainnya.
Resolusi
Lantas, apa yang harus kita perbuat. Jadilah manusia yang bersyukur, bukan manusia yang serakah. Bersyukurkah bahwa kita masih terima penghasilan rutin setiap bulannya. Bersyukurlah rakyat masih mau mau membayar pajak untuk menggaji kita.
Di sisi lain, masih banyak orang dengan penghasilan pas-pasan dan tidak pasti, setiap saat bisa kehilangan pekerjaan, ataupun hidup dengan tidak layak. Kondisi ekonomi yang penuh tekanan juga mengancam para pelaku usaha.
Kelakuan anggota DPR yang tidak peka cukuplah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Kita adalah pelayan rakyat, sudah seharusnya kita melakukan yang terbaik untuk mereka. Jangan sampai kita menyakiti, menyiakan amanah dan merampok uangnya.
Lakukan dari hal kecil, laksanakan dari sekarang. Berikan pelayan publik terbaik sesuai prosedur tanpa membedakan pengguna yang memberi ataupun tidak. Jangan terbiasa menggunakan fasilitas negara meskipun hal sepele. Patuhilah tata tertib dan bekerjalah dengan penuh amanah karena kita digaji dari rakyat.
Mencari tambahan penghasilan juga bisa menjadi alternatif apabila gaji kita dirasa masih kurang. Kita bisa berbagi ilmu dengan mengajar atau menjadi narasumber di berbagai kampus. Usaha sampingan seperti berdagang, bertani dan beternak yang tidak mengganggu kerja pun lakukan.
Seperti yang penulis lakukan saat ini di kantor. Dengan menggunakan rak kecil, saya berjualan jajanan dan camilan. Bagi yang mau membeli tinggal ambil sendiri dan menaruh uang di kaleng. Apologinya sih untuk melatih kejujuran. Beberapa kali dalam sebulan saya juga membawa batik ke kantor. Lumayan untuk tambahan beli susu anak.
Tapi….. yang saya lakukan bukannya termasuk korupsi juga ya? Saya berjualan di kantor berarti menggunakan fasilitas kantor tanpa membayar PNBP. Saya juga menggunakan jam kerja untuk kepentingan pribadi.
Apakah saya koruptor, meski kecil?