Pemotongan anggaran Kementerian Agama (Kemenag) sebesar Rp 14 triliun menimbulkan pertanyaan besar: apakah program-program utama tetap dapat berjalan dengan baik? Menteri Agama Nasaruddin Umar optimis bahwa efisiensi ini bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk menciptakan strategi pengelolaan anggaran yang lebih inovatif dan efektif. Dengan pendekatan yang lebih cermat, penghematan ini justru bisa menjadi titik awal reformasi keuangan yang lebih transparan dan berorientasi pada hasil.
Dalam Instruksi Presiden No. 1/2025 tentang Efisiensi Belanja, pemerintah menekankan pada pengurangan biaya perjalanan dinas serta pengoptimalan digitalisasi dalam berbagai aspek birokrasi. Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia mengambil langkah signifikan untuk mengurangi anggaran perjalanan dinas Aparatur Sipil Negara (ASN). Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan seluruh Kementerian dan Lembaga untuk memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50% pada akhir tahun 2024. Langkah ini bertujuan untuk efisiensi anggaran dan mengalokasikan dana tersebut ke program prioritas pemerintah.
Menteri Keuangan, melalui surat nomor S-1023/MK.02/2024, meminta setiap Menteri atau Pimpinan Lembaga untuk melakukan penghematan minimal 50% dari sisa pagu Belanja Perjalanan Dinas, dengan tetap memastikan efektivitas pencapaian target program masing-masing. Dengan pemangkasan anggaran ini, alokasi dana dapat dialihkan ke sektor yang lebih produktif, seperti pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan layanan publik berbasis digital.
Dari sudut pandang reformasi birokrasi, pemotongan anggaran justru menjadi peluang bagi Kemenag untuk beradaptasi dengan pendekatan yang lebih efisien. Menteri PANRB Rini Widyantini menyebutkan bahwa konsep share outcome, share output, dan share activities akan menjadi kunci dalam memastikan efektivitas program tanpa pemborosan anggaran. Misalnya, program pendampingan reformasi birokrasi yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka kini dapat dijalankan secara daring, menghemat biaya operasional tanpa mengurangi kualitas asistensi.
Namun, dari perspektif pelaksana di lapangan, tantangan terbesar dari pemotongan anggaran ini adalah memastikan bahwa efisiensi tidak mengorbankan kualitas pelayanan. Beberapa program strategis, seperti pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), tetap membutuhkan sumber daya yang memadai. Jika tidak dikelola dengan baik, efisiensi justru dapat berujung pada penurunan kualitas layanan publik, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Dari sisi akademisi dan ekonom, pemotongan anggaran dalam skala besar perlu disertai dengan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas belanja negara. Menurut laporan Bank Dunia, belanja pegawai dan operasional di Indonesia masih bisa dioptimalkan melalui strategi digitalisasi dan peningkatan produktivitas ASN. Negara-negara seperti Estonia telah sukses menerapkan digitalisasi dalam layanan pemerintahan, yang memungkinkan efisiensi anggaran tanpa mengorbankan produktivitas. Indonesia pun memiliki potensi untuk mengadopsi pendekatan serupa, dengan mempercepat transformasi digital di berbagai sektor birokrasi.
Dari perspektif masyarakat, efisiensi anggaran harus tetap menjamin layanan publik yang optimal. Masyarakat mengharapkan bahwa pemangkasan anggaran tidak berdampak pada keterlambatan layanan administratif maupun pengurangan kualitas program sosial dan keagamaan yang dikelola oleh Kemenag. Oleh karena itu, transparansi dalam alokasi anggaran harus menjadi prioritas utama agar pemotongan ini tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Dengan strategi yang tepat, efisiensi anggaran bukan hanya tentang pemotongan biaya, tetapi juga tentang menciptakan birokrasi yang lebih adaptif dan inovatif. Jika pemangkasan anggaran Kemenag dilakukan dengan perencanaan yang matang, bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi langkah awal bagi reformasi birokrasi yang lebih efektif dan berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas. Pemerintah dan masyarakat harus melihat ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien.