Bicara masalah efisiensi anggaran, adalah topik yang menghiasi keseharian pembicaraan Sebagian besar kalangan birokrat dan ASN hingga hari ini karena belum adanya kepastian dari besaran alokasi anggaran masing-masing K/L karena saat ini pemerintah sedang melakukan rekonstruksi anggaran. Mengapa menjadi hangat dibicarakan, karena efisiensi anggaran ibarat gelombang badai yang siap menhantam. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 adalah ikhwal dari semua keadaan yang terjadi saat ini.
Oke, mari kita melihat dari perspektif dan sudut pandang yang positif kalau efisiensi anggaran ini adalah suatu kebijakan yang positif karena sebuah kebijakan dari pemerintah untuk melakukan penghematan anggaran untuk program dan kegiatan yang tidak subtansial. Itu mengapa pemerintah dalam Inpres 1 Tahun 2025 menetapkan 16 komponen pos-pos anggaran yang akan dilakukan pemotongan anggaran, sebut saja misalnya komponen perjalanan dinas 50%, kegiatan seremonial, kajian, studi banding, seminar, FGD dan bahkan Alat Tulis Kantor besaran pemotongan nya sampai 90%.
Kita bisa bayangkan misalnya perjalanan dinas dipotong 50% dari pagu anggaran, tentu akan menghambat kerja-kerja instansi yang menuntut mobilitas yang sangat tinggi menyesuaikan dengan beban pekerjaan yang ada tentu ini akan terhambat sehingga output kerja tidak akan maksimal. Sebut saja misalnya pemeriksaan oleh unit pengawasan atau pemeriksa yang mengharuskan penyelesaian pekerjaan itu menuntut harus turun ke lapangan, karena keterbatasan anggaran perjalanan dinas tentu ini akan diragukan apakah hasil dari proses penyelesaian pekerjaan dan masalah akan bisa tuntas dengan baik atau tidak.
mungkin selama ini perjalanan dinas adalah penghasilan tambahan bagi ASN diluar dari gaji pokok bagi mereka yang melakukan perjalanan dinas karena mendapatkan uang harian dan yang lainnya. Namun di sisi lain, perjalanan dinas bagi Sebagian instansi kementerian/Lembaga maupun yang didaerah, adalah sesuatu yang subtansi dan penting dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan. Ini yang belum bisa sepenuhnya dipahami oleh pemerintah dalam membedah program dan kegiatan mana yang perlu dipangkas anggaran perjalanan dinas mana yang tidak.
Belum lagi kita bicara ATK yang hampir 90% dipotong anggarannnya, apakah itu sudah menjadi angka ideal dalam pemenuhan anggaran untuk ATK dan menjamin tidak terhambatnya kerja-kerja dari instansi K/L maupun didaerah. Jangan-jangan pada pelaksanaannya nanti, anggaran yang tersedia hanya 10 persen tidak cukup untuk menyediakan ATK untuk pelaksanaan pekerjaan, yang ada malah uang pribadi dari ASN yang menyediakan ATK untuk bagaimana supaya bisa melaksanakan pekerjaan sehari-harinya karena anggaran sudah habis. Belum lagi kita bicara masalah anggaran Listrik dan air, internet yang juga ikut terimbas akibat efisiensi anggaran ini. Sebut saja salah satu contoh adalah instansi dimana saya saat ini bekerja dimana untuk biaya tagihan listrik yang sudah dikirimkan oleh pihak PLN belum bisa dibayar karena kepastian anggaran yang belum jelas dari pusat. Mungkin solusi untuk mengatasi itu adalah membayar tagihan dengan mendahulukan pakai uang pribadi karena kalau tidak dibayar pihak PLN akan melakukan pemutusan arus. Tentu kalau arus listrik diputus akan menjadi hal yang memalukan dan memilukan serta pegawai tidak akan bisa bekerja.
Sebuah Logika Paradoks
Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah saat ini menambah sejumlah kebijakan yang mendapat respon negatif dari Sebagian masyarakat sebelumnya kebijakan terkait kenaikan PPN 12% yang kemudian dibatalkan setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat, kebijakan yang melarang penjualan elpiji di tingkat pengecer yang mengakibatkan antrian Panjang disetiap pangkalan elpiji dan akhirnya juga dicabut dan tidak jadi diterapkan oleh pemerintah dan hari ini kebijakan efisiensi anggaran yang juga mendapat penolakan dari masyarakat dan bahkan BEM SI sudah melakukan unjuk rasa dengan tema #IndonesiaGelap sebagai tanda penolakan atas kebijakan yang ada saat ini.
Saya masih ingat betul statement dari Direktur Peneliti Celios, Mas Media dalam sebuah acara salah satu stasiun TV Nasional mengatakan bahwa ngak bisa kebijakan itu dikelola secara serampangan dan Pemerintah dalam mengambil kebijakan dengan pendekatan “Viral Base Approach”, setelah viral penolakan dari masyarakat pemerintah akhirnya membatalkan atau merevisi aturan kebijakan yang sudah diambil.
Tentu ini tidak baik dalam mengelola sebuah negara Ketika kebijakan publik dikeluarkan tanpa ada kajian dan sosialisasi yang mendalam. Menjadi sebuah “ logika Paradoks “ Ketika negara bicara efisiensi anggaran disatu sisi namun menggendutkan jumlah Kementerian dan Lembaga, menambah pos-pos jabatan wakil Menteri, mengangkat stafsus yang digaji dan difasilitasi dengan fasilitas mewah dari negara yang pada ujungnya memboroskan anggaran yang seharusnya bisa dihemat apabila memiliki kabinet ramping dan membatasi mengangkat staf khusus tanpa perlu lagi memangkas anggaran yang bisa saja itu penting bagi K/L dalam pelaksanaan tugas kelembagaannya.
Ketika negara bicara efisiensi anggaran untuk menutup pemborosan anggaran yang tidak perlu, ternyata tidak hanya berdampak terhadap operasional di internal K/L, tetapi berdampak juga terhadap pekerjaan dan usaha masyarakat. Salah satu yang terdampak misalnya pekerjaan atau usaha yang menawarkan jasa Live Streaming untuk acara kegiatan seremonial ataupun seminar yang diadakan oleh instansi pemerintah yang biasanya ada beberapa kali dalam setahun sekarang menjadi tidak ada sama sekali yang berdampak terhadap pemasukan penghasilan dari usaha jasa live streaming. Belum juga dengan usaha penyediaan jasa makanan dan minuman tentu juga akan merasakan dampaknya kehilangan pemasukan dari acara-acara seminar dan seremonial yang bersumber dari anggaran pemerintah.
Contoh-contoh di atas, menyimpulkan secara singkat bahwa tidak akan ada habisnya membicarakan kebijakan efisiensi anggaran ini, karena dampaknya bukan hanya bicara mikro namun bisa luas secara makro. Di satu sisi efisiensi anggaran baik dari sisi pemerintah bisa mengalokasikan anggaran sebesar 306 T rupiah hasil dari efisiensi anggaran tersebut ke Program Makan Bergizi Gratis dan program lainnya untuk kesejahteraan masyarakat dan juga penyuntikan BPI Danantara, namun disisi yang lain belum tentu baik bagi Sebagian besar masyarakat apalagi mereka yang bekerja di sector informal bahkan tidak menutup kemungkinan di sektor formal.
Ini yang harus dikaji betul oleh pemerintah supaya anggaran ada sebagai hasil dari efisensi anggaran harusnya dialokasikan betul ke program yang memang benar-benar menyasar masyarakat kelas miskin dan mengalokasikan kepada hal-hal yang sifatnya penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat pencari kerja sehingga bisa menopang mereka untuk tidak jatuh kepada level miskin, disamping itu juga program makan bergizi gratis bahwa setiap anggaran yang dialokasikan dipastikan pelaksaannya tepat sasaran menyasar anak-anak yang memang seharusnya layak mendapatkan makanan bergizi gratis sehingga ujungnya nanti program Makan Bergizi Gratis tidak menjadi bencana fiskal kedepannya.
Kita tidak mengkritik niat baik dari kebijakan efisiensi anggaran ini, namun kita mengkritik implementasi dari kebijakan ini yang tidak dilakukan dengan pertimbangan dan masukan dari pihak, akademisi, praktisi dan publik atas dampak dari kebijakan ini. Jangan nanti efisiensi anggaran ini untuk menyukseskan program makan bergizi gratis namun menafikan sektor yang lain misalnya Pendidikan gratis, akses Kesehatan gratis dan penciptaan lapangan kerja yang menjadi fondasi dan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan hidup yang layak dan melanjutkan hidupnya.
Jangan nanti akibat efisiensi anggaran untuk program Makan Bergizi gratis, muncul ungkapan satire yang mengatakan “Anak dapat makan bergizi gratis, tapi orantuanya di PHK dari Pekerjaannya”.