Jabatan fungsional tercatat menduduki porsi terbesar dalam komposisi jabatan yang diemban oleh para Aparatur Sipil Negara (ASN), entah itu di wilayah instansi pemerintah pusat maupun instansi pemerintah daerah. Bahkan bisa dibilang setengah dari total 4.282.429 ASN berada pada kelompok jabatan fungsional atau JF dengan porsi sebanyak 2.103.661 (sumber: www.bkn.go.id/StatistikASN2023).
Lonjakan ini juga bukan hal yang tidak terduga sebab peningkatan angkanya jelas merupakan cause-effect kebijakan penyederhanaan birokrasi yang bermuara dari arahan Presiden pada tahun 2020. Alhasil para pejabat administrasi dan pengawas “mendadak” dikonversi setara JF tingkat Madya dan JF Muda. Ditambah setelahnya terjadi gelombang besar-besaran penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK yang digagas melalui rekrutmen 1 Juta Guru PPPK tahun 2021 dan disusul PPPK Tenaga Penyuluh dan Tenaga Kesehatan.
Dupak Berlalu, Muncul Ekspektasi Baru
Ternyata fenomena mendadak ini juga tidak berhenti dengan lonjakan jumlah pemangku JF yang mendominasi kursi jabatan ASN, tetapi justru menjadi awal terjadinya revolusi bagi jabatan yang didesain sejak awal sebagai jabatan keahlian ini. Perubahan yang menuai pro-kontra ini dikenal dengan kebijakan konversi dan integrasi pasca-terbitnya Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional menggantikan Peraturan Menteri PANRB 13 Tahun 2019. Perubahan ini menuai pro bagi JF yang tidak lagi "dipusingkan" dengan urusan DUPAK yang berorientasi pada bukti dan penilaian. Sementara kontra bagi JF yang menempatkan DUPAK sebagai cerminan target dan realisasi yang lebih jelas, termasuk sebagai hal yang membedakan capaian kinerja sesama pemangku JF.
Disebut integrasi sebab penilaian JF yang sebelumnya berbasis DUPAK harus terintegrasi ke dalam basis SKP atau disebut dengan skema baru PAK integrasi. Dengan kata lain, jika sebelumnya indikator hasil kinerja JF bertumpu pada nilai DUPAK dan SKP, kini berubah menjadi pemenuhan nilai SKP sepenuhnya berdasarkan ekspektasi pimpinan unit kerja. Hasil integrasi tersebut yang kemudian menjadi modal awal konversi DUPAK ke SKP dan selanjutnya setiap tahun JF yang memperoleh nilai SKP harus menghitung kebutuhan Angka Kredit atau AK-nya melalui PAK konversi.
Perhitungan PAK integrasi di awal dan PAK konversi pada penilaian berikutnya yang kemudian menjadi indikator setiap JF yang ingin mengajukan Kenaikan Pangkat dan/atau Kenaikan Jenjang. Secara mendetail ketentuan JF telah diatur dalam omnibus law JF melalui Peraturan BKN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Angka Kredit, Kenaikan Pangkat, dan Jenjang Jabatan Fungsional.
Predikat SKP Baik vs Sangat Baik
Pemberlakuan skema PAK integrasi dan konversi ini selanjutnya berpotensi melahirkan dilematis baru. Mengingat penilaian kinerja JF diindikasikan dengan nilai AK yang diperoleh dari hasil konversi SKP setiap tahunnya, maka muncul pula problematika nilai BAIK dan SANGAT BAIK. Bernilai BAIK akan dikonversi ke dalam nilai AK minimal di jenjangnya dan nilai SANGAT BAIK akan dikonversi sebagai nilai maksimal pada jenjang JF-nya. Sementara ketentuan nilai predikat SKP dalam 1 (satu) unit kerja tidak dapat mengakomodir semua pegawai di unitnya untuk memperoleh predikat SANGAT BAIK karena persentase perolehan nilai SKP memiliki perumusan tersendiri.
Dilematisnya akan semakin terasa ketika dalam suatu unit kerja didominasi pegawai berstatus JF yang tentunya memiliki ketentuan dan orientasi serupa untuk memperoleh AK maksimal setiap tahunnya. Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama kebagian peran utama mengamankan "kemaslahatan" umat JF di unit kerjanya. Dibutuhkan sikap kepemimpinan yang jelas dan tegas untuk menjalankan peran satu ini.
Bagaimana tidak, ketika tumpuan output - outcome kinerja teknis di unit kerjanya merupakan peran para JF (dengan keahlian bidangnya), yang dituntut bekerja dengan pola kerja SKP berbasis Matriks Peran Hasil atau MPH yang dibagi ke dalam tim kelompok kerja atau Pokja. Ditambah kinerja para JF yang tergabung dalam pokja juga merupakan turunan atau cascading dari target kinerja JPT Pratama unitnya demi terealisasinya Indikator Kerja Utama atau IKU-nya sebagai capaian kinerja pimpinan tinggi di level berikutnya.
Tuntutan pola kerja MPH yang melibatkan kerja sama tim terutama dalam konteks sesama JF ini, di satu sisi berdampak positif bagi organisasi. Jika sebelumnya JF cenderung memenuhi AK setiap tahun sesuai pilihan butiran kerja yang ditentukannya sendiri meskipun tentunya dengan pertimbangan kebutuhan unit kerja, tetapi kerap dianggap kurang terukur jika ditarik lurus dengan target dan capaian organisasinya. Sebaliknya, pola kerja MPH menuntut para JF berbagi beban dan target kerja baik dengan pemangku jabatan struktural dan jabatan pelaksana.
Sistem kerja tim ini juga secara tidak langsung melibatkan peran aktif dan kontribusi setiap JF dalam merealisasikan target kinerja, mulai dari skala terkecil di unit kerjanya sampai dengan skala terbesar di organisasinya. Artinya, output-outcome masing-masing JF dengan pola MPH ini semestinya bisa ditarik lurus dengan target dan capaian organisasi secara menyeluruh berdasarkan capaian IKU unit kerja ke organisasi.
Dampak positif bekerja secara tim yang lebih mudah terukur bagi unit kerja dan organisasi ini, di sisi lain secara bersamaan juga berpotensi memunculkan dampak dilematis, dalam hal predikat kinerja yang diperoleh antara JF yang satu dengan JF lainnya di tim kerja dan unit yang sama. Perolehan predikat kinerja terutama BAIK dan SANGAT BAIK berpengaruh terhadap poin AK yang akan didapatkan JF setiap tahun, berpotensi memunculkan konflik internal jika JPT Pratama unit kerjanya tidak membuat batasan yang jelas antara perolehan predikat BAIK dan SANGAT BAIK.
Oleh karenanya, kelompok JF yang terlibat secara tim di mana dituntut melakukan pekerjaan yang sama-sama ditujukan untuk capaian IKU unit dan organisasi, dengan kebutuhan jenjang karier yang serupa, harus diberikan ukuran yang jelas terutama perihal kriteria output-outcome seperti apa yang layak memperoleh BAIK dan SANGAT BAIK. Batasan dan ukuran yang jelas ini harus ditetapkan sejak awal oleh pimpinan unit kerja sebelum para JF ini terlibat dalam MPH, bahkan memungkinkan tidak hanya untuk sesama JF, tetapi juga berlaku antara JF dengan pejabat pelaksana dan struktural setingkatnya.
Jika JPT Pratama unit kerja JF mengalami kealpaan dalam menetapkan kriteria yang jelas terutama untuk memperoleh predikat SANGAT BAIK sebagai poin AK maksimal yang tentunya diharapkan semua JF untuk karier kepegawaiannya, maka potensi konflik internal tidak dapat dihindari, khususnya di kalangan sesama JF dan bukan tidak mungkin bisa melebar terhadap jabatan lainnya di unit kerja yang sama.
Hal ini semestinya bisa menjadi pertimbangan penting bagi JPT Pratama untuk menentukan target dan capaian kinerja unit dalam aspek komposisi SDM yang dimilikinya. Bahkan penetapan batasan yang jelas bagi para pegawai untuk meraih predikat kinerja SKP kategori BURUK, CUKUP, BAIK, hingga SANGAT BAIK dapat dimanfaatkan secara positif oleh JPT Pratama untuk mencapai kinerja unit yang selaras dengan ambisi visi-misinya terhadap unit dan organisasi. Jika yang terjadi justru sebaliknya, potensi ini malah akan menjadi PR (baca: pekerjaan rumah) berkepanjangan bagi pimpinan unit kerja yang ujung-ujungnya berdampak pada capaian kinerja unit dan organisasinya.