Sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), kebijakan Presiden Prabowo yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran Kementerian dan Lembaga memicu berbagai pertanyaan. Meskipun tujuan efisiensi tampak mulia di atas kertas, banyak pihak, termasuk ASN, meragukan implementasi dan dampak jangka panjang kebijakan ini terhadap kinerja pemerintahan dan pelayanan publik.
Inpres ini diluncurkan di tengah situasi ekonomi global yang tidak stabil, dengan ancaman resesi dan fluktuasi harga komoditas. Namun, apakah efisiensi anggaran adalah solusi yang tepat untuk semua masalah ini? Banyak yang mempertanyakan apakah pengurangan anggaran dapat dilakukan tanpa mengorbankan program-program penting seperti sektor pendidikan yang justru menurut presiden, hanya menjadi sektor pendukung.
Bahkan baru-baru ini, pelantikan Deddy Cahyadi alias Deddy Corbuzier sebagai Staf Khusus (Stafsus) Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Pengangkatan ini dinilai tidak urgen dan malah berpotensi menjadi pemborosan di tengah upaya penghematan anggaran. Hal ini adalah salah satu contoh nyata, keputusan yang dinilai antagonistik, tanpa mempertimbangkan prioritas nyata yang justru dapat memperburuk ketimpangan alokasi sumber daya.
Kebijakan penghematan anggaran yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto telah memengaruhi pola kerja dan fasilitas pendukung di berbagai kementerian dan lembaga. Salah satu contohnya adalah Kementerian Pariwisata, di mana pemotongan anggaran berdampak pada operasional sehari-hari. Seorang pegawai di unit pelaksana teknis kementerian tersebut mengungkapkan bahwa penggunaan pendingin ruangan (AC) telah dikurangi sejak kebijakan ini diterapkan. Dari total anggaran Rp 1,7 triliun yang dialokasikan untuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebesar Rp 1,4 triliun dialokasikan untuk sektor pariwisata, sedangkan Rp 279 miliar untuk ekonomi kreatif. Dengan pembagian ini, kementerian tersebut harus menyesuaikan diri untuk menjaga keberlanjutan program-program mereka.
Kebijakan efisiensi anggaran ini tidak hanya memengaruhi pola kerja di kementerian dan lembaga, tetapi juga membawa dampak yang lebih luas terhadap kesejahteraan pegawai negeri dan stabilitas ekonomi. Isu penghapusan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) bagi PNS, serta pemberhentian pegawai honorer non-PNS, berisiko memicu dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Pemangkasan anggaran secara drastis tanpa perencanaan yang matang dapat mengguncang perekonomian nasional, mengingat belanja pemerintah berperan penting dalam mendorong pertumbuhan, terutama di sektor konsumsi dan investasi. Jika daya beli masyarakat menurun tajam dan aktivitas usaha melemah, tingkat pengangguran bisa meningkat, yang pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan sektor ritel, UMKM, dan industri manufaktur.
Di sisi lain, kebijakan penghapusan perjalanan dinas sebagai upaya penghematan belum tentu memberikan hasil yang efektif. Industri perhotelan, transportasi, dan restoran selama ini mengandalkan perjalanan dinas pejabat sebagai salah satu sumber pendapatan utama. Jika kebijakan ini diterapkan secara berlebihan, sektor perhotelan dan pariwisata berpotensi mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja akibat hilangnya pasar utama mereka. Oleh sebab itu, pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan efisiensi anggaran agar tetap dapat menjaga keseimbangan antara penghematan dan keberlanjutan sektor-sektor penting, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dengan evaluasi yang tepat terhadap belanja negara, efisiensi dapat dicapai tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat.