Masih hangat di ingatan kita soal tagar #JanganJadiDosen yang pernah viral di aplikasi X Februari lalu hingga akhirnya disorot oleh berbagai media. Tagar tersebut mengungkap fakta yang sarat dengan kegelisahan warganet terhadap masa depan dan kesejahteraan profesi dosen di Indonesia. Pada kenyataannya, fenomena tersebut tidak terbatas pada profesi dosen. Masih ada profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) lain di berbagai sektor mulai dari level desa hingga pusat yang mengalami permasalahan serupa, belum menyoal tunjangan yang kadang telat turun atau bahkan diduga dikorupsi oleh atasannya sendiri. Mungkin belum banyak yang tahu jika menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019, besaran gaji ASN sama di seluruh di Indonesia meskipun Upah Minimum Regional (UMR) berbeda-beda di setiap wilayah. Besaran tersebut tak jarang lebih rendah dibanding UMR di beberapa wilayah, kita ambil contoh UMR DKI Jakarta tahun 2024 adalah Rp 5.067.381, sementara gaji lulusan sarjana freshgradute (nantinya akan masuk ke dalam kategori golongan III/a masa kerja golongan 0-1 tahun) adalah Rp 2.785.700. Jadi, siapa yang ingin jadi ASN?
Berita baiknya, upah yang diterima oleh seorang ASN memang tidak hanya gaji karena ada yang dinamakan remunerasi, namun disinilah letak permasalahan lain yang lebih krusial. Terdapat ketimpangan yang cukup ekstrem soal tingkat remunerasi tiap kementerian atau pemerintah daerah di Indonesia, hingga lahir istilah kemensul (kementerian sultan) untuk kementerian tertentu yang mendapat remunerasi hingga 100% dan kemenjel (kementerian jelata) untuk kementerian lain yang mendapat remunerasi rendah. Riuhnya media sosial terkait ketimpangan ini bukan tak pernah didengar atau diketahui pemerintah, pemerintah nampaknya mulai memikirkan rancangan single salary yang sudah diwacanakan sejak beberapa tahun lalu, namun entah kapan dapat direalisasikan. Sayangnya, cerita soal buramnya potret ketimpangan ini masih kalah ramai dibanding glorifikasi besarnya bonus dan tunjangan ASN tiap tahun. Padahal sudah 4 tahun lamanya hak remunerasi tersebut tidak diberikan akibat pandemi covid, namun ASN harus selalu siap jadi tumbal media. Jadi, siapa yang ingin jadi ASN?
Di tengah berbagai peliknya dinamika urusan gaji dan remunerasi ASN, Deputi Bidang Pembinaan Manajemen Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2023 lalu justru mendorong ASN untuk berwirausaha atau mempunyai pekerjaan sampingan. Negara terkesan lepas tangan akan kesejahteraan pegawainya, di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap layanan ASN kian meningkat. Dosen yang kelelahan saat mengajar atau pelayanan yang kurang ramah di beberapa instansi pemerintah menjadi sasaran empuk warganet untuk diviralkan. Padahal bukan berarti mereka tidak kompeten atau benci, bisa jadi mereka sedang lelah menjalankan dua pekerjaan sekaligus, utama dan sampingan. Bagaimana seseorang dapat bekerja secara profesional jika dianjurkan memiliki pekerjaan sampingan? Jadi, siapa yang ingin jadi ASN?
Sebagai representasi yang mengurusi Sumber Daya Manusia (SDM) yang seharusnya berupaya mengoptimalkan performa serta mengutamakan kesejahteraan pegawainya, BKN melalui Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia No. 3 Tahun 2023 justru mengeluarkan aturan baru yang banyak dinilai merugikan ASN. Pasal 10 ayat 4 menyebutkan jika kelebihan angka kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan, dengan kata lain ASN dengan performa tinggi berdasarkan pada banyaknya perolehan angka kredit sebelumnya dapat memiliki kinerja yang setara dengan ASN yang memiliki performa biasa saja karena setiap kelebihan angka kredit yang dahulu dapat diakumulasikan untuk mendapatkan kenaikan pangkat/golongan lebih lanjut, sekarang akan selalu di-reset akibat aturan ini. Pasal lain yang tak kalah kontroversial adalah pasal 12 ayat 1 tentang hasil penilaian kinerja dilakukan oleh atasan langsung sebagai Pejabat Penilai Kinerja. Aturan tersebut dapat berlangsung optimal jika setiap instansi memiliki atasan yang berintegritas, namun dapat menjadi neraka bagi yang mendapatkan tipe atasan yang sebaliknya. Tidak adanya skema umpan balik dari bawahan ke atasan dapat menyebabkan maraknya fenomena ABS (Asal Bapak Senang) dan berpotensi menimbulkan kesemena-menaan yang makin tidak terbendung. Tak jarang kita menjumpai ASN yang rajin kalah dengan yang pandai menjilat di lapangan dan peraturan ini justru berpotensi menjadi katalis maraknya fenomena tersebut di berbagai lingkungan kementerian. Jadi, siapa yang ingin jadi ASN?
Istilah ASN sebagai abdi negara sudah seyogyanya dihentikan, ASN adalah kerja-kerja profesional yang dilakukan berdasarkan kompetensi masing-masing bidang yang didapat dengan susah payah selama masa perkuliahan, bukan "pengabdian" dan keikhlasan yang merupakan koridor peribadatan. Tulisan ini bukanlah pesan perseorangan atau golongan, namun sejatinya merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian. Seseorang bisa saja sukses menjalankan dua peran sekaligus, namun kita tidak bisa abai terhadap fakta bahwa tidak setiap orang memiliki kemampuan dan atau keadaan yang memungkinkan untuk melakukan keduanya. Diskursus mengenai ketimpangan gaji dan remunerasi ASN harus terus disuarakan karena aku, kamu, kita, adalah manusia yang sama-sama menginginkan kehidupan yang layak serta bekerja sepenuh hati, fokus memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
"Mari terus berisik untuk kesejahteraan dan pelayanan publik yang lebih baik"