Fokus Upskilling ASN Dominan di Level Umbies, Kesenjangan Digital di Atas Terabaikan

Gambar sampul Fokus Upskilling ASN Dominan di Level Umbies, Kesenjangan Digital di Atas Terabaikan

Transformasi digital dalam birokrasi bukan lagi pilihan. Ia telah menjadi keharusan struktural dalam membangun tata kelola pemerintahan yang adaptif, transparan, dan efisien. Namun realitanya, gelombang pelatihan digital yang kini marak justru lebih sering membanjiri level pelaksana atau kelompok ASN muda. Dari pelatihan literasi digital dasar hingga program inovasi berbasis teknologi, sebagian besar intervensi peningkatan kapasitas ditujukan ke kaum umbies.

Di sisi lain, para pemimpin birokrasi khususnya pejabat struktural yang memegang kewenangan strategis, justru sering tidak tersentuh dan terlibat langsung oleh program pelatihan yang sama. Ironisnya, kelompok inilah yang paling menentukan arah kebijakan digital, pengambilan keputusan berbasis data, hingga keberhasilan implementasi transformasi itu sendiri.

Pertanyaannya: mengapa pelatihan digital ASN begitu gencar di level bawah, namun minim menyasar level atas yang justru paling rentan tertinggal? Mungkinkah transformasi digital birokrasi benar-benar berhasil jika para pemimpinnya sendiri tidak terlibat langsung dalam proses upskilling?

Upskilling ASN yang Berfokus pada Level Bawah

Sejak dicanangkannya agenda Smart ASN dan birokrasi digital, pemerintah telah meluncurkan berbagai pelatihan dan program peningkatan kapasitas yang mayoritas menyasar pegawai baru atau muda. Contohnya, Gerakan Nasional Literasi Digital ditujukan bagi masyarakat umum dan ASN muda, sementara ada juga Digital Talent Scholarship diprioritaskan untuk mencetak talenta ASN muda di bidang digital (Komdigi, 2025). Bahkan pada rekrutmen CPNS saat ini, pelatihan dasar kerap memasukkan materi digital mindset dan inovasi teknologi untuk membentuk ASN yang adaptif sejak awal. Fokus ini menunjukkan adanya komitmen kuat meningkatkan kemampuan digital “dari bawah”.

Dominannya sasaran pelatihan ke level bawah juga tercermin pada tingkat partisipasi ASN senior yang masih rendah. Sebuah studi di Sulawesi Utara mengungkap hanya sekitar 45% ASN senior (Generasi Boomers dan X) yang berpartisipasi dalam pelatihan digital dibandingkan partisipasi Generasi milenial dann Gen Z yang lebih dominan. Dengan kata lain, mayoritas peserta pelatihan literasi digital adalah generasi muda, sementara pegawai yang lebih senior kurang terlibat.

Beberapa alasan dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama, generasi muda ASN umumnya dianggap sebagai digital native sehingga lebih mudah menerima materi teknologi, sedangkan senior cenderung dianggap memiliki kurva belajar teknologi yang lebih lambat. Kedua, program pelatihan sering kali difokuskan untuk  menjangkau level operasional terlebih dahulu, dengan asumsi kompetensi teknis dibutuhkan di lapangan. Baru belakangan pemerintah mulai memperluas upskilling ke jenjang pimpinan melalui program seperti Digital Leadership Academy (DLA) yang menyasar pejabat eselon II ke atas. Sebelumnya, ada kekosongan inisiatif terstruktur bagi level atas, yang membuat kesenjangan keterampilan digital antar level kian lebar.

Fenomena Kesenjangan Generasi di Birokrasi

Realitas demografi ASN Indonesia menunjukkan adanya gap generasi yang signifikan dalam hal literasi digital. Menurut data SMERU (2024), 60% ASN secara keseluruhan berasal dari generasi lebih tua (Generasi X dan Baby Boomer). Adapun generasi yang menduduki jabatan-jabatan fungsional dan pelaksana bidang IT, lebih didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z. Ini berarti komposisi birokrasi didominasi pegawai senior, sementara generasi muda terkonsentrasi di lapisan bawah atau peran teknis tertentu.

Perbedaan generasi ini berimplikasi pada pola adopsi teknologi di tempat kerja. Generasi yang lebih senior (Boomers dan X) menggunakan teknologi secara terbatas, hanya sebatas keperluan administratif yang rutin. Mereka cenderung merasa lebih nyaman dengan metode kerja konvensional berbasis kertas yang sudah biasa dilakukan bertahun-tahun. Meski sebenarnya mampu mempelajari teknologi baru, banyak pejabat senior enggan keluar dari zona nyaman prosedur lama. Akibatnya, hal ini menjadi salah satu potensi hambatan transformasi digital di lingkup internal instansi.

Di sisi lain, generasi milenial dan Gen Z dalam tubuh ASN menunjukkan daya adaptasi yang tinggi terhadap inovasi digital. Mereka tumbuh bersama teknologi, terbiasa bekerja lintas platform, cepat mencari solusi berbasis data, dan nyaman dengan perubahan. Namun ironisnya, meski memiliki kapasitas digital yang kuat, sebagian besar dari mereka masih menempati posisi umbies. Sementara itu, ruang-ruang pengambilan keputusan strategis masih didominasi oleh generasi boomers dan X yang cenderung lebih berhati-hati dalam mengadopsi sistem baru. Ketimpangan inilah yang memunculkan kesenjangan digital dalam birokrasi disaat kompetensi teknologi tidak selalu sejajar dengan kewenangan institusional. Alhasil, inisiatif digital kerap mandek bukan karena kurangnya talenta, tetapi karena tetapi karena mereka yang memegang kendali belum sepenuhnya siap secara mindset maupun kapasitas teknologinya.

Pentingnya Upskilling Digital bagi Pejabat Eselon

Pertanyaannya bukan lagi apakah pejabat di level atas membutuhkan pelatihan digital, melainkan mengapa belum menjadi prioritas? Sebagai aktor kunci dalam pengambilan keputusan dan pengarah kebijakan, para pejabat eselon berada di jantung transformasi birokrasi. Justru karena itu, literasi digital di tingkat pimpinan bukan pelengkap, melainkan prasyarat.

Pemimpin birokrasi yang gagap teknologi tidak hanya tertinggal secara operasional, tetapi juga berisiko mengambil keputusan yang tidak selaras dengan dinamika zaman. Ketika pelayanan publik semakin dituntut cepat, berbasis data, dan adaptif, keputusan strategis tidak bisa lagi bertumpu pada intuisi semata. Sebaliknya, pemimpin yang melek digital dapat mendorong lahirnya inovasi layanan, membaca pola data dalam pengambilan keputusan, dan memimpin tim untuk menavigasi perubahan dengan lebih adaptif.

Di era big data dan kecerdasan buatan (AI), arah kebijakan publik sangat ditentukan oleh kemampuan pimpinan memahami lanskap digital mulai dari dashboard pemantauan real-time, keamanan siber, hingga platform daring. Pimpinan yang menguasai ekosistem digital akan lebih sigap membaca pola data, mengidentifikasi potensi risiko, serta merancang kebijakan yang responsif. Literasi digital juga memperkuat kemampuan mereka dalam mengarahkan organisasi, mendorong kolaborasi lintas unit secara daring, dan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi layanan publik. Dengan demikian, pelatihan digital bagi pejabat eselon menjadi fondasi penting bagi terwujudnya kepemimpinan birokrasi yang adaptif dan visioner.

Membangun Growth Mindset

Salah satu kunci menjembatani kesenjangan kompetensi di tubuh ASN adalah membudayakan growth mindset, atau pola pikir bertumbuh tanpa terjebak pada sekat usia, jabatan, atau generasi. Psikolog Carol S. Dweck menjelaskan bahwa growth mindset adalah keyakinan bahwa bakat dan kecerdasan bukanlah bawaan tetap, melainkan dapat dikembangkan melalui usaha dan proses belajar yang berkelanjutan. Dalam birokrasi, hal ini menjadi pesan yang sangat relevan.

Transformasi digital yang sedang digulirkan pemerintah tidak bisa ditopang hanya oleh ASN muda yang adaptif terhadap teknologi. Para pejabat senior pun harus menjadi bagian dari perubahan, dan growth mindset menawarkan jalan ke sana. Pola pikir ini tidak mengenal usia: baik staf muda maupun pejabat eselon yang telah dua dekade meniti karier, semuanya memiliki kapasitas untuk bertumbuh asal ada kemauan untuk belajar dan keluar dari zona nyaman.

Riset membuktikan bahwa growth mindset berdampak positif pada semua tahap usia, termasuk usia lanjut. Bahkan pada individu yang lebih tua, pola pikir bertumbuh berkorelasi dengan performa kognitif yang lebih baik dan daya belajar yang tetap aktif. Prinsip neuroplastisitas menunjukkan bahwa otak manusia terus dapat membentuk koneksi baru di segala usia, selama ia mendapat tantangan dan pengalaman belajar yang bermakna.

Bagi ASN senior yang mungkin merasa “gaptek,” inilah titik terang. Kemampuan digital bukan monopoli anak muda, ia bisa diasah kapan pun. Seorang pejabat berusia 50-an bisa mulai membiasakan diri menggunakan aplikasi kolaboratif, mengakses sistem e-governance, atau sekadar menandatangani dokumen secara digital. Dengan bimbingan sejawat muda dan semangat belajar yang tumbuh, rasa percaya diri pun akan perlahan mengikuti.

Sebaliknya, pola pikir tetap (fixed mindset) hanya akan menjerumuskan pada sikap “saya sudah terlalu tua untuk belajar ini” dan di situlah akar dari ketertinggalan bermula. Maka, membangun semangat belajar sepanjang hayat (lifelong learning) di kalangan ASN senior bukan sekadar urusan teknis, tapi perubahan cara pandang. Seperti kata Dweck, semua orang bisa menjadi lebih terampil atau “lebih pintar” jika mau berusaha dan terbuka pada proses.

Penutup: Upskilling Harus Menyentuh Semua Generasi

Transformasi digital birokrasi tidak akan pernah utuh jika hanya menyasar mereka yang dianggap “yang muda-muda aja”. Justru tantangan terbesarnya terletak pada mereka yang berada di posisi pengambil keputusan, namun belum sepenuhnya berdaya dalam menghadapi disrupsi teknologi. Ketimpangan ini menyoal arah kebijakan, budaya organisasi, dan mindset untuk membuka ruang belajar bagi semua.

Literasi digital di level pimpinan akan menentukan seberapa cepat dan akurat kebijakan dirumuskan, seberapa adaptif birokrasi merespons perubahan, dan seberapa besar manfaat teknologi bisa dirasakan publik.

Namun di atas semua itu, yang lebih fundamental adalah menanamkan growth mindset di seluruh level ASN. Bahwa kapasitas bukan ditentukan oleh umur atau jabatan, melainkan oleh kemauan untuk terus bertumbuh. Ketika pola pikir ini tumbuh subur dalam birokrasi, maka digitalisasi bukan lagi dianggap beban, tapi akan menjadi ruang pembaruan bersama.

Transformasi digital sejati hanya mungkin terjadi bila seluruh ekosistem ASN dari umbies hingga pimpinan tertinggi berada dalam gelombang belajar yang sama. Tidak ada yang terlalu muda untuk memimpin inovasi, dan tidak ada yang terlalu tua untuk mulai belajar hal yang baru.

Bagikan :