“Dilaksanakan atau Tiada Lagi ke Depan?” Nasib Naskah Kuno di Tangan Pemangku Kebijakan

Gambar sampul “Dilaksanakan atau Tiada Lagi ke Depan?” Nasib Naskah Kuno di Tangan Pemangku Kebijakan

“Pilih mana, tetap dilaksanakan atau tiada lagi anggaran ke depan?”, ungkapan kawan seorang Abdimuda yang menjadi inspirasi tulisan kali ini (1 Agustus 2025).

 

Ibarat Makan Buah Simalakama

Kali pertama muncul pagu, sungguh lega tak terbayang. Terbayar sudah hasil bergelut dan bertahan di tengah adu argumen deretan prioritas RAPBD terdaftar. Meski tak sebanding dengan nilai warisan, cukuplah untuk gebrakan awal. Rencana-rencana tertunda segera masuk list untuk dijalankan. Tapi, lagi dan lagi, semangat dan harapan kembali menyurut manakala pagu tak sesuai fakta. Antara pesimis ataukah tetap optimis? Entahlah…

Sulit, tapi tak ada lagi pilihan, nrima ing pandum dan tetap melaksanakan meskipun dipangkas berlebihan, atau menolak dengan konsekuensi pupus sudah harapan anggaran di tahun depan. Bukan lagi rahasia, pemotongan anggaran di instansi-instansi rumah pemerintahan dilakukan terang-terangan dengan dalih titipan, demi kesejahteran, atau seribu bla… bla… bla…, sebagai alasan. Apa mau dikata, bawahan hanya melaksanakan, atasan punya kewenangan. 

Menolak melaksanakan kegiatan pelestarian cagar budaya dengan sisa anggaran hasil ‘potongan’, sama halnya memupuk kekhawatiran bakal terhapusnya anggaran kegiatan serupa di kemudian. Tapi, jika tetap dilaksanakan berarti membuka lebar peluang kecurangan. Meski terkesan beridealisme plin-plan, akhirnya anggukan menjadi tanda pilihan, berharap agar warisan leluhur ini segera mendapat penanganan, kondisi aus dan usang karena usia tak lagi muda harus segera terselamatkan. Ya, naskah-naskah kuno adalah saksi kunci perjalanan panjang peradaban. Jangan bertanya isi teksnya, karena tak ada harga yang mampu menakar tinggi nilainya. Segala kisah kejayaan masa lalu, tersimpan rapi dalam deretan aksara dan bahasa kuno yang kini hampir tak lagi ada penuturnya.

 

Kisah Klasik untuk Masa Depan

Sebagai bahan renungan, tingginya peradaban bangsa dinilai dari tinggi budayanya. Bangsa berbudaya adalah bangsa yang tak pernah kehilangan jati diri. Sehingga, terciptanya karya-karya adiluhung dapat diukur sebagai indikator kehidupan mapan dan sejahtera. Kemakmuran yang dirasakan pemerintah serta rakyatnya kemudian menjadi cerminan yang terekam dalam kisah klasik untuk masa depan, sebagaimana jayanya Nusantara ratusan tahun silam.

Kisah klasik ini menghantarkan segala ilmu pengetahuan dan teknologi leluhur yang tersampaikan dalam teks naskah kuno, antara lain: sejarah, pendidikan, ramalan, etika, kepurbakalaan, sosial, bahasa dan sastra, filsafat, ilmu gaib/magis/keajaiban, ilmu senjata wesi aji, asmara, kesenian, arsitektur, obat-obatan dan penyakit, pertanian, primbon, kesenangan dan pertunjukan, tata cara ritual, tipe-tipe manusia, ilmu bumi, ilmu binatang, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan ilmu Jawa kuno lainnya. Semuanya adalah aset bangsa yang luar biasa membanggakan, dititipkan leluhur kepada generasi kini untuk dilestarikan dan diimplementasikan, agar kejayaan bangsa tetap bertahan, bukan malah tenggelam karena keserakahan di balik kebijakan.

 

Mendamba Kebijakan Pelestarian Naskah Kuno

Kebijakan anggaran pelestarian naskah kuno sudah semestinya menjadi prioritas utama, sebab nilai naskah kuno tidak semata-mata berasal dari dimensi sastranya, tetapi ilmu pengetahuan masa lalu yang terkandung di dalamnya. Pelestarian naskah kuno bukan hanya urusan ‘wadah’ semata, tapi implementasi kontekstual sebagai langkah nyata memajukan kehidupan bangsa. Kajian-kajian komprehensif akan menguak misteri betapa tak terhingga nilainya. Naskah kuno bukan hanya gambaran jejak sejarah yang kehilangan makna, tetapi relevansi keilmuannya adalah ‘peta’ menuju gemilangnya masa kini dan akan datang. Naskah kuno adalah pusat peradaban, segala tatanan dan tuntunan kehidupan terangkum menjadi kesatuan.

Di saat pihak asing begitu antusias mengapresiasi warisan naskah kuno kita, di saat begitu banyak keilmuan teradopsi dari lembaran-lemabran usang aset bangsa, sudah sepantasnya kita bertanya: apakah pelestarian pusaka bangsa selama ini telah menjadi prioritas utama, atau hanya pelengkap RAPBD saja—agar tak terkesan ‘menggarap wadah tanpa esensinya’?

Kisah ini dibagikan atas dasar keresahan, suatu kondisi yang memaksa tetap tersenyum sebagai tameng kewarasan jiwa. Sempat ragu akan berbuah pahit di kemudian, tapi tak ada salahnya membagi asa, memupuk harapan tuk adanya keajaiban kisah di penghujung senja. Selama semangat pengabdian ini masih membara, semoga menjadi perhatian bersama. Salam budaya!!!

 

***

Bagikan :