Efisiensi Setiap Hari, Minimalis Sepanjang Masa

Gambar sampul Efisiensi Setiap Hari, Minimalis Sepanjang Masa

Mungkin ini saatnya ASN menjadi Astronaut Sipil Negara.

Profesi impian saya saat masih Sekolah Dasar adalah astronaut. Bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Gegara terkesan dengan foto ikonik pendaratan Neil Armstrong di bulan dengan pesawat Apollo 11 yang lengket dalam ingatan sejak Sekolah Dasar. Dua dekade kemudian, seleksi CPNS membawa saya menjadi satu, dari 3,6 juta PNS atau 4,7 juta ASN.

Sayang, hingga hari ini belum satu pun manusia Indonesia yang mendarat di bulan. Alih-alih mampu membiayai mega proyek ke antariksa, terbaru malah lahir kebijakan efesiensi.

Ada pepatah Tiongkok mengatakan, kalau sedang bingung naiklah pohon yang tinggi. Betul juga, melihat dari atas membuat hati lebih lapang dan bisa menyaksikan lanskap lebih luas. Dari buku Filosof Teras, saya membaca bahwa ada overview effect dari para astronaut ketika mereka menyaksikan dunia dari jarak yang begitu jauh. Menyadari rapuhnya kehidupan dan betapa saling terkoneksi. Andai saja para pemimpin bisa melihat planet bumi dari sepuluh ribu mil maka perspektif mereka akan berubah drastis.

Ah, tak perlu repot-repot ikut seleksi di NASA. Cukup mengambil hikmah pengalaman astronaut. Kita bisa memeriksa efek kebijakan efesiensi dan meresponnya sebagai pribadi seorang ASN. Cara pikir ini memandang bahwa tidak ada kesulitan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ingat, kita pernah mengalami pandemi COVID, dampaknya lebih dahsyat.

Masalah apa pun yang dialami masing-masing ASN bukanlah masalah yang paling terpenting di planet ini. Betul, kata-kata Henry Manampiring dalam hal ini "jika kita rasional, kita tak perlu lebay di semua situasi".

Shock Policy

Kebjiakan efisiensi menimbulkan guncangan. Jelas, Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 2025 mengguncang kementerian atau lembaga pusat dan pemerintah daerah. Aparatur kemudian seperti terjebak dalam turbulensi, sampaikah pesawat yang kita tumpangi pada tujuan? Lalu, bagaimana efek kejutnya bagi ASN. Tentu daya guncangnya berbeda-beda. Di berbagai media, muncul keluhan, keberatan, kegalauan dan respon negatif tentang kebijakan efisiensi.

Kembali ke filosofi Stoa, terdapat ajaran utama tentang adanya dikotomi kendali. Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. Kebijakan dalam level tertentu adalah sesuatu di luar kendali. Jadi, keharusan efesiensi adalah sesuatu yang mungkin terjadi sejak dan sampai kapan pun.

Lalu, muncul bermacam respon. Dari mulai emosi negatif rasa ketidakadilan sampai cemas akan gaji ke-13 dan ke-14. Sebagai contoh, ketika pimpinan menggunakan kendaraan mewah dan pengawalan sementara struktural dan staf menengah ke bawah harus bekerja tanpa pendingin udara dan bus penjemputan pegawai ditiadakan.

Guncangan lain yang paling mendapat perhatian adalah menurunnya penghasilan di luar gaji. Ada sebagian ASN yang mengandalkan uang perjalanan dinas dan honor kegiatan untuk menunjang biaya hidupnya. Berkurangnya fasilitas membuat pengeluaran bertambah pula.

Jaban Versus Jabatan

Lalu haruskah side hustle menjadi solusi?

Sedikit cerita, di Tegal, tempat saya lahir dan tinggal, dikenal uang jaban. Istilah ini berasal dari Bahasa Jawa, jaba artinya di luar. Jadi, jaban adalah penghasilan yang diperloleh di luar gaji atau tunjangan rutin.

Kini, saya mengenal istilah side hustle. Semangat menjalankan side hustle makin didorong teknologi memberikan peluang menjalankan bisnis daring. Bisa pula usaha yang konvensional seperti buka warung, misalnya. Namun satu hal, semua itu membutuhkan konsentrasi, waktu, dan energi, mungkin pula modal uang yang rawan mengganggu komitmen dan kinerja PNS.

Tak sulit mendapati ASN yang tertarik dengan monetisasi berbagai format konten lewat akun medsos-nya. Belum lama, muncul berita demonstrasi para siswa SMA yang gagal ikut SNPB terhadap ASN yang disebutnya sibuk ngonten. Jangan lupa, hasrat monetisasi lewat konten jika tanpa kendali serupa dengan judol yang memiliki efek nagih.

Konon side hustle lebih ke passion dibanding dengan side job yang mengarah pada kerja sampingan yang tidak harus disukai, seperti istilah ”yang penting halal”. Namun, di mana-mana semua aktivitas itu jelas menambah jam bekerja. Bahkan remote job, pekerjaan yang dikerjakan dari jauh sekalipun. Gilirannya dapat menambah lelah fisik dan beban psikologis.

Di sisi lain, perlu diingat pula pentingnya perhatian kepada keluarga. Yakinkah, setelah bekerja berangkat jam tujuh pagi sampai menjelang malam, kita tidak ingin meluangkan waktu, perhatian dan energi kepada pasangan, orang tua, anak atau keluarga kita? Sepanjang jabatan dan jaban bernama side hustle berjalan mesra beriringan seperti dua rel kereta, itu tak mengapa. Tetapi kalau ia bersimpangan, berkonflik dan bertabrakan?

Meneropong Kebutuhan, Mencari Versi Bahagia

Berdamai dengan masa efisiensi perlu diikuti efisiensi pada diri sendiri, dalam hidup sehari-hari. Inilah yang lebih masuk akal. Ajakan untuk menjadi minimalis relevan dalam konteks ini. Orang minimalis definsinya adalah orang yang tahu persis hal-hal apa yang pokok untuk dirinya sendiri.

Strategi utama menjadi minimalis ala Fumio Sasaki adalah dengan mengurangi kepemiikan barang demi memberi ruang bagi hal pokok itu. Setidaknya tak menambah lagi belanja barang-barang. Kebiasaan yang hanya menambah lubang. Makin hari lubang makin bertambah.

TV, medsos, berita, konten-konten bertebaran berisi iklan yang mengajarkan kekurangan. Agar manusia tidak pernah merasa cukup. Dari buku Goodbye Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki itu kita dapat belajar, semakin banyak barang semakin pula menuntut banyak waktu, energi, biaya, ruang untuk menyimpan dan memeliharanya.

Kita perlu belajar kembali untuk membedakan kebutuhan dengan keinginan. Kalau mau jujur, faktanya barang-barang yang kita miliki dan sedang kita kejar, lebih banyak karena keinginan. Tak sedikit belanja dan biaya yang kita lakukan adalah gengsi daripada fungsi.

Bukan berarti harus menutup mata. Tunjangan kinerja tiap ASN di berbagai kementerian saja berbeda, apalagi di daerah provinsi dan kab/kota. Belum kita bicara antara staf atau pejabat struktural dengan berbagai tingkat eselon. Dengan penghasilan yang sama sekali pun, kebutuhan setiap manusia tidak sama, bukan?

Jadi, kita perlu awas adanya bahaya siklus dari kerja sampingan. Hustle Side akan menghasilkan uang tambahan. Lalu kita akan semakin kerja keras. Dengan uang yang bertambah, merasa berhak membelanjakan barang atau benda yang kita inginkan. Ini menjadi lingkaran tak berkesudahan. Tentu, bukan berarti tidak ada ukur kelayakan hidup. Guru honorer yang hidup dengan 300 ribu, di mana pun tak bisa disebut sebagai gaji. Minimalis artinya mendefinisikan ulang kesejahteraan agar tidak terjebak dalam kepemilikan benda.

Kabar baiknya, minimalis bisa dimulai hari ini. Minamialisme juga tidak mengukur diri kita dengan ukuran orang lain. Gaya hidup minimalis akan lebih fleksibel dan taraf tiap orang berbeda. Minimalis adalah gaya hidup yang adaptif.

Semula tulisan ini hendak saya juduli "ASN Minimalis Sepanjang Masa Efisiensi". Namun judul itu saya batalkan. Sepertinya istilah "masa efisiensi" tak tepat. Memang, seolah istilah ”masa efisiensi” mengandung pesan bagi ASN agar merespon kebijakan pemangkasan anggaran dengan bijak. Namun, bukankan ini sebuah pengakuan selama ini memang birokrasi tidak efisien? Baiklah, harus akui di sana sini terjadi praktik pemborosan dan kecurangan. Namun, penggunaan istilah ”masa efisiensi” malah menyirami tumbuhmya pembenaran bagi perilaku inefisien. Seolah berkata ”Ah, nanti kalau masa efisiensi ini berlalu, mari kita nikmati dengan lagi kebahagiaan melalui borosnya anggaran upacara, perjalanan dinas, kajian, sosialisasi, bintek dan berjenis kegiatan lainnya”.

Alih-alih side hustle, mengendalikan diri melalui gaya hidup minimalis, bagi sebagian besar ASN lebih lebih mungkin dan masuk akal. Maka, mari menjadi "astronaut" agar bisa mengambil jarak. Lalu menilai, mana hal yang pokok mana yang hanya keinginan. Mana yang fungsi mana yang simbol. Setelah itu, jangan lupa kita kembali ke bumi. Seluruh ASN mengemban tugas dan fungsi masing-masing. Efisiensi seharusnya tiap hari. Efisiensi itu reguler, bukan spesial. Minimalis bisa diterapkan sepanjang masa. Dengan gaya hidup minimialis, kita dapat menjadikan efisiensi sebagai default setting hidup kita. Mungkin ini versi jangan lebay sesuai pesan Henry Manampiring.

Dengan menjadi ”astronout”, anda pun sangat boleh tidak sepakat dengan saya. Ini sekadar satu versi, dari mungkin 4,7 juta versi ASN yang lain.

Setiap manusia dapat memilih bahagia dengan cara masing-masing. Untuk mengukur kesejahteraan kita, tidak di batasi jumlah uang, bertambahnya pendapatan dan kepemilikan benda-benda. Mari kita tilik pentingnya kesejahteraan psikologis dan mental kita. 

Mungkin saja, selama ini kita kita ”kurang piknik”. Harusnya ”main sampai ke bulan”. Dari kejauhan kita akan meneropong pula karnaval ibu-ibu mengantre gas melon. Setiap kepentingan kita hanya satu dari milyaran hal di jagat raya. Tanyakan kembali pada diri sendiri, apakah kita ingin memilih lebay atau rasional menyikapi perihal efisiensi.

Versi bahagia bagi saya sebagai ASN adalah "bahagia kok diatur-atur Inpres".

Bagikan :