Dua Sisi Ibu Kota Nusantara

Gambar sampul Dua Sisi Ibu Kota Nusantara

Implementasi kebijakan Pemerintah dalam pembangunan IKN yang mengakomodir aspek sosial dan budaya masih belum dipahami, terutama mengenai peran dan tanggungjawab Pemerintah dalam upaya mendukung pembangunan IKN. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pemindahan dan pembangunan IKN belum sepenuhnya dapat diterima dan di dukung oleh masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat mengharapkan adanya keberpihakan, khususnya mengenai relokasi dan kompensasi dengan skema “ganti adil” bagi masyarakat terdampak langsung pembangunan IKN serta upaya membangun tanpa menggusur.

Salah satu upaya dalam mewujudkan misi peningkatan kualitas manusia, pembangunan yang berkeadilan, dan pemajuan kebudayaan yang mencerminkan kepribadian bangsa adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Pembangunan tersebut merupakan bagian dari agenda pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas, dan mengimplementasikan revolusi mental serta pembangunan kebudayaan. Dalam sudut pandang budaya dan sosial, pembangunan IKN mengarah pada pemajuan dan pelestarian kebudayaan untuk memperkuat karakter dalam memperkuat jati diri bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia.

IKN mencakup wilayah daratan dengan luas 256.142 hektar dan wilayah lautan seluas 68.189 hektar. Wilayah daratan tersebut meliputi Kecamatan Sepaku seluas 92.718, 15 hektar di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kecamatan Loa Kulu seluas 24.888,35 hektar, sebagian Kecamatan Loa Janan seluas 33.093, 54 hektar, Kecamatan Muara Jawa seluas 32.131,11 hektar, serta Kecamatan Samboja seluas 71.745,40 hektar di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ada pun Kawasan Ibu Kota Negara mencakup wilayah seluas 56.180 hektar yang akan dibagi menjadi 6 Klaster dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan seluas 6.671 hektar. Selain itu, terdapat pula Kawasan Pengembangan IKN seluas 199.962 hektar.

Visi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara adalah "Kota Dunia untuk Semua". Visi IKN menegaskan bahwa pembangunan dan pengembangan IKN akan menerapkan tata kelola berstandar global, menjadi mesin penggerak perekonomian bagi Kalimantan, dan menjadi pemicu penguatan rantai nilai domestik di seluruh Kawasan Timur Indonesia. IKN yang berada di tengah Indonesia akan menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih strategis dalam jalur perdagangan dunia, aliran investasi, dan inovasi teknologi. Visi IKN berusaha mencapai tiga tujuan, yaitu (1) mewujudkan simbol identitas nasional kota yang mencerminkan jati diri, karakter sosial budaya, keragaman, persatuan dan kesatuan, serta kebesaran bangsa Indonesia berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika; (2) mengembangkan kota berkelanjutan di dunia; serta (3) menggerakkan ekonomi Indonesia masa depan: kota yang mendorong transformasi sosial ekonomi menjadi lebih progresif, inovatif, dan kompetitif dengan mengoptimalkan pengembangan dan pemanfaatan teknologi, arsitektur, tata kota, dan keragaman sosial budaya.

Membangun Pondasi tanpa Menggusur Potensi

Upaya pelibatan masyarakat dengan prinsip-prinsip yang berkelanjutan diperlukan untuk meminimalisir dampak pembangunan IKN. Proses inklusif dan partisipatif merupakan hal yang penting untuk keberhasilan IKN. Dalam hal ini, upaya untuk melakukan pengembangan IKN harus mengikuti kaidah yang tidak membahayakan bagi lingkungan dan memaksimalkan hasil pembangunan. Dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022 tentang Rincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dijelaskan bahwa, terdapat lima isu utama keterlibatan masyarakat yang telah menjadi pedoman dalam konsep sosial, yaitu: (1) Penyelesaian masalah tenurial; (2) Pelestarian nilai, adat, dan budaya lokal untuk ketahanan kebhinekaan Indonesia; (3) Prioritas pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM); (4) Pengembangan infrastruktur yang masih minim; dan (5) Penyelesaian kepatuhan lingkungan. Selain isu utama yang memerlukan pelibatan masyarakat, pembangunan IKN setidaknya memiliki dua permasalahan sosial, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat tinggal. Oleh sebab itu, dalam pembangunannya, Ibu Kota Nusantara perlu memperhatikan ekologi, ekonomi, budaya, dan sosial dengan menerapkan strategi yang merepresentasikan identitas budaya, memahami keragaman kebudayaan dan kondisi sosial masyarakat, serta mengkolaborasikan budaya dan kearifan lokal dengan inovasi teknologi.

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara didasari atas upaya Pemerintah untuk mewujudkan beberapa target. Adapun target tersebut terdiri dari (1) menciptakan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi; (2) mengurangi beban permasalahan Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta yang overpopulated; (3) mewujudkan IKN yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan; serta (4) menciptakan peradaban baru sebagai representasi kemajuan bangsa dengan konsep modern, smart, and green city. Namun demikian, masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur belum mengetahui kebijakan secara spesifik pasca penetapan UU IKN sehingga diperlukan sosialisasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan IKN.

Dalam aspek budaya dan sosial, Provinsi Kalimantan Timur memiliki keberagaman karakteristik kebudayaan, hal ini tampak dari kearifan ekologi dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah suku dan sub-suku di Kalimantan Timur menurut data Sensus Penduduk BPS tahun 2010 sejumlah 435 suku, atau jika total jumlah suku seluruh Indonesia sebesar 1340 suku, maka sekitar 32,46% berada di Kalimantan Timur (Gunawan, 2022). Keberagaman suku merupakan kekayaan alami yang dimiliki Kalimantan Timur. Hal ini dapat menjadi pertanda bahwa pada dasarnya masyarakat Kalimantan Timur dapat beradaptasi cepat dan berinteraksi dengan orang yang berbeda suku, agama, dan rasnya. Namun, jika melihat komposisi penduduk menurut suku di Provinsi Kalimantan Timur, 3 (tiga) teratas justru diisi oleh suku pendatang, yaitu, Suku Jawa sebesar 32,7%, suku Bugis sebesar 18,76%, dan suku Banjar sebesar 14,02%. Interaksi yang positif di satu sisi dapat menciptakan kerukunan masyarakat, namun di lain sisi terdapat ancaman semakin tergerusnya atau hilangnya kearifan lokal satu budaya karena proses pembauran yang terjadi di masyarakat. Dalam bidang kebudayaan, terdapat 3 (tiga) pilar masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Keraton atau Kasultanan, Pesisir dan Pedalaman. Dalam kajian ini, Keraton/Kasultanan difokuskan pada Kesultanan Kutai Kertanegara, Kasultanan Paser, Masyarakat Pesisir difokuskan pada Masyarakat Adat Paser dan Kutai; serta Masyarakat Pedalaman difokuskan pada Masyarakat Dayak.

IKN dalam Mengoptimalkan Potensi dan Menghadapi Permasalahan

Potensi Sumber Daya di sekitar kawasan IKN cukup banyak dan beragam, baik sumber kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, dan pertambangan. Dengan posisi kawasan IKN yang langsung berbatasan dengan laut terutama pada wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, maka terdapat potensi perikanan tangkap dan juga potensi pengembangan Pelabuhan untuk peti kemas atau Pelabuhan penyebrangan. Selain potensi perikanan tangkap, budidaya perikanan juga menyumbang salah satu pendapatan bagi masyarakat di sekitar IKN. Dengan hamparan geografis yang relatif datar, potensi pertanian juga menjadi unggulan pada Kabupaten Penajam Paser Utara yang terdapat di Kecamatan Babulu. Pada sektor perkebunan, terdapat potensi selain kelapa sawit, yaitu kelapa dalam dan karet sebagai penyumbang utama penghasilan di sektor perkebunan.

Di samping potensi Sumber Daya Alam, terdapat potensi wisata yang sangat strategis mengingat Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan pintu gerbang Trans Kalimantan dengan keindahan bentang alam dan lalu lintas perdagangan antar Provinsi. Potensi wisata berbasis alam, yakni Pantai Tanjung Jumlai, Pantai Sipakario (Nipah-Nipah), Pantai Gusung, Penangkaran Rusa, Air Terjun Tembinus, dan Taman Bunga Rozeline. Selain wisata berbasis alam, terdapat pula wisata budaya dengan penduduk asli Suku Paser. Potensi budaya tersebut tercermin dalam kegiatan kebudayaan dan aktivitas adat pada hari-hari tertentu, seperti Upacara Adat Belian dan Pagelaran Seni. Potensi budaya Kabupaten Penajam Paser Utara perlu dikembangkan, salah satunya melalui pengembangan Rumah Adat Kuta Rekan Tatau sebagai ruang untuk pelestarian kebudayaan Paser.

Selain potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Penajam Paser Utara, terdapat pula permasalahan, tantangan, dan hambatan. Apabila dibandingkan dengan penduduk asli di Kabupaten Penajam Paser Utara, jumlah pendatang yang berasal dari suku Jawa, Bugis, dan Banjar lebih banyak dibandingkan dengan suku asli. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya perkawinan campur antar suku asli dengan pendatang. Fenomena perkawinan campur menjadi penyebab munculnya permasalahan pelestarian kebudayaan Paser, selain akibat keengganan para generasi muda untuk ikut melestarikan kebudayaan. Dalam pergaulan sehari-hari, bahasa yang digunakan mayoritas bukan lagi bahasa daerah sehingga penutur asli bahasa Paser semakin berkurang. Minimnya upaya pelestarian kebudayaan menyebabkan beberapa produk budaya seperti pakaian adat dan makanan tradisional pun terancam punah. Produk budaya seperti kerajinan tradisional, kuliner, kesenian daerah, upacara tradisional, dan keterampilan lokal saat ini sulit untuk diidentifikasi dari masyarakat lokal.

Selain permasalahan di bidang kebudayaan, permasalahan lain yang dihadapi berkaitan dengan pendidikan, salah satunya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas penduduk Kecamatan Sepaku hanya lulusan Sekolah Dasar dengan persentase sebesar 65,2 persen penduduk. Sementara penduduk lulusan Sekolah Menengah Pertama hanya 16,7 persen, lulusan Sekolah Menengah Atas hanya 1,2 persen, lulusan Diploma hanya 2 persen, dan lulusan Strata 1 serta Strata 2 kurang dari 1 persen. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk berbanding lurus dengan minimnya Sarana dan Prasana Sekolah di Kecamatan Sepaku. Saat ini, terdapat 28 Sekolah Dasar di Kecamatan Sepaku dengan 25 Sekolah Negeri dan 3 Sekolah Swasta. Sementara Sekolah Menengah Pertama hanya berjumlah 8 Sekolah dengan 5 diantaranya Sekolah Negeri dan 3 Sekolah Swasta. Begitu pula Sekolah Menengah Atas dan Sederajat yang hanya terdiri dari 1 SMA Negeri, 1 SMA Swasta, 3 SMK Negeri, 1 MA Swasta, dan 1 MTS Negeri (sekolah.data.kemdikbud.go.id, 2022).

Kondisi dan fenomena yang terjadi pada masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara menyebabkan munculnya berbagai tantangan dan hambatan. Tantangan utama dalam kaitannya dengan pemajuan kebudayaan adalah pelindungan nilai-nilai sosial budaya dan bahasa Paser yang saat ini dilakukan oleh Lembaga Adat Paser, serta pengembangan dan pemanfaatan produk budaya Paser, seperti tari ronggeng, gintur, pengobatan tradisional, seni bela diri kuntau, acara adat ungan purun, melas tahun, rumah adat paser, simbol mandau, sumpit, tombak, burung enggang, dan sebagainya. Selain itu, terdapat tantangan lain dalam proses inventarisasi kebudayaan Paser yang dilakukan oleh Lembaga Adat Paser. Tidak hanya itu, validasi Pokok Pemikiran Kebudayan Daerah (PPKD) Kabupaten Penajam Paser Utara yang telah diverifikasi tahun 2018 turut menjadi tantangan dalam memajukan kebudayaan. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan dan fasilitasi kepada Lembaga Adat Paser dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan Paser.

Selain potensi, permasalahan, dan tantangan, terdapat pula hambatan yang kerap dihadapi oleh masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara. Di wilayah Kecamatan Sepaku, masyarakat dihadapkan pada sulitnya mendapatkan air. Selama bertahun-tahun, masyarakat hanya bergantung pada hujan untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan. Khusus untuk aktivitas sehari-hari, masyarakat harus membeli air bersih dari Perusahaan Air Minum. Selain kesulitan air, masyarakat pun harus menghadapi kondisi tanah yang kurang subur sehingga relatif sulit untuk mengolah tanah apabila dibandingkan dengan kondis tanah di Pulau Jawa. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya sengketa lahan, terutama di lahan pertanian dan perkebunan yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Berbagai hal tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi masyarakat, terutama dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan memajukan kebudayaan.

Membangun Bukan Berarti Memindahkan Permasalahan

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di wilayah IKN memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber air, salah satunya melalui Air Terjun. Namun demikian, adanya aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh berbagai perusahaan membuat sumber air bagi masyarakat menjadi keruh dan keberadaannya mulai terancam. Di samping hambatan dalam penyediaan sumber air, hambatan lain yang dihadapi oleh masyarakat adalah status lahan atau kepemilikan ladang. Selama ini lahan yang mayoritas digunakan sebagai ladang menjadi sumber kehidupan masyarakat, salah satunya di Desa Lung Anai. Kebiasaan ladang berpindah sudah menjadi kearifan lokal masyarakat adat Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang mendiami Desa Lung Anai. Ketidakjelasan status lahan atau kepemilikan ladang tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Pembangunan infrastruktur yang masif seharusnya sejalan dengan pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkelanjutan sehingga transisi perpindahan IKN bukan hanya sekadar memindahkan pemerintahan, melainkan menyiapkan perbaikan peradaban. Infrastruktur yang dibangun pun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, kearifan lokal, dan keseimbangan ekologi agar pemindahan Ibu Kota tidak membawa permasalahan baru. Hal ini bertujuan agar Visi Kota Dunia untuk Semua bukan sekadar jargon. Pada satu sisi, IKN menjadi simbol modernitas, tetapi pada sisi lain IKN hendaknya mengedepankan lokalitas dan tradisionalitas. Bukankah kedua sisi tersebut dapat disandingkan?

Referensi

Aziz, N. L. L. (2020). Relokasi Ibu Kota Negara: Lesson Learned dari Negara Lain. Jurnal Kajian Wilayah10(2), 37-64.

Budiarta, I. W. (2019). Eksistensi Bahasa Lokal Terkait Pemindahan Ibu Kota Negara Ke Kalimantan Timur: Ancaman dan Strategi Pemertahanannya. Ganaya: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora2(2-2), 1-9.

Herdiana, D. (2022). Pemindahan Ibukota Negara: Upaya Pemerataan Pembangunan ataukah Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik. Jurnal Transformative8(1), 1-30.

Irhamni, I., & Farhana, V. (2020). PERAN DAN FUNGSI PERPUSTAKAAN NASIONAL DI IBU KOTA NEGARA BARU KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. VISI PUSTAKA: Buletin Jaringan Informasi Antar Perpustakaan22(2), 141-150.

Junaidi, J. (2022). Menghindari Konflik Berkomunikasi: Analisis Kebahasaan, Ilmu Komnukasi dan Kewarganegaraan dalam Kasus Ibu Kota Negara Baru yang Disebutkan “Tempat Jin Buang Anak”. KONTEKSTUAL: Jurnal Ilmu Komunikasi1(1), 45-55.

Katharina, R. KEBERLANJUTAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA BARU PADA MASA PANDEMI.

Lantigimo, E. M., Sasirais, I., & Yohaness, G. T. (2022). Kesiapan Dayak Deah Di Desa Kinarum Dalam Menyambut Ibu Kota Negara Baru. Jurnal Teologi Pambelum2(2), 34-48.

Mardika, I. M. (2019). Warisan Budaya sebagai Ikon Pariwisata dalam Rangka Kalimatan Timur Menjadi Ibukota Negara. Ganaya: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora2(2-2), 57-62.

Bagikan :