Kondisinya belum berubah secara signifikan. Kenyataannya, naskah kuno memang masih sepi peminat. Bukan hanya karena aksara dan bahasa yang dianggap kuno, tidak populer alias tidak lagi kekinian, melainkan soal minimnya pemahaman akan nilai tak terhingga dalam setiap deretan teksnya. Berusia di atas 50 tahun, teks-teks kuno itu nyatanya menyimpan formula-formula sakti warisan leluhur bangsa, dan ironisnya jarang ada yang memanfaatkannya, hingga kini. Ditambah lagi stigma yang terlanjur mengakar, entah dari siapa dan mulai kapan, bahwa teks kuno hanyalah mitologi belaka, tidak rasional, kurang penting, dan tidak lagi relevan untuk masa kini. Begitukah?
Nusantara Kuno Melek Literasi
International Literacy Day setiap 8 September memantik ingatan kita, bahwa sebenarnya masyarakat Nusantara telah mengenal aksara, sejak dulu. Disematkannya angka tahun pada prasasti dan penyebutan kolofon dalam naskah kuno menegaskan, bahwa sumber-sumber sejarah itu ditulis pada era ratusan tahun silam, sehingga stigma Nusantara kuno tidak melek literasi, tidak benar. Sumber-sumber sejarah itu mampu menggambarkan bagaimana besarnya peradaban bangsa kita, kala itu.
Dalam tradisi penulisan kuno Nusantara dapat dilihat kecakapan berbahasa. Bahkan, tata bahasanya pun sangat jelas menandakan sastra yang tinggi. Gaya penulisan berbentuk kakawin, macapat, maupun gancaran menuntut si pengarang harus bermulti-talenta, yakni mampu menuliskan deretan aksara dengan baik, berkisah dengan bahasa yang runtut, dan mengisahkannya dalam kasusastraan tinggi. Belum lagi penambahan kode-kode misterius yang sengaja disisipkan sebagai ‘filter’ agar teks tetap terjaga dari masa ke masa.
Penulisan naskah-naskah kuno dilakukan di dalam lingkungan istana maupun di luar istana. Ada beberapa ciri yang membedakannya. Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu naskah babon atau induk naskah disalin maupun disadur oleh pelaku berbeda, tentunya sesuai maksud dan tujuan masing-masing. Naskah yang telah disalin disebut naskah tedhakan. Ada yang menggunakan aksara dan bahasa yang sama, ada pula yang disalin menggunakan aksara atau bahasa berbeda sesuai daerah maupun keperluannya, bentuk penulisannya pun kadang sama bahkan berbeda, akan tetapi isi ceritanya tetap sama.
Kesusastraan di Era Imperium Majapahit
Sumber Daya Alam melimpah adalah anugerah bagi Nusantara. Negeri ‘Zamrud Khatulistiwa’ julukannya, karena letak geografisnya berada tepat di garis khatulistiwa, sehingga mendapatkan sinar matahari langsung sepanjang tahun, menjadikannya salah satu negeri dengan iklim tropis yang khas. Kekayaan melimpah itu dikelola dengan sangat baik oleh negara, sehingga kemakmuran, kesejahteraan, serta keamanan masyarakatnya pun terpenuhi dan terjamin. Dengan kondisi negeri yang gemah ripah loh jinawi, sudah sepantasnya terlahir banyak kesusastraan besar.
Di abad 13 – 15 Masehi, Majapahit adalah imperium yang mampu mengelola potensi sumber daya dengan sangat baik. Pusat pemerintahnnya berada di Jawa Timur dan menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara serta mancanegara. Saat itu, tercipta karya susastra bernama Negarakertagama atau Nāgarakṛtâgama, ditulis langsung oleh sang pelaku sejarah, sebagai gambaran kehidupan Majapahit di zaman itu. Pada pupuh 8 – 12, mengisahkan tentang tata ruang istana Majapahit yang sangat megah, yakni digambarkan dengan bangunan yang sangat tinggi, besar, dan tidak ada yang mampu menandingi kemewahannya. Pencapaian besar Majapahit terekam pula pada pupuh 13 – 15 berbunyi, “Pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi : Jawa, Sumatera, Tanjungpura (Kalimantan), Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaka (Malaysia), dan daerah-daerah pulau di sekitarnya. Majapahit juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara sekitar, seperti : Siam, Champa, India, Cina, hingga Afrika.”
Sebagai penyeimbang informasi, ada pula catatan manca dari Dinasti Yuan (1279 – 1368 Masehi), bahwa Kaisar Cina pada bulan ke-dua 1292 Masehi memerintahkan kepada gubernur Fujian untuk menaklukkan Jawa (Majapahit). Dikisahkan, bahwa Kerajaan Jawa (Majapahit) adalah kerajaan sangat besar, oleh karena itu Kaisar Cina mempersiapkan bala tentaranya sebanyak 20.000 tentara dengan 1.000 kapal dan melengkapinya dengan perbekalan selama satu tahun dan sebanyak 40.000 batang perak.
Selanjutnya, catatan seorang pendeta Italia di abad pertengahan bernama Odorico Da Pordenone atau Odorico Matiusi. Ia dalam misi penyebaran Injil ke Asia pada 1318 Masehi. Dalam kunjungannya ia menyinggahi Negeri Persia, Turki, India, hingga tiba di Nusantara, yakni di Pulau Sumatera. Dari Sumatera ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa pada 1321 – 1322 Masehi, di masa pemerintahan Sri Jayanegara, raja ke-2 Majapahit. Yang menarik dari catatannya adalah, terdapat ulasan tentang istana Majapahit dari sisi struktur dan bahan bangunan, yaitu bahwa istana Majapahit ternyata dilapisi emas.
Kutipan catatan Odorico adalah sebagai berikut, “Saya pergi ke sebuah pulau lain bernama Jawa yang memiliki garis keliling pantai sepanjang 3.000 mil. Raja Jawa memiliki tujuh raja lain di bawah kekuasaan utamanya. Pulau ini dianggap sebagai salah satu pulau terbesar di dunia dan seluruhnya dihuni. Hasil buminya melimpah, yaitu cengkih, pala, kemukus, serta segala rempah lainnya. Juga, terdapat jenis makanan lain dalam jumlah besar, kecuali anggur. Raja Jawa memiliki sebuah istana besar, mewah, dan yang paling menakjubkan dari yang pernah saya lihat adalah istana raja dilengkapi dengan tangga besar dan megah ke arah ruangan di bagian atas. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi emas dan perak yang ditempa. Terdapat gambar-gambar ksatria yang diukir dengan lapisan emas. Setiap ksatria dihiasi mahkota emas kecil yang bertahtakan beragam batu mulia. Atap istananya terbuat dari emas murni dan seluruh ruangan bawah dilapisi lempeng-lempeng kotak yang terbuat dari emas dan perak. Khan Yang Agung atau Kaisar Cina sering berperang dengan Raja Jawa, tetapi pasukan Cina selalu dikalahkan oleh pasukan Raja Jawa.”
Deçawarṇana, Desa sebagai Penopang Negara
Judul Nāgarakṛtâgama memiliki arti ‘negara dengan tradisi (agama) yang suci’. Anehnya, Nāgarakṛtâgama sendiri tidak disebut dalam teks naskah tersebut. Pada pupuh 94 bait ke-2, sang pengarang, yakni Mpu Prapanca, menyebut karyanya Deçawarnana atau ‘uraian tentang desa-desa’. Namun, nama yang diberikan Mpu Prapanca malah dilupakan oleh publik. Kini, kakawin itu disebut Nāgarakṛtâgama. Nama Nāgarakṛtâgama tercantum pada kolofon naskah yang digarap Dr. J.L.A. Brandes, "Iti Nāgarakṛtâgama samapta." Rupanya, nama Nāgarakṛtâgama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada Kartika tahun Saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nāgarakṛtâgama disalin menggunakan aksara Bali di Kancana. Kakawin ini menguraikan keadaan di istana Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di Tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertahta dari 1350 hingga 1389 Masehi, saat puncak keemasan Majapahit, dan menjadi salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.
Bagian terpenting teks Deçawarṇana atau Nāgarakṛtâgama adalah memberikan banyak informasi terkait desa-desa di wilayah Majapahit yang harus menghaturkan upeti atau pajak. Hal ini dikisahkan saat perjalanan keliling Hayam Wuruk ke Lumajang, perjalanan Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa, hingga oleh-oleh dari berbagai desa yang dikunjungi. Kekayaan desa-desa di wilayah Majapahit terekam jelas saat diadakannya upacara keagamaan berkala, yakni musyawarah, kirab, dan pesta tahunan, seperti sraddha.
Pada pupuh 89 bait ke-2 Raja Hayam Wuruk berkata, “Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Jika tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya, peliharalah keduanya. Itu perintahku.” Hal itu menegaskan, bahwa peran desa sangatlah besar sebagai sumber kekuatan negara. Penarikan pajak khusus berlaku bagi desa yang memiliki potensi alam melimpah dan letak wilayah yang strategis. Desa-desa tersebut dianggap sebagai penopang ketahanan dan kemakmuran negara.
Inspirasi Nāgarakṛtâgama untuk Kemajuan Masa Kini dan Masa Depan
Majapahit menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu yang energi positifnya masih dapat dirasakan hingga kini. Sebagai negara besar, tentunya Majapahit memiliki sistem pemerintahan sangat bagus, ditopang dari segi sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dapat dikatakan, Majapahit berhasil mengelola kekayaan yang dimiliki menjadi ‘formula-formula sakti’ untuk kejayaan negeri, berasal dari Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusianya. Karena, di tangan pemimpin yang tepat segala potensi akan menjadi amunisi super untuk pembangunan negeri. Kegemilangan Majapahit dikisahkan dalam kesusastraan populer Nāgarakṛtâgama sebagai pencapaian besar.
Pelestarian Nāgarakṛtâgama sebagai warisan intelektual bangsa sudah sepatutnya kian digaungkan. ‘Formula-formula sakti’ itu masih sangat relevan di masa kini, mengingat kian maraknya penemuan-penemuan penting sebagai hasil riset ilmiah yang bersumber dari kajian naskah-naskah kuno. Tafsir keilmuan terhadap teks naskah kuno dibutuhkan untuk membuka begitu banyak sekat-sekat pemahaman akan dunia semiotika, bahwa di balik kisah mitologi itu tersimpan fakta sejarah perjalanan bangsa.
Dalam hal penguatan identitas budaya bangsa, Nāgarakṛtâgama mencerminkan pentingnya budaya sebagai bagian integral berbangsa & bernegara. Nāgarakṛtâgama merupakan gambaran nyata pencapaian imperium yang pernah berjaya di Nusantara. Senada dengan itu Menteri Kebudayaan, Bapak Dr. Fadli Zon, M.Sc., dalam sambutannya pada acara ‘Silaturahmi Kebangsaan’, 5 November 2024, menyampaikan, “Kita adalah negara yang kaya akan budaya, inilah yang harus kita gaungkan, menemukan kembali identitas kita di tengah kekayaan budaya.” Oleh sebab itu, sudah selayaknya warisan intelektual tersebut dapat dijadikan potensi besar untuk kembali mencapai peradaban tinggi, dengan cara mempromosikan nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat rasa bangga berbangsa & bernegara, sekaligus membawa nilai-nilai ini menuju dunia global melalui diplomasi kebudayaan.
***