Demotivasi menjadi ASN : Cerita dari Tempat Dinasku

Gambar sampul Demotivasi menjadi ASN : Cerita dari Tempat Dinasku

Guru adalah profesi yang didambakan banyak orang bahkan di tahun 2013 hampir 60% jalur SNMPTN dan SBMPTN memilih jurusan keguruan maka di tahun 2017 akan lahir ribuan bahkan jutaan guru se-Indonesia. Ironinya banyak lulusan sarjana Pendidikan yang memilih untuk tidak menjadi guru karena guru belum bisa menjadi profesi yang menjanjikan.  Tepat 8 tahun saya mengabdi sebagai seorang guru.

Guru SUKWAN

Kisah ini bermula di tahun 2016 dimana saya mengabdi menjadi seorang guru di salah satu SD di wilayah Puncak Cianjur. Berstatus sebagai guru SUKWAN ( Sukarelawan) atau statusnya lebih rendah dari seorang honorer namun tidak menyurutkan semangat saya untuk memberikan dedikasi kepada Bangsa dan Negara. Tidak terasa 2 Tahun saya bekerja, dengan berat hati saya mencari tempat kerja yang lebih baik walau jauh dari tempat kelahiran.

Guru Swasta

Juli 2018 setelah mengikuti berbagai rangkaian tes saya di terima sebagai guru tidak tetap Yayasan di salah satu Boarding School di Kabupaten Subang. Orietasi karyawan, Perjanjian Kerja, HAK dan kewajian karyawan bahkan Job desk sudah disampaikan di awal. Untuk pertama kalinya saya merasa sangat beruntung ternyata ada sekolah dengan system yang luar biasa dengan budaya kerja yang sangat kompetitif supportif bahkan dengan jenjang karir yang jelas, namun rasa ingin menjadi PNS yang membuat saya memberanikan diri untuk resign dan mendaftar ASN PPPK JF Guru.

ASN PPPK Kabupaten Kota

Menjadi ASN tentu impian bagi semua orang terutama guru, karena karir tertinggi mereka setelah bertahun-tahun honor berharap bisa menjadi ASN. Ada rasa bangga dan senang setelah mendapatkan SK dan dikukuhkan menjadi ASN namun perasaan itu tidak bertahan lama, setelah saya sampai di tempat penugasan justru kesan negative yang didapatkan.

Setelah saya meninggalkannya selama 4 tahun ternyata Public School tidak berubah, masih tetap sama dengan system 10 tahun lalu dimana sekolah tidak memiliki visi, tidak ada kontroling pegawai, birokrasi yang belibet bahkan selalu harus mengeluarkan nominal,  bahkan tidak ada apresiasi kerja bagi pegawai apalagi saya sebagai ASN PPPK yang dari awal sudah disampaikan pemerintah tidak ada jenjang karir.

Tenyata menjadi ASN tidak seperti yang dibayangkan apalagi di daerah, fasilitas kerja yang kurang memadai, budaya kerja yang sangat santuy, sulitnya mendapat lingkungan yang kompetitif membuat semangat saya semakin menurun. Sangat berbeda jauh dengan budaya kerja di swasta dimana kita terus berlari menuju visi Pendidikan kedepan sehingga murid kita mampu bersaing di tingkat Internasioanl,  namun di public school kita hanya menunggu intruksi dari dinas setempat, harus patuh dengan intruksi pusat padahal banyak ketimpangan yang terjadi.

Setelah menjadi ASN ternyata saya baru mengalami pengkastaan didunia kerja dimana salary ASN pusat jauh berbeda dengan ASN Daerah, dengan tidak adanya TPP/Tukin bahkan uang makan ternyata UU ASN Hanya berlaku untuk ASN Pusat saja padahal dengan beban kerja yang sama. Belum lagi Hirarki yang sangat kuat dimana ada PNS Senior, PNS junior setelah itu baru PPPK. Sehingga sangat sulit untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Potensi yang saya miliki hanya terpendam sebab tidak ada panggung yang disediakan.

Jika budaya kerja ASN di daerah masih menggunakan metode lama maka akan berdampak pada penurunan kualitas Pendidikan murid, murid di daerah tidak akan pernah mampu bersaing di tingkat provinsi bahkan Nasional, kita lihat berapa persen murid daerah yang mampu menembus Universitas TOP di Indonesia di setiap tahunnya? Ini cukup memerikan bukti riset kecil-kecilan betapa daerah membutuhkan perhatian lebih.

Indonesia emas menjadi kemustahilan jika sumber daya manusia tidak pernah di perhatikan.

Bagikan :