Salah satu dampak positif dari pandemi covid-19 beberapa tahun yang lalu adalah dikenalnya sistem kerja WFH (Work From Home) atau bekerja dari rumah. Bahkan sekarang WFH berkembang lagi menjadi WFA (Work From Anywhere) yakni bekerja dari mana saja. Fleksibilitas lokasi bekerja ini memang cukup efisien, meskipun beberapa sektor pekerjaan tidak dapat menerapkan baik secara hibrid, maupun secara keseluruhan. Namun, pada era kontemporer, fleksibilitas lokasi bekerja yakni WFH dan WFA menjadi primadona sekaligus dambaan baru bagi para pekerja tidak kecuali ASN di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Bapak Presiden Republik Indonesia mencurahkan perintahnya kepada seluruh lembaga negara untuk melakukan efisiensi anggaran. Efisiensi ini ditujukan untuk menghemat dana APBN dan APBD sehingga dapat dialokasikan kepada hal-hal yang lebih penting dan mendesak. Memang banyak pro dan kontra yang terjadi terkait dengan keadaan tersebut. Tetapi pada kesempatan ini, poin penting dan menarik untuk dibahas berkaitan dengan efisiensi anggaran tersebut adalah jam kerja ASN yang mengalami perubahan. ASN diberikan jatah WFH untuk memaksimalkan penghematan anggaran. Jatah WFH ini tentunya direspon beragam, ada yang senang dan ada yang tidak senang. Mengapa demikian? Karena tidak semua ASN memiliki jabatan dengan tugas pokok dan kewajiban yang sama dalam pelayanan masyarakat.
Tetapi, mari kita lihat fenomena diberlakukannya WFH bagi ASN disen. Mengapa ASN dosen? Karena kelompok ASN ini yang menjadi highligt dari awal tahun 2025. Terutama ASN dosen dibawah naungan Kemdiktisaintek yang “mengemis” tukin kepada pemerintah. Eits... tunggu dulu, tulisan ini bukan membahas tentang tukin, melainkan aturan absen dan WFH bagi ASN dosen. Dosen khususnya ASN sebenarnya tidak cocok diberikan aturan kepegawaian yang sama dengan ASN lainnya yang jabatannya non-dosen, salah satunya adalah aturan absensi. Dosen, dengan tugas utamanya melaksanakan tri dharma tidak bisa dipaku dengan aturan absensi yang saklek karena bertentangan dengan tugas pokoknya.
Beberapa kampus katanya menerapkan sistem absensi dosen ASN sama dengan ASN non-dosen. Hal ini sebenarnya menjadi sangat mengikat dan membuat dosen sulit berkembang. Mengapa demikian? Karena salah satu kewajiban dosen adalah meneliti dan memberikan pengabdian kepada masyarakat. Jika dosen ASN diikat dengan aturan absensi yang ketat layaknya ASN non-dosen lain, dosen tidak dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masyarakat secara luas dan mendalam, karena kepikiran waktu absensi terus. Ide penelitian dan pengabdian masyarakat yang berkualitas pasti berawal dari permasalahan yang terjadi pada lingkungan nyata baik fisik maupun sosial. Bahkan tidak jarang saat sedang menulis artikel maupun karya ilmiah lainnya, seorang dosen tidak bisa fokus jika bekerja di kampus. Suasana kampus yang ramai terkadang membuat dosen sulit untuk berkonsentrasi menulis. Oleh sebab itu, memberikan kebebasan kepada dosen untuk mengeksplorasi lingkungannya dan memberikan ruang yang bebas sesuai keinginannya adalah suatu hal yang penting. Selayaknya konsep pembelajaran berdiferensiasi bagi peserta didik.
Sebagai contoh kontekstual, kualitas penelitian di Indonesia katanya masih rendah, hal ini selain disebabkan oleh ribetnya aturan dan dana penelitian yang pas-pasan, juga disebabkan oleh kurang terbukanya aturan bagi dosen untuk dapat melaksanakan penelitian dimana saja. Generalisasi hasil penelitian kebanyakan sangat rendah karena dosen ASN sangat sulit mengeksplorasi lingkungan yang lebih luas akibat terikat aturan absensi. Dosen dengan penghasilan yang kurang layak dengan banyaknya ikatan aturan yang menjeratnya, menyebabkan mereka membuat suatu karya yang ala kadarnya saja. Istilah umumnya yang penting memenuhi beban kerja saja dulu, mau berkualitas atau tidak itu urusan belakangan.
Ukuran kinerja dosen juga masih tumpang tindih antara aturan dari BKN dan dari Kemdiktisaintek. Aplikasi adminitratif untuk menuangkan dan mengelola hasil kinerja dosen juga sangat banyak. Tidak salah jika dosen senior yang “TBC” (Tidak Bisa Computer), “mengemis” minta tolong kepada juniornya yang mahir komputer, untuk mengerjakan dan menuntaskan kewajibannya. Bahkan tidak jarang hal semacam itu menimbulkan ketegangan antara senior dan junior, meskipun sudah ada payung core value ASN BerAKHLAK. Digitalisasi memang penting, tetapi caranya belum sesuai dengan situasi kondisi. Inovasi baru sering terasa seperti pemaksaan terdahap ASN khususnya dosen.
Untuk menjawab semua tantangan dan permasalahan tersebut, seharusnya ada aturan baru mengenai fleksibilitas kerja ASN dosen. Diterjadikannya aturan WFH saat ini memang sedikit menjadi hembusan angin segar bagi ASN dosen. Adanya jatah WFH menyebabkan dosen dapat bernalar, berkreasi, berinovasi, serta bereksplorasi lebih luas lagi terhadap fenomena fisik dan sosial yang terjadi di lingkungannya. Semoga saja kedepannya, ada aturan bahwa dosen ASN dapat bekerja dari mana saja alias WFA, yang penting beban kerja, kewajiban, dan tugas-tugas dapat tercapai dan terpenuhi secara maksimal.