Sebelum membaca tulisan ini, buatlah segelas teh hangat/kopi panas, mainkan beberapa music playlist kesukaanmu lalu sesuaikan posisi kursi senyaman mungkin dan silahkan menyeruput minuman serta tulisan kami, selamat membaca.
Belakangan ini kita dikejutkan dengan 2 kata yang membuat seisi dunia seakan-akan menjadi kacau balau yaitu “Efisiensi Anggaran”. Berbagai spekulasi bermunculan saat melihat keseriusan pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk menekan anggaran belanja, dinas luar, pengadaan barang, ATK, dll. Namun, daripada itu semua kami mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Karena bagaimana pun ASN (Aparatur Sipil Negara) merupakan bagian dari Pemerintah itu sendiri, suka tidak suka harus melaksanakan ketentuan atau aturan main yang berlaku. Secara sejarah perjalanannya pada masa kolonial ASN atau juga yang sekarang disebut PNS (Pegawai Negeri Sipil) ada juga PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), ah apalah itu sebutannya pada masa dulu dikenal dengan istilah “ambtenaar” sebagai tulang punggung administrasi pada pemerintahan masa penjajahan. Dari ambtenaar ini pula digadang-gadang menjadi cikal bakal bentuk birokrat yang modern, ya kita-kita inilah dengan istilah Aparatur Sipil Negara yang bekerja sebagai Abdi Negara.
Beberapa dekade ini ASN merupakan profesi yang begitu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sejak dinaikan gaji yang cukup signifikan pada era Presiden Abdurrahman Wahid a.k.a Gusdur yang secara data merupakan presentase kenaikan tertinggi hingga hari ini. Apakah PNS merupakan profesi yang paling digandrungi sejak dulu? Menurut beberapa cerita yang pernah kami simak, dulu PNS bukanlah profesi yang menjanjikan bahkan PNS merupakan opsi terakhir dari pilihan-pilihan yang ada. Namun setiap tren ada waktunya dan setiap waktu ada trennya kami menamainya sebagai “Siklus Profesi”.
Dalam youtube Ferry Irwandi yang berjudul Indonesia Menuju Krisis Multidimensi pada menit ke 4:38 - 4:51 beliau menyampaikan “Masalah penghematan atau efisiensi yang harus dirasakan oleh PNS-PNS di negara ini. Men, dari dulu sampai sekarang gua baru sekali ini menghadapi situasi atau melihat situasi dimana PNS tidak lagi menjadi jaminan!”
Lalu bagaimana kacamata kami melihat tantangan yang dihadapi oleh ASN, kami membaginya dengan 2 kategori ASN Fresh Graduate dan ASN Ex Budak Korporat.
Siapa bertahan, siapa kewalahan??
ASN Fresh Graduate
ASN Fresh Graduate menurut kami mereka adalah ASN yang pure mendedikasikan dirinya di bawah pemerintahan. Sejak lulus kuliah langsung meregisterkan diri di website SSCASN atau sembari menunggu ujian SKD nyambil jadi Tenaga Kontrak atau Tenaga Honorer di instansi Kementerian ataupun Pemerintah Daerah.
Kita sendiri mengetahui bagaimana tantangan pekerjaan di dunia adminitrasi pemerintahan cenderung monoton, bahkan kami memiliki pengalaman dengan salah satu rekan yang menanyakan “Apa sih kerjaan PNS itu kok ga kelar-kelar? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikerjakan itu-itu saja.”
Ya ada benarnya juga apa yang ditanyakan itu, walaupun pada realitanya begitu banyak aplikasi perencanaan dan pembaharuan data yang dibutuhkan. ASN Fresh Graduate cenderung memiliki semangat untuk dapat mengubah sistem. Teringat kembali dengan pesan salah satu guru kami yaitu Alm. Masnur Marzuki, SH., L.L.M beliau mengatakan “Kita seringkali ingin merubah sistem pada faktual dilapangan malah kita sendiri yang dirubah oleh sistem.”
Mengenai profesi ASN dengan jaminan pensiun itu sangat menggiurkan, ya tidak semua pekerjaan memiliki kepastian jaminan pensiun seperti ini. Maka karena itu profesi ASN ini menjadi pilihan yang tepat untuk beberapa fresh graduate melabuhkan masa depannya. Ditambah dengan budaya yang begitu mengakar di kalangan masyarakat kita, seakan-akan hanya 1 pintu rezeki yang dibukakan Tuhan yaitu PNS. Yang akhirnya terbawa ritme dengan gaya birokrat lama.
ASN fresh graduate tidak memiliki banyak tekanan karena arena pekerjaan yang cenderung statis. Mungkin lebih unggul secara administrasi namun tidak dengan kecepatan kecuali ada desakan. Kultur budaya kerja yang begitu homogen menjadi persoalan tidak terlepas mengenai struktur organisasi dan ego sektoral antar instansi.
ASN ex Budak Korporat
ASN ex Budak Korporat mereka yang dengan keputusannya menjadikan ASN sebagai pilihan terakhir. Mereka berusaha masuk di suatu perusahaan untuk menjadi karyawan dengan berbagai target yang ada, minimal mencari experience dan networking. Secara waktu mereka memiliki banyak waktu di kantor daripada di rumah karena perusahaan rata-rata berorientasi pada laba jadi secara langsung ataupun tidak langsung karyawan pasti akan ditekan untuk mencapai goals yang sudah ditentukan. Budak korporat juga menyesuaikan dengan core value yang ada di perusahaan ditambah lagi kalau masuk dari perusahaan kecil hingga menjadi perusahaan yang bertumbuh dan peningkatan laba. Tentu secara mentalitas budak korporat lebih memiliki tingkat kepercayaan diri karena setiap harinya memiliki misi atau pekerjaan yang bisa diselesaikan.
Kultur perusahaan juga mengharuskan pengeluaran sekecil-kecilnya dan pemasukan sebesar-besarnya. Itu membuat ASN ex Budak Korporat terbiasa untuk mencari solusi dari perjalanan terjal yang dihadapi.
Selama bekerja sebagai budak korporat para pekerja ini lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental dan turunnya produktivitas hal ini dikarenakan target bulanan atau tahunan yang harus dipenuhi. Burnout menjadi fenomena akhir-akhir ini karena memang begitu kompetitifnya persaingan dan mengejar pemasukan untuk perusahaan.
Dan faktor utama yang membuat budak korporat masuk sebagai ASN biasanya sudah dititik mencari work life balance atau usia yang sudah memasuki usia 30 tahunan.
Kesimpulan
ASN ex Budak Korporat pernah berpatokan dengan KPI (Key Performance Indicator) dan Target Growth, sedangkan ASN Fresh Graduate sudah terbiasa dengan SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Dengan pekerjaan serba pressure membuat ASN ex budak korporat lebih memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Di dunia korporat memiliki kompetensi dapat mepercepat karir tanpa harus melihat status kepangkatan/golongan, bagaimana seorang perfomance dari hasil kerja itu dan membuat impact pada pendapatan perusahaan. Sedangkan di regulasi berbeda, sekalipun ada istilah promosi di dunia ASN tetap saja masih menunggu penyesuaian pangkat/golongan dengan kelas jabatan.
Alih-alih mempertanyakan siapa yang lebih unggul, yang lebih penting adalah bagaimana keduanya bisa saling melengkapi. Dengan bagaimana setiap individu memiliki fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri.
Lingkungan yang tidak berkolaborasi akan melahirkan jiwa-jiwa yang tidak berpotensi. Kita seperti menemukan Era New Normal yang mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri.
Dan bagaimana menurut teman-teman siapa lebih unggul untuk Berdaptasi dalam issue Efisiensi Anggaran ini?
Sekian opini kami mengenai Efisiensi Kontemplasi Diri, terima kasih untuk memulai dan telah mengakhiri tulisan ini.