Efisiensi Anggaran dan Pertumbuhan yang Berkeadilan

Gambar sampul Efisiensi Anggaran dan Pertumbuhan yang Berkeadilan

“Kenangan menjelma dupa, anggaran menjelma DIPA.

Harum uangnya merasuk ke mana-mana,

membelai helai rindu yang selalu muda,

mendamba kesejahteraan hidup bernegara”.

 

Diteduhkan oleh Payung Teduh lewat penggalan lirik lagu Selalu Muda, Abdi Muda coba mengambil perspektif sebagai umbies (ASN pelaksana) dalam hiruk pikuk bertema EFISIENSI.

 

Tarik-menarik anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah pertarungan di level Es Melon/Eselon/Pejabat Tinggi. ASN pelaksana, yang ibarat umbi dalam sistem birokrasi, tentu menjadi bagian yang terdampak dan tak jarang-terisolasi. Di tengah jumlah kabinet yang mengalami penggemukan, alokasi anggaran untuk setiap kementerian dan lembaga (K/L) justru dikurangi. Efisiensi anggaran membawa konsekuensi—baik dan buruk—yang harus diwaspadai. Di tengah keterbatasan dan angka yang telah ditetapkan, K/L diberikan rambu-rambu agar belanja pegawai tidak menjadi sasaran utama pemangkasan, gaji honorer (THL/PPNPN) tetap dipertahankan, serta pelayanan publik dan bantuan sosial tidak dikorbankan.

 

Dampak efisiensi anggaran juga berimbas pada ekonomi makro. Government spending, sebagai faktor langsung pembentuk Pendapatan Domestik Bruto (PDB), merupakan satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan pemerintah di tengah daya beli masyarakat yang melemah dan iklim investasi yang lesu. Efisiensi anggaran dapat menjadi pedang bermata dua yang jika dilakukan dengan tepat, dapat menjaga stabilitas fiskal, menarik investor, dan meningkatkan efektivitas belanja. Namun, jika tidak berhati-hati, justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang diusung Sang Jenderal 08 bisa jadi hanya angan belaka. Maka, efisiensi bukan sekadar soal penghematan, tetapi bagaimana setiap rupiah dari #UangKita memiliki makna dan dampak nyata bagi semua.

 

Anggaran harus adil bagi semua, bukan hanya menguntungkan eselon tinggi sementara ASN level bawah—"umbi-umbian" birokrasi—justru terpinggirkan. Seorang ASN pelaksana, seperti guru dan tenaga kesehatan, dalam ranah privat tak ubahnya buruh pabrik, jauh dari posisi manajerial apalagi direktur. Gaji dan tunjangan melekat pada ASN pelaksana yang masih minim, bahkan sering kali lebih rendah dari upah minimum regional (UMR). Sekalinya umbies melakukan perjalanan dinas pun akan sangat kontras jika dibandingkan dengan pejabat eselon tinggi birokrasi yang menikmati perjalanan dinas berbiaya tinggi, lengkap dengan rombongan staf ahli, staf khusus, protokoler dan humas atas nama tugas negara.

 

Menghargai ASN pelaksana adalah sudut pandang lain dalam memahami efisiensi anggaran. Guru dan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan pelayanan publik tidak boleh menjadi korban pemangkasan yang tidak tepat sasaran. Jika efisiensi hanya sebatas jargon dan pengalihan anggaran hanya untuk menutup utang, bagaimana rakyat bisa mendapatkan pelayanan? Jika mereka yang bekerja keras tak dihargai, bisakah negeri ini tetap tegak berdiri? Republik ini akan terus kokoh dengan ASN, TNI, dan Polri yang setia sebagai pengabdi, pemimpin yang amanah dan peduli, serta rakyat yang hidup dalam kesejahteraan—gemah ripah loh jinawi.

#NulisSembariDinas

#EfisiensidanAdaptasi

Bagikan :
Tag :
-