Kontemplasi Diri
Momen 6 tahun yang lalu saat pertama kalinya saya melihat pengumuman hasil seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil melalui Website kembali berputar kedalam ingatan. Kala itu.. jantung saya berdegup kencang, tidak terbayang sebelumnya bahwa saya akan setidaknya menghabiskan usia produktif saya untuk terlibat dan bekerja di pemerintahan, dengan menjadi “Abdi Negara” katanya.
Cita-cita saya ketika memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan yang sudah stabil dan menjadi seorang Abdi Negara tidaklah muluk-muluk "setidaknya saya bisa berkontribusi pada negara saya walaupun mungkin tidak besar.. karena sekecil apapun nyala lilin itu, tetaplah bisa membuat terang" pikirku kala itu.
Saat ini tanpa terasa sudah 6 tahun, waktu yang terbilang belum terlalu lama, namun juga tidaklah sebentar, membuat saya merenungi.. “Masih samakah semangat saya seperti dulu? Apakah tujuan saya menjadi seorang ASN tetap sama? Apakah saya masih on track?”
6 tahun menjadi ASN rasanya seperti slogan iklan Chitato “life is never flat”, belum lama setelah pelantikan CPNS menjadi PNS, harus menghadapi masa disaat Covid-19 menyerang hingga ke seluruh dunia, banyak pula perubahan yang terjadi pada masa new normal, hingga akhirnya ternyata dapat terlewati juga. Kemudian, beberapa tahun setelahnya tiba masanya kepemimpinan yang baru. Dengan adanya kepemimpinan baru, maka secara otomatis banyak kebijakan, aturan, prioritas baru yang terjadi. Kita harus melalui lagi sebuah perubahan. Banyak perubahan yang tampaknya membuat sebagian orang menjadi gamang, tak terlewatkan juga bagi ASN. Nyatanya tiba-tiba saja terdapat satu kata yang menjadi sangat hits yaitu : efisiensi. Lalu, bagaimana ya seharusnya yang harus saya lakukan sebagai ASN?
Filosofi Stoa
Pada momen saya merenungi hal ini, saya teringat akan sebuah filosofi yang bernama Filosofi Stoisisme atau yang dapat juga disebut Filosofi Stoa.
Filosofi Stoa merupakan filosofi purba yang berusia lebih dari 2300 tahun yang lalu. Filosofi sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Philos” yang berarti “Cinta” dan “Sophia” yang berarti “Kebijaksanaan” atau “Pengetahuan”.
Filosofi Stoa bukanlah agama kepercayaan melainkan sebuah praktik cara hidup yang masih relevan hingga saat ini dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Filosofi Stoa yang menjadi tujuan utama adalah mengendalikan emosi negatif, dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete) atau bagaimana hidup sebaik-baiknya sebagai manusia dengan Kebijaksanaan (Wisdom), Keadilan (Justice), Keberanian (Courage) dan Menahan Diri (Temperence).
Tentang Dikotomi Kendali
“Ada hal-hal dibawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak dibawah kendali kita” – Epictetus.
Dalam Filosofi Stoa diajarkan bahwa kita harus fokus kepada hal-hal yang berada dibawah kendali kita (pikiran, opini, persepsi, dan tindakan kita sendiri) sedangkan hal-hal yang tidak berada dibawah kendali kita (opini orang lain, reputasi, peristiwa alam, situasi negara) tidak seharusnya memengaruhi dan mengendalikan kita dan kita tidak menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian kepada sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan. Seperti pada masa efisiensi seperti saat ini, bagaimana respon yang seharusnya dilakukan? Apakah saya pada akhirnya harus selalu mengeluh setiap hari karena anggaran yang terus dipotong -sehingga tidak ada lagi perjalanan dinas-, kegiatan yang tidak lagi bisa dilakukan diluar kantor, penggunaan Listrik, AC, Lift yang dibatasi dsb. Hal tersebut merupakan hal-hal yang tidak dibawah kendali kita, sehingga bila kita sudah menerapkan Filosofi Stoa, mungkin kita lebih bisa menjadi tenang dan bijak menghadapi hal tersebut. Bahkan mungkin saja kita menjadi orang yang lebih bersyukur karena di masa peralihan seperti ini kita masih bisa bekerja dan bahkan menggunakannya untuk lebih berbagi kebaikan dengan orang di sekitar kita, lebih membuka mata dengan lebar melihat orang-orang disekitar kantor kita yang mungkin lebih membutuhkan pertolongan, menjadi lebih memperhatikan lagi kesehatan jasmani yang mungkin sempat tidak kita perhatikan atau bahkan menjadi lebih kreatif dengan mengembangkan keahlian untuk menambah pemasukan?
Praktik S-T-A-R
Mungkin tidak selalu setiap hari merupakan ‘pelangi yang indah’, ada kalanya mulai merasakan emosi negatif (kesal, marah, sedih –karena anggaran dipotong lagi) sehingga dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, langkah-langkah yang bisa diambil yaitu dengan mempraktikan STAR yaitu Stop-Think-Assess-Respond.
Stop ; Sadar bahwa kita harus berhenti dulu (mungkin jari kita sudah mulai ingin marah-marah di Media Sosial)
Think and Assess ; bertanya pada diri sendiri “apakah emosi saya terjadi karena sesuatu yang ada didalam kendali saya atau diluar kendali saya?”
Respond ; berusaha rasional dalam mengamati situasi dan menahan diri untuk tidak terbawa emosi.
Premeditatio Malorum
Dalam Filosofi Stoa, bukan berarti hal yang berada diluar kendali kita, kita menjadi pasrah saja dengan keadaan yang terjadi, justru sebaliknya harus bersiap diri apabila kemungkinan buruk terjadi. Ada sebuah ‘imunisasi’ mental yang dapat dilakukan yang disebut “Premeditatio Malorum” atau memikirkan hal-hal yang negatif yang mungkin terjadi.
Misalnya saja, dengan adanya efisiensi tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja besaran THR maupun Gaji-13 berkurang tidak seperti tahun sebelumnya, sehingga melalui Premeditatio Malorum kita sudah membayangkan kemungkinan terburuk, untuk kita menjadi lebih bersiap diri, baik dengan mulai menyisihkan gaji maupun tunjangan kinerja dengan memasukkan nya kedalam pos “dana darurat” atau mulai dengan lebih berhemat sehingga dengan menyadari hal tersebut lebih cepat, kita masih memiliki waktu untuk merencanakan dan mengambil keputusan yang lebih baik.
Dalam Filosofi Stoa bahkan diajarkan untuk setiap pagi mensimulasikan skenario terburuk yang mungkin bisa terjadi pada hari itu, hal itu dapat membuat kita lebih bersiap untuk mengatasinya dan tidak mengalami kekecewaan yang teramat dalam apabila hal tersebut benar terjadi, dan sebaliknya jika akhirnya semua hal buruk yang dibayangkan ternyata tidak terjadi, kita akan merasa lebih bahagia.
Pada Akhirnya, Amor Fati
Amor Fati adalah Bahasa Latin yang diterjemahkan menjadi “Love of Fate” atau mencintai takdir.
Filosofi Stoa melihat seluruh alam semesta sebagai sebuah keteraturan dan keterkaitan segala hal, sehingga sudah terjadi menuruti rantai peristiwa dan hukum alam, sehingga kita bisa belajar menerima masa kini (present) bahkan “mencintainya”.
Sama halnya dengan takdir kita menjadi seorang ASN atau Abdi Negara, daripada kita terus menanyakan atau menyesali keputusan kita dimasa lampau, mungkin kita bisa belajar untuk mencintai takdir. Dengan segala perubahan yang kita rasakan saat ini, mungkin merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang akan terjadi di masa depan.
“Kamu mendapatkan ketimun pahit? Ya buang saja. Ada semak berduri di jalan setapak yang kamu lalui? Ya berputar saja.” -Marcus Aurelius (Meditations).
Sama halnya ketika kita diminta untuk mengurangi penggunaan AC, ya sudah pakai kipas angin portable saja, atau diminta untuk mengurangi penggunaan kertas, ya sudah menggunakan media eletronik saja. Mungkin saja pada masa sekarang ini kita memang diajar untuk berpikir lebih ‘simple’ dan segera fokus pada apa yang bisa dilakukan. Marcus Aurelius menyampaikan bahwa pada dasarnya hidup ini memang penuh dengan hal-hal yang gak enak, dan itu adalah fakta.
Filosofi Stoa untuk ASN Tangguh
Pada akhirnya, berhenti sejenak untuk memikirkan kembali tujuan menjadi seorang Abdi Negara memang diperlukan, agar dengan segala perubahan yang ada, kita bisa lebih tahan uji dan dengan lebih sukarela mengabdikan diri kepada bangsa dan negara yang kita cintai. Apabila kita bisa mempraktikannya seperti pada Filosofi Stoa, kita bisa menjadi ASN yang bermental tangguh dan hidup dengan keberanian, kebijaksanaan, menahan diri dan keadilan agar bisa berdamai dengan keadaan, kedamaian pikiran dan ketenangan senantiasa.