Layanan publik di Indonesia masih sering diwarnai oleh masalah klasik: antrean panjang, birokrasi berbelit, dan peluang terjadinya praktik pungutan liar, pemerasan, bahkan gratifikasi kecil akibat interaksi langsung antara petugas dan masyarakat. Kondisi ini tidak hanya mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga memperbesar celah korupsi dalam birokrasi. Di tengah tantangan tersebut, digitalisasi layanan publik muncul sebagai jawaban. Penerapan sistem e-government, perizinan online, serta aplikasi pelayanan publik tanpa tatap muka baik melalui media sosial maupun laman pemerintah dinilai mampu menutup ruang abu-abu yang kerap menjadi lahan penyalahgunaan kewenangan. Transformasi digital bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan instrumen strategis dalam memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan integritas pelayanan publik.
Digitalisasi layanan publik membuka jalan dari kerumitan birokrasi menjadi lebih transparan, akuntabel, dan efisien. Sistem pelayanan digital memungkinkan proses administrasi tercatat secara otomatis sehingga meminimalisasi potensi manipulasi dokumen maupun interaksi personal yang rawan terjadinya korupsi. Penelitian menunjukkan bahwa penerapan digitalisasi layanan publik memiliki korelasi negatif dengan tingkat persepsi korupsi, di mana semakin tinggi penggunaan digitalisasi layanan publik maka semakin rendah potensi penyalahgunaan wewenang (Seiam & Salman, 2024). Selain itu, digitalisasi mampu meminimalisir celah korupsi serta memperkuat pengawasan internal maupun partisipasi publik yang juga didukung dengan integritas pelaksana, regulasi yang mendukung, dan kesiapan infrastruktur digital (Apriani et al., 2025). Dengan mekanisme digitalisasi dalam proses pengawasan, pelaksanaan pelayanan digital dapat melalui mekanisme kontrol yang efektif untuk mencegah praktik koruptif.
Meskipun potensinya besar, digitalisasi layanan publik tidak lepas dari berbagai hambatan. Pertama, kurangnya infrastruktur TIK yang mengakibatkan akses tidak merata antara daerah urban dan rural sehingga menyebabkan terhambatnya pemerataan layanan digital dan memperlebar kesenjangan digital (Kuntoro & Suseno, 2024). Kedua, kurangnya keterampilan digital di kalangan pegawai negeri dan masyarakat luas menjadi penghambat dalam pemanfaatan teknologi digital secara efektif sehingga menyebabkan rendahnya kepercayaan terhadap layanan berbasis teknologi. Banyak masyarakat masih menganggap proses manual seperti tatap muka lebih meyakinkan dibandingkan sistem daring. Ketiga, aspek regulasi dan keamanan data juga menjadi tantangan, karena belum semua instansi memiliki standar perlindungan data yang memadai. Budaya birokrasi yang resistif terhadap perubahan memperparah situasi, di mana sebagian aparatur belum siap mengadopsi pola kerja digital (Ajeng et al., 2023). Hambatan-hambatan ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak sekadar persoalan teknologi, tetapi juga menyangkut kesiapan sosial baik dari sisi masyarakat dan perangkat daerah terkait, budaya dalam menghadapi transformasi digital, dan regulasi terkait keamanan siber dan privasi data.
Meski menghadapi tantangan, digitalisasi tetap menjadi harapan besar dalam membangun pelayanan publik yang bersih dan berintegritas. Studi kasus penerapan layanan perizinan online di beberapa daerah menunjukkan bahwa digitalisasi mampu mengurangi biaya transaksi, mempercepat proses, serta menekan peluang terjadinya pungutan liar (Journal on Education, 2024). Dalam konteks ini, ASN muda memiliki peran penting sebagai agen perubahan: berani menginisiasi inovasi digital, mengedukasi masyarakat terkait layanan daring, serta menjadi teladan integritas dalam birokrasi. Dukungan kebijakan juga harus diperkuat, baik melalui regulasi keamanan data, standarisasi aplikasi lintas instansi, maupun investasi infrastruktur di daerah. Peran KPK dan lembaga pengawas dapat diarahkan untuk memastikan digitalisasi tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menutup celah korupsi dalam pelayanan publik.
Digitalisasi layanan publik adalah langkah strategis untuk mempersempit ruang praktik korupsi melalui peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi birokrasi. Meski masih menghadapi hambatan teknis, sosial, dan regulasi, manfaatnya jauh lebih besar jika dikelola dengan baik. Peran ASN muda sebagai agen perubahan, ditopang oleh kebijakan pemerintah dan pengawasan lembaga antikorupsi, akan memperkuat arah transformasi digital menuju birokrasi yang lebih bersih. Oleh karena itu, investasi pada infrastruktur, literasi digital, dan regulasi perlindungan data perlu menjadi prioritas agar digitalisasi benar-benar menjadi kunci untuk menutup celah korupsi di Indonesia.