Hidup sederhana dan selalu bersyukur adalah kunci kebahagiaan dan kedamaian batin, keduanya saling melengkapi dan membawa manfaat besar untuk kesehatan mental dan emosional.
Kesederhanaan membentuk perasaan selalu merasa cukup sehingga dapat mengurangi keinginan-keinginan yang tidak perlu seperti mengikuti trend sesaat yang sering kali tidak mendatangkan kebahagiaan sejati. Rasa syukur menumbuhkan sikap menghargai setiap kebaikan dan anugerah hidup yang diberikan oleh Tuhan sehingga dapat memandang kehidupan lebih positif meski dalam situasi sulit.
Sulit sekali rasanya mengukur maturitas tindakan hidup sederhana dan selalu bersyukur, terdapat relativitas pandangan terhadap makna dari kesederhanaan dan kemewahan itu sendiri, sesuatu yang dianggap sederhana oleh seseorang bisa jadi sebuah kemewahan bagi orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya persepsi individu, latar belakang budaya, kondisi ekonomi, dan nilai-nilai yang dianut oleh setiap individu.
Di sisi lain, rasa syukur adalah sikap batin yang diekspresikan dalam bentuk keikhlasan, penerimaan, dan rasa cukup yang tidak dapat dihitung secara kuantitatif, bukan tentang jumlah harta atau tindakan yang bisa dihitung tetapi bagaimana memandang dan merespon kehidupan secara keseluruhan terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban. Lantas bagaimana Generasi Z (Gen Z) mengekspresikan tindakan hidup sederhana dan selalu bersyukur dalam konteks pencegahan korupsi?
Gaya hidup yang praktis, efisien, dan minim stres sangat diminati oleh Gen Z, mereka merupakan generasi yang fasih teknologi dan menginginkan fleksibilitas serta efisiensi. Soft life contohnya, salah satu konsep gaya hidup yang banyak digandrungi akhir-akhir ini, yaitu konsep menjalani kehidupan dengan mencari ketenangan, kenyamanan, fokus pada keseimbangan, self-care, serta menikmati hidup tanpa terburu-buru. Ada pula minimalisme, yaitu konsep gaya hidup yang lebih menghargai pengalaman dan hubungan sosial daripada kepemilikan barang, tidak berfokus pada kepemilikan materi yang berlebihan melainkan pada hal-hal yang esensial dan benar-benar penting dalam hidup (Data NielsenIQ Tahun 2023 menunjukkan bahwa Gen Z lebih suka produk fungsional dan multifungsi).
Menurut laporan Deloitte Global Tahun 2023 bahwa lebih dari 70% Gen Z memanfaatkan aplikasi digital untuk mengatur keuangan, belanja, hingga kesehatan mental. Meski menjalani kehidupan di era digital yang serba sat-set, mereka cenderung menolak hustle culture, yaitu budaya kerja berlebihan yang sering memicu tindakan ilegal untuk mencapai kesuksesan secara instan, mereka lebih memilih keseimbangan, fleksibilitas (nomaden dan mobilitas), serta melakukan konsumsi secara bijak dengan tidak menjadikan kepemilikan barang sebagai tolok ukur keberhasilan. Fenomena gaya hidup tersebut dapat dijadikan sebagai pendekatan efektif untuk mencegah korupsi di kalangan generasi muda, terutama hal-hal yang mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan dan rasa syukur yang secara alami menolak keserakahan dan keinginan untuk memperoleh sesuatu secara tidak sah.
Kesederhanaan dan rasa syukur menumbuhkan pengendalian diri terhadap keinginan untuk hidup mewah dan berlebihan. Kesederhanaan sebagai bagian dari nilai-nilai antikorupsi dapat dipraktikkan melalui pengelolaan gaji yang baik, hidup hemat, mengutamakan kebutuhan dibandingkan keinginan, menghindari perilaku konsumtif, serta mengendalikan diri agar tidak rakus dan berlebihan. Rasa syukur menumbuhkan sikap penghargaan atas apa yang dimiliki, menghalangi keinginan dan dorongan untuk memiliki sesuatu lebih dari yang dibutuhkan, serta mencegah tindakan membanding-bandingkan hidup diri sendiri dengan orang lain (Ingat! Ojo dibanding-bandingke).
Penerapan nilai-nilai kesederhanaan dan rasa syukur mendorong setiap orang untuk lebih jujur, bertanggung jawab, dan adil dalam setiap tindakan. Hal tersebut efektif sebagai benteng yang kokoh untuk mencegah korupsi serta menumbuhkan integritas dan karakter yang tidak mudah goyah oleh godaan materi.