Ibarat harimau yang dilepas dalam keadaan lapar, Inpres Nomor 1 Tahun 2025 siap memangsa berjenis kegiatan. Dengan kebijakan tersebut, efisiensi kini menjadi algoritma Aparatur Sipil Negara (ASN).
Saya tidak tahu apakah ketika menandatangani Inpres ini Pak Prabowo ditemani kucing kesayangannya, Boby Kertanegara. Namun, bicara soal efisiensi mengingatkan saya tentang kucing.
Ada lima macam kucing yang menempel dalam ingatan saya. Pertama, si Orens yang dahulu selalu muncul dalam karikatur yang diposting akun IG Jokowi. Kedua, kucing bernama Soleh yang sempat viral setelah akun Direktorat Jenderal Pajak memberinya lanyard dengan identitas "Penyuluh Ahli Meow". Ketiga, tentu Boby Kertanegara yang tinggal di istana. Dari media, terberita Boby suka ikut duduk manja di atas meja rapat. Bahkan Pak Prabowo bergurau bahwa Boby adalah penguasa istana sesungguhnya.
Keempat, Lary the Cat. Belum lama, dalam kunjungan ke Inggris, Pak Prabowo sempat menemui Lary, kucing yang dipelihara di kantor Perdana Menteri Inggris. Dalam obrolan bersama Wakil Perdana Menteri Angela Rayner, mereka bertukar cerita tentang kucing. Pak Presiden berkisah punya delapan ekor kucing dan mengatakan kucing-kucing itu kadang menyebalkan.
Dan kelima, kucing-kucing Bung Hatta. Waktu dibuang ke Digul ia ditemani kucing bernama Juli. Ketika hidup di Bandaneira, ia bersama kucing bernama Hitler. Karena Hitler kabur, ia kembali memelihara kucing berjuluk Turki. Di era menjabat wakil presiden, waktu santainya ditemani kucing bernama Markisi dan Jonkheer.
Ternyata, keberadaan kucing tak asing dalam dunia birokrasi. Tetapi apakah kucing-kucing ini sumber inefisiensi? Makan anggaran negara?
Ada satu lagi, kucing dalam sebuah kisah yang ditulis oleh Paulo Coelho dalam Like The Flowing River. Kisah tentang seorang master meditasi Zen penanggung jawab biara Mayu Kagi yang sohor di Jepang. Kemana-mana guru tersebut selalu bersama kucingnya. Hingga semua murid mengira kucingnya adalah bagian dari ritual penting.
Ketika master tersebut meninggal, penerusnya kemudian tetap melestarikan kebiasaan tersebut. Bahkan menggantikanya dengan kucing baru, begitu kucing sang master habis masa hidupnya. Sebagai pusat meditasi terkenal, tentu tradisi itu menjadi rujukan. Semua orang menganggap kucing adalah hewan sakral dalam meditasi. Murid-muridnya yang kemudian tersebar ke berbagai tempat mendirikan pusat meditasi baru dengan melestarikan meditasi ditemani kucing. Dari generasi ke generasi begitulah tradisinya. Tanpa ada yang tahu sesungguhnya fungsi dan esensi keberadaannya. Lama-lama keberadaannya begitu merepotkan, harus dibiayai makannya dan kotoran tercecer di mana-mana. Terlalu banyak kucing di biara-biara.
Sampai satu abad berlalu, hadir seorang guru yang alergi bulu kucing. Ia bersikukuh mengajarkan meditasi tanpa kucing. Karena ketekunan dan kegigihannya, ternyata tanpa kucing pun meditasi tetap mencapai tujuan. Setiap orang yang datang untuk meditasi tetap dapat menjalani dengan baik. Lambat laun biara-biara sadar kucing itu hanyalah kucing. Namun telanjur butuh dua ratus tahun untuk mengubah kebiasaan tersebut.
Di akhir tulisan, Paulo Coelho mengingatkan betapa banyak "kucing-kucing" tak berguna dalam keseharian kita. Kita tidak berani menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan itu hanya karena diberitahu harus begitu dan meniru praktik terdahulu. Kenapa tak mencari cara lain untuk bertindak tetapi tetap mencapai tujuan?
Negeri Seribu Seremoni
Dalam konteks penyelenggaraan birokrasi tentu saja "kucing-kucing" ini dapat berupa kebiasaan, upacara, benda atau kegiatan yang seolah kewajiban tetapi sesungguhnya tidak esensial. Saya yakin setiap ASN bisa mengidentifikasi mana "kucing-kucing" di dunia birokrasi. Kebiasaan yang setiap hari, bertahun-tahun yang menyita waktu, anggaran dan perhatian.
Penyambutan pejabat ketika membuka suatu rapat atau kegiatan begitu penting. Kadang kita menunggu lama pejabat hanya untuk menyampaikan sambutan utama. Setelahnya tidak penting lagi hasil rapatnya. Kebiasaan lain adalah memberikan pelayanan berlebihan kepada atasan.
Sudah bukan rahasia lagi, misalnya ketika kapolda lewat saja, perempatan dan titik-titik tertentu di jalan kabupaten/kota lalu dijaga para polisi setempat. Sehingga kini muncul tuntutan dari masyarakat agar para pejabat tak dikawal berlebihan. Secara kultural, kita identik dengan kepemimpinan authotarian paternalistic yang memandang pemimpin sebagai Tuan (Gusti) dan bawahan sebagai Pelayan (Kawula). Seperti disebut oleh Lury Sofyan Yahya dan Dimas Budi Praseyo dalam buku bertajuk Arsitektur Perilaku, hal ini merasuk dalam birokrasi di lingkungan birokrasi modern saat ini.
Bisa jadi, karena warisan budaya yang suka mencampurkan ruang publik dan ruang privasi. Perjalanan dinas bercampur dengan jalan-jalan keluarga atau menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi.
Pejabat yang suka dengan perjalanan dinas mirip Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit yang gemar keliling daerah. Menurut Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, sejak zaman kerajaan, kolonial hingga republik biaya "embel-embel" selalu besar. Tahun 1900, pemerintah kolonial pernah mengeluarkan aturan Hormat-Circulair yang menyederhanakan hormat atau acara penyambutan karena besarnya pengeluaran "embel-embel".
Indonesia memang negeri seribu seremoni. Negeri seribu upacara. Beragam adat tersebar di nusantara penuh dengan ritual upacara. Hal ini juga terseret dalam birokrasi. Tak heran, begitu banyak waktu, anggaran dan perhatian terserap ke sana. Acara gunting pita, pembukaan acara, launching, perayaaan ulang tahun daerah, ulang tahun organisasi adalah contoh nyata.
Berbagai kebiasaan sulit berubah. Mungkin berubah, hanya berganti rupa. Kini proyek fisik mercu suar bukan cuma fisik melainkan hal-hal yang bertujuan viral. Tak sedikir pemerintah daerah membuat even kolosal agar viral. Sehingga mengejar rekor "terbanyak, terbesar, terpanjang, terlama".
Jangan lupa, di layar-layar komputer ASN kita dihiasi dengan "kucing-kucing urban". Banyak keluhan dari ASN tentang berjibunnya aplikasi yang bersifat sektoral, tidak saling terkoneksi dan terintegrasi.
Teladan Terbaik
Inpres Nomor 1 Tahun 2025 telah mencatat beberapa jenis anggaran yang perlu diefisiensi. Efisiensi adalah sebuah pilihan yang harus ditempuh. Namun, kita perlu berpikir lebih jauh. Orientasi kita sebaiknya tidak terbatas pada memangkas angka-angka kuantitas. Kebijakan ala harimau mungkin dapat menghemat anggaran, tetapi tidak otomatis mengubah kebiasaan.
Banyak kebiasaan telah menjadi watak kita. Bukankah kebiasaan adalah watak kedua? Habit is second nature. Kalau efisiensi sebatas Inpres yang tak mengubah kebiasaan, maka sama sama saja kebijakan tersebut menjadi arsip, menjelma dan menambah "kucing" baru berwujud kertas di kemudian hari. Butuh kebijakan yang berorientasi perubahan perilaku birokrasi.
Untungnya, rahim sejarah melahirkan teladan. Bung Hatta salah satu pendiri bangsa yang sohor dengan watak disiplin, hemat dan jujur. Begitu disiplinnya, dikatakan oleh Meutia Hatta, bahwa ketika ayahnya memberi makan pun kucing-kucing itu dispilin berbaris rapi.
Suatu ketika Bung Hatta mengembalikan uang sisa perjalanan dinasnya. Staf yang diutus mengembalikan pun menjadi bahan tertawaan. Bahkan ketika ibunya rindu, ia tidak bisa segera menjemput hanya karena tak ada mobil pribadi. Ia enggan urusan pribadi difasilitasi mobil dinas. Ia menolak dibiayai negara ketika pergi haji. Bung Hatta pergi haji dengan biaya mandiri dari honor menulis buku-bukunya. Pada akhir hidupnya, ia meninggalkan secarik iklan sepatu Billy, impian yang tak pernah sampai. Namun, ia mewariskan legacy berupa contoh praktik integritas, kesederhanaan, kejujuran dan kebiasaan hematnya.
Teladan terbaik dari Bung Hatta inilah yang kemudian menjadi inspirasi Hoegeng. Setiap kali mendapat mobil dinas, di dalam mobil tersebut diberi label ”Mobil Dinas Tidak Boleh Dipinjam”. Ia menolak pula rumahnya mendapatkan pengawalan yang ia sebut ”gardu monyet”. Selain menjadi Kapolri ia pernah menjabat Menteri Iuran Negara yang bertugas mencari pendapatan negara melalui pajak dan bea cukai. Saat itu ia menolak rumah dinas menteri dengan alasan, ”ekonomi sedang morat marit, masa saya memboroskan keuangan negara”. Begitu kisah Hoegeng dalam Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis Suhartono
Konsistensi
Kini, di tengah masa efisiensi birokrasi, muncul tokoh yang mempromosikan gaya hidup hemat. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, dan Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan naik transportasi publik. Bima bahkan mendorong kepala daerah untuk menggunakan transportasi umum. Beda dengan Bung Hatta atau Hoegeng, seiring zaman gaya pemimpin zaman kiwari naik kereta diunggah ke medsos. Tak salah, dunia maya menjadi jalan mengkampanyekan kebiasaan baik.
Namun, selain apresiasi masyarakat menuntut konsistensi. Perlu dimaklumi, jika ada komentar penggunaan transportasi umum itu bagian efesiensi atau mencari like simpati di medsos untuk branding diri. Kalau cuma itu, jatuhnya menjadi simbol saja. Lagi-lagi menjadi upacara. Jadi, efisiensi harus bersama dengan konsistensi. Tanpa konsistensi tak ada kebiasaan baru.
Tak mudah meng-copy paste watak Bung Hatta. Perubahan dimulai dari hal-hal kecil. Jadi, mari bergegas tangkap saja satu yang kita anggap "kucing" di instansi masing-masing. Satu per satu dimulai dari "anak kucing" di meja kita.
Efesiensi adalah kewajiban, bukan semata kebijakan apalagi menunggu keajaiban. Efesiensi sekarang juga, apa harus dua abad menunggu sosok seperti master yang alergi kucing? Jangan-jangan kita semua suka mengelus-elus "kucing-kucing" birokrasi selama ini. Seperti sayangnya Pak Prabowo kepada Bobby Kertanegara.
Satu harimau, seribu kucing. Mana yang lebih kencang, suara ”aum” atau ”meow”?
#NulisSembariDinas
#EfesiensidanAdaptasi