Disiplin yang Memanusiakan

Gambar sampul Disiplin yang Memanusiakan

Seorang rekan sejawat, sebut saja Pak Andi, yang telah mengabdi puluhan tahun, tiba-tiba menerima surat panggilan. Nadanya resmi dan dingin. Bayangkan ini, dia dituduh melakukan pelanggaran. Dalam sekejap, dunia yang ia bangun dengan susah payah meraih reputasi, rencana pensiun, harga dirinya bergetar hebat. Ia tidak hanya berhadapan dengan tuduhan, tetapi juga dengan sebuah sistem yang terasa begitu birokratis dan menjauh. Dalam situasi seperti inilah, kita sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) diingatkan bahwa penegakan disiplin bukan sekadar urusan aturan tertulis. Ia adalah ujian nyata bagi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam birokrasi kita.

Menurut pandangan saya sebagai ASN kementerian Agama, kita terikat oleh seperangkat norma, kode etik, dan peraturan disiplin yang ketat. Tujuannya luhur: menjaga martabat, netralitas, dan kepercayaan publik. Namun, perjalanan menuju tata kelola yang bersih seringkali harus berhadapan dengan kompleksitas manusia dan prosedur. Sebuah keputusan untuk memberhentikan seorang ASN, apalagi dengan cara Tidak Dengan Hormat, adalah keputusan berat yang berdampak sangat personal. Ia harus dilakukan tidak hanya dengan ketegasan, tetapi lebih penting lagi, dengan kehati-hatian dan kepatuhan pada jalur hukum yang benar.

Sebuah cerita hukum dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar baru-baru ini, tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) seorang anggota Polri, menjadi cermin yang sangat berharga bagi kita di Kementerian Agama. Kisah ini mengajarkan bahwa sebuah keputusan administrasi yang kuat harus berdiri di atas tiga pilar yang kokoh: kewenangan yang sah, prosedur yang adil, dan substansi yang tepat. Mari kita renungkan pelajaran ini melalui lensa problem solving yang sistematis, untuk membangun lingkungan kerja yang tidak hanya berintegritas, tetapi juga penuh empati dan keadilan.

Ketika Proses Disiplin Menjadi Bumerang

Kasus di PTUN Makassar pada intinya adalah protes terhadap proses. Seorang anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat mengajukan gugatan, bukan karena menolak kemungkinan bersalah, tetapi karena cara dia "dipersalahkan" dinilai cacat hukum. Ia merasa hak-hak proseduralnya sebagai seorang anggota polri terabaikan.

Ini adalah persoalan klasik yang bisa terjadi di instansi manapun, termasuk di lingkungan kita. Seringkali, dalam semangat untuk menegakkan disiplin, kita terfokus pada apa pelanggaran yang dilakukan, tetapi mengabaikan bagaimana proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dilakukan. Padahal, dalam hukum administrasi, "bagaimana" itu sama pentingnya dengan "apa". Sebuah keputusan yang substantifnya benar bisa saja dibatalkan oleh pengadilan hanya karena cara mencapainya salah.

Problem inilah yang menjadi akar dari banyak sengketa kepegawaian. Sebagai pengelola SDM, tugas kita adalah mencegah masalah ini dengan membangun sistem yang tidak hanya efektif menangani pelanggaran, tetapi juga melindungi hak-hak setiap ASN.

Membangun Sistem Disiplin Berbasis Tiga Pilar Keadilan

Berdasarkan pembelajaran dari putusan PTUN tersebut, kita dapat merancang pendekatan penegakan disiplin yang lebih inovatif dan manusiawi dengan memperkuat tiga pilar berikut:

Pilar Pertama: Kewenangan yang Jelas dan Legitimasi Moral (The Authority)

Dalam kasus Polri, Pengadilan memeriksa dengan cermat apakah Kapolda yang menandatangani surat pemberhentian memang memiliki kewenangan untuk itu. Ternyata, kewenangan itu ada, karena telah didelegasikan secara sah oleh Kapolri melalui peraturan internal.

Bayangkan jika seorang Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten menjatuhkan sanksi disiplin berat tanpa pendelegian kewenangan yang jelas. Hal ini tidak hanya membuat keputusan itu rapuh di mata hukum, tetapi juga merusak rasa keadilan di antara para ASN. Solusi inovatifnya adalah dengan menciptakan "Peta Kewenangan Disiplin" yang visual dan mudah diakses. Peta digital ini bisa menjelaskan secara hierarkis, jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pada level mana, berdasarkan Peraturan Menteri Agama dan peraturan turunannya. Setiap pejabat yang menandatangani surat keputusan disiplin harus memahami betul pijakan kewenangannya. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk akuntabilitas dan penghormatan terhadap struktur organisasi.

Pilar Kedua: Prosedur yang Menghargai Harkat dan Martabat (The Due Process)

Ini adalah jantung dari keadilan administrasi. Dalam kasus PTUN, sang anggota Polri mengeluhkan pemanggilan yang dianggap semena-mena dan ketidakhadiran tahap audit investigasi. Meskipun dalam putusan akhirnya pengadilan membenarkan prosedur yang dijalankan, keluhan-keluhan ini menyoroti titik rawan yang sering memicu konflik.

Proses disiplin seringkali menjadi pengalaman yang sangat mencemaskan dan mendegradasi martabat. Solusi inovatif kita adalah dengan mengubah paradigma dari "menghukum" menjadi "menemukan kebenaran". Beberapa langkah konkret yang dapat diambil:

  1. Pemanggilan yang Manusiawi. Ganti surat panggilan dengan nada yang menghakimi dengan undangan resmi yang masih menghormati posisi sang ASN. Sertakan dengan jelas tuduhan, hak untuk didampingi, dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan.

  2. "Ruang Bicara yang Aman". Ciptakan atmosfer selama pemeriksaan yang mendorong keterbukaan, bukan interogasi. Tujuannya adalah mendengar cerita lengkap dari semua pihak, bukan sekadar mengonfirmasi kesalahan.

  3. Pendampingan Profesional. Fasilitasi akses bagi ASN untuk didampingi oleh perwakilan unit SDM atau rekan sejawat yang memahami peraturan selama proses pemeriksaan. Ini memastikan ia tidak merasa sendirian melawan sistem.

Dengan memperkuat due process, kita bukan melemahkan disiplin, justru sebaliknya. Kita membangun disiplin yang legitimate di mata semua pihak, yang hasilnya lebih mudah diterima dan berdampak jangka panjang.

Pilar Ketiga: Substansi yang Kontekstual dan Berkeadilan (The Substance)

Kasus ini juga menyentuh persoalan rumit ketika sebuah dugaan pelanggaran tumpang tindih antara disiplin, etik, dan pidana. Sang anggota Polri berargumen bahwa proses etik seharusnya menunggu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, demi menghormati asas praduga tak bersalah.

Bagaimana kita menyikapi seorang ASN yang dilaporkan terlibat dalam kasus pidana? Apakah langsung diberhentikan, atau menunggu vonis pengadilan?
Solusi inovatifnya adalah dengan menerapkan Kebijakan Berjenjang Berbasis Risiko. Kita perlu membuat pedoman yang jelas:

  1. Untuk pelanggaran administratif murni (seperti absensi), proses disiplin dapat berjalan langsung.

  2. Untuk dugaan yang melibatkan unsur pidana berat, kita dapat mengambil langkah sementara seperti pembebasan sementara dari tugas (sesuai peraturan), sambil secara aktif memantau perkembangan proses hukumnya. Keputusan akhir pemberhentian dapat ditunda hingga ada kepastian hukum dari pengadilan. Pendekatan ini tidak hanya menghormati asas praduga tak bersalah, tetapi juga melindungi institusi dari potensi gugatan jika ternyata ASN tersebut dinyatakan tidak bersalah di pengadilan.

Merajut Jaring Pengaman bagi Karier ASN

Membangun sistem disiplin yang adil bukanlah tugas unit SDM saja. Ini adalah kerja kolaboratif yang membutuhkan sinergi dari semua pihak:

  1. Pimpinan Unit, harus menjadi teladan dan memahami betul tanggung jawab kewenangannya.

  2. Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), bertindak sebagai penjaga gawang proses disiplin, memastikan setiap langkah sesuai koridor.

  3. Tim Aparatur Sipil Negara (ASN), dilibatkan dalam sosialisasi untuk menciptakan peer-to-peer support dan pemahaman kolektif.

  4. Bagian Hukum, memberikan pendampingan dan pengecekan akhir terhadap draft keputusan disiplin untuk memastikan kekuatan hukumnya.

Dengan kolaborasi ini, kita menciptakan "jaring pengaman" yang mencegah seorang ASN terjatuh secara tidak adil hanya karena kesalahan prosedural.

Dari Ketegangan Menuju Kepercayaan

Implementasi pendekatan berbasis tiga pilar ini akan membuahkan hasil yang nyata dan transformatif:

  1. Berkurangnya Sengketa Kepegawaian. Dengan prosedur yang jelas dan adil, keputusan disiplin akan lebih diterima, mengurangi jumlah banding administratif bahkan gugatan ke PTUN. Ini menghemat waktu, biaya, dan energi institusi.

  2. Meningkatnya Kepercayaan Institusional. ASN akan merasa lebih aman dan dihargai. Mereka percaya bahwa jika suatu saat mereka menghadapi masalah, mereka akan diperlakukan dengan adil. Kepercayaan ini adalah fondasi bagi kinerja dan inovasi.

  3. Penguatan Budaya Integritas Proaktif. Ketika disiplin ditegakkan dengan cara yang terhormat, ia menjadi pembelajaran bagi semua. Bukan lagi tentang takut dihukum, tetapi tentang menjaga kehormatan bersama. Ini membangun budaya integritas yang lahir dari kesadaran, bukan dari paksaan.

  4. Perlindungan Reputasi Institusi. Kementerian Agama akan dikenal sebagai institusi yang tidak hanya bersih, tetapi juga manusiawi dan adil dalam menangani sumber daya manusianya. Reputasi ini adalah modal sosial yang tak ternilai.

Jika kita membandingkan dengan praktik di negara sistem pelayanan publik yang maju, seperti Singapura dan Inggris, penegakan disiplin tidak dilihat sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai bagian dari sistem pengembangan SDM yang berkelanjutan. Di sana, proses disiplin dirancang untuk memperbaiki perilaku, bukan sekadar menghukum pelaku.

Solusi yang ditawarkan bukanlah perubahan kosmetik, melainkan transformasi paradigmatik. Kita perlu beralih dari budaya disiplin yang represif-menghakimi menuju budaya yang edukatif-memulihkan. Seperti kata bijak, "Hukuman mungkin mengubah perilaku, tetapi hanya keadilan yang dapat mentransformasi hati nurani."

Disiplin yang Memanusiakan

Kisah dari PTUN Makassar itu adalah sebuah pengingat yang powerful. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap surat keputusan disiplin, ada cerita manusia, ada harapan, dan ada keluarga yang bergantung. Tugas kita sebagai pengelola SDM dan sesama ASN adalah memastikan bahwa dalam perjalanan menegakkan integritas, kita tidak menginjak-injak hak dan martabat manusia.

Mari kita jadikan ini sebagai inspirasi untuk terus memperbaiki diri. Marilah kita membangun sistem disiplin di Kementerian Agama yang tidak hanya tajam dan tegas, tetapi juga bijaksana dan berhati nurani. Sebuah sistem yang tidak hanya mencari kesalahan, tetapi lebih dahulu memastikan keadilan. Karena pada akhirnya, ASN yang terlindungi hak-haknya adalah ASN yang akan dengan sepenuh hati melindungi dan mengabdi kepada negara dan masyarakat.

Bagikan :