Tahun Pertama: Sekotak Kue Manis

Waktu itu akhir tahun. Semua sibuk kasak-kasuk seperti mengurus banyak hal. Menghitung ini itu, menyelesaikan ini itu. Seorang pegawai baru yang masih berstatus CPNS tiba-tiba mendapatkan jatah sekotak kue manis. Tentu saja setelah orang-orang tadi selesai dengan huru-hara dunia perkantoran. Semua dapat bagian yang sama. Sekotak kue manis.

Ini buat kamu. Semua dapat sama. Tahu sendiri sisa kita nggak banyak.

Pegawai baru itu sepersekian detik terbengong. Patah-patah gerakan tangannya menarik sekotak kue yang dibilang “bagiannya” dari atas meja.

 

Tahun Kedua dan Selanjutnya: Ada yang Nggak Bener, Tapi Apa?

Bisa minta nota kosong?

Tolong bantu palsukan tanda tangan, ya.

Ini boleh ditulis sejuta aja, nggak? Yang dua ratus buat uang bensin.

Mau minta tolong kalau ada staf kami datang ke sana, mohon tanda tangani Surat Perjalanan Dinas kami ya, Pak. Tapi maaf, kami berhalangan ke sana.

Dibuat saja laporan kegiatannya, foto-foto dilengkapi pakai yang ada supaya terkesan rapat sudah dijalankan.

 

Tahun Ketiga: Jadi Penyuluh Antikorupsi

Master, apa yang harus saya lakukan?

Jangan terima! Tolak! Lawan!

Master, apa yang harus saya lakukan?

Jangan lakukan!

 

Dear, Master…

Tahun ketiga menjadi abdi negara, garis tangan menuntun saya menjadi seorang Penyuluh Antikorupsi. Menjadi seorang PAKSI di tengah kondisi yang sangat tidak ideal. Tapi, di sanalah ujian integritas itu terjadi. Integritas tidak akan pernah teruji sampai kita berada di tempat yang tidak ideal, kan?

Tapi, saya tidak ingin berangkat dengan pemahaman bahwa orang-orang melakukan kesalahan karena sengaja. Saya masih mau pura-pura naif dan menganggap mereka melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Sehingga dengan begitu, langkah represif yang bisa saya lakukan juga tidak kasar dan menghakimi. Melainkan mengayomi dan memberi pemahaman pelan-pelan.

Saya menghadapi banyak ketidakidealan di tempat kerja. Itu rahasia umum di seluruh negeri ini. Semua bentuk kecurangan terjadi di depan mata. Hanya saja, saya memutuskan melawannya dengan cara berbeda. Bertahap. Kecurangn-kecurangan yang memang budaya dan kebiasaan selama ini, tegas saya tolak dan lawan. Tetapi, kecurangan yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dari atas, saya siasati sangat hati-hati. Karena saya menimbang, jangan sampai kampanye antikorupsi yang melekat di diri saya ini justru dibenci dan dijauhi orang-orang karena hanya bisa melawan, melarang dan menolak tanpa memberi solusi. Saya tidak ingin!

 

Dear, Master

Saya masih tetap berpegang bahwa kebenaran harus dilakukan dengan cara yang juga baik. Agar jangan sampai kebenaran itu menjadi dibenci, dicaci dan dijauhi hanya karena cara kita menyampaikannya tidak dibarengi dengan empati dan solusi.

Ketika saya mengedukasi sesama rekan kerja, ingin membenahi yang di bawah, seringkali terbentur aturan/kebijakan dari atas. Ketika yang di bawah bersedia diajak lurus, tapi mereka juga harus dihadapkan pada kebijakan di atas yang memaksa bengkok dan tidak dapat dihindari. Ini dilema.

Saya ingin hadir di sana. Saya ingin mendengar apa yang di bawah rasakan, dan melihat apa yang terjadi di atas. Dan, apa yang bisa saya lakukan untuk perubahan ini. Kalau itu hanya berurusan dengan diri saya secara pribadi, atas pertolongan Tuhan saya mampu hadapi, menolak, melawan. Tapi ketika saya “nyemplung” untuk menyelamatkan orang lain juga, saya memilih cara yang berbeda menghadapinya. Berproses.

 

Dear, Master

Baiklah kita harus melawan korupsi dari diri sendiri, dari saat ini, dari yang kecil-kecil, tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kita juga menjadi akibat dari hal-hal besar di atas sana. Perayaan-perayaan kenegaraan, perayaan keagamaan, perayaan hari lahir daerah, seremonial ini itu dan masih banyak lagi, adalah kegiatan-kegiatan yang penganggarannya tidak dimuat dalam dokumen anggaran kita. Tetapi fakta pahitnya adalah, yang berada di level bawah harus mampu melaksanakan, dengan kata lain menyediakan anggaran untuk merayakan. Ini parah! Semangat antikorupsi di bawah tidak didukung kebijakan pusat. Lalu yang terjadi, orang-orang bawah bingung menyediakan anggaran untuk permintaan dari atas. Kecurangan-kecurangan tidak terhindarkan. Mulai dari anggaran ATK menjadi korban, perjalanan dinas yang mereka bodongkan, dan masih banyak lainnya.

Saya muak! Saya muak sekali harus berulang kali melihat fenomena ini. Beberapa staf bawahan mengeluh, ingin bersih, ingin jujur, tetapi jika kebijakan dari atas terus memborbardir memaksa melakukan hal-hal curang, apa yang bisa dilakukan? Semua terlalu tersistematis.  

 

Dear, Master

Dalam Survey Penilaian Integritas Tahun 2025 disebutkan bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi dalam jangka panjang di masa depan dapat dilakukan dengan beberapa cara:

  1. Memperkuat penegakan hukum yang independen dan bebas intervensi.
  2. Melakukan reformasi birokrasi dan menyederhanakan prosedur pelayanan publik.
  3. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah.
  4. Melaksanakan sosialisasi dan kampanye antikorupsi secara massif dan berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat.
  5. Meningkatkan hukuman bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera.
  6. Mendorong upaya perbaikan sistem di instansi agar tidak ada celah korupsi lagi.

Maka buat saya, yang terpenting adalah sinkronisasi semangat antikorupsi dari pusat sampai bawah. Sistem perlu diperbaiki, ditegakkan, diperketat dari atas agar sesampainya di bawah kami punya pedoman dan pegangan untuk melawan dan menolak segala bentuk kecurangan dengan tegas dan berani. Masyarakat hanyalah lapisan terbawah yang melaksanakan, maka untuk melaksanakan, diperlukan dukungan aturan dan regulasi yang kuat secara tertulis, legal dan sah di mata hukum. Perbaiki sistem sedetail mungkin, agar tidak ada ruang kasak-kusuk dan bisik-bisik di level bawah.

Dear, Master

Saya tahu ini tidak mudah. Tidak semudah yang para Master sekalian katakan ketika menasihati saya untuk tegas menolak dan melawan. Tapi ada saatnya, saya berhadapan dengan kejadian-kejadian di level bawah, mereka pun ingin bisa seperti saya, menolak, melawan, tapi tidak cukup kuat melakukan. Secara teknis di lapangan, ada banyak hal yang perlu dibicarakan bersama secara serius. Mereka harus berhadapan dengan atasan, atasan-atasan yang tidak beres.  

Mungkin saya bisa dan kuat memegang dan melaksanakan prinsip untuk melindungi diri, tapi ada banyak orang yang ingin seperti saya, tapi mereka tidak mampu. Mereka mau.

 

Tahu akhir kisah sekotak kue yang saya ceritakan di awal tadi?

Saya membawanya keliling kota. Berputar-putar. Sibuk sekali mencari tunawisma atau orang yang kira-kira berhak menerima. Saya tahu, itu bukan hak saya. Saya bahkan saat itu tidak yakin betul dari mana asal kue itu, karena belum berpengalaman. Tapi insting saya menolak untuk menerima, apalagi sampai membawa pulang ke rumah untuk keluarga tercinta. Saat itu saya tidak kuasa menolak, tetapi saya juga tidak menikmatinya.

Hampir jelang petang, sekotak kue manis itu masih menggantung di leher motor. Saya belum menemukan siapa-siapa untuk diberi. Sekali lagi saya mengulang rute yang sama, berusaha mencari yang terakhir kali, dan bersyukur saya menemukan seseorang untuk diberikan.

 

Dear, Master

Saat saya baru menjadi seorang #abdimuda, saya banyak belum tahunya. Tapi dosen saya pernah berpesan, bahwa penghasilan seorang pegawai negeri itu ada tiga. Pertama, putih, itulah yang halal. Kedua, hitam, itulah yang jelas bukan hak itu. Ketiga, abu-abu, inilah ujian kita. Karena dia berada di antara putih dan hitam. Tidak cukup keberanian untuk melawan dan menolak, dibutuhkan ilmu dan kecakapan menghadapi dan mengidentifikasi apakah itu putih atau hitam.

 

Dear, Master

Ketika kita telah konsisten untuk berintegritas, dan terjaga dari godaan, maka level di atasnya yang akan kita hadapi adalah DILEMA. Dihadapkan pada situasi sulit dan berisiko, yang bahkan berpotensi merugikan diri sendiri. Tetapi, seseorang yang teguh pendirian insya Allah akan tetap kuat karena yakin punya “bekingan” yang kuat, yaitu Tuhan.

Sejatinya, menjadi BERINTEGRITAS bukanlah untuk dilihat orang lain, bukan pula agar dipuji atasan, bukan pula sebab aturan lembaga, aturan hukum negara, melainkan yang lebih hakiki dari semua itu adalah DEMI TAAT PADA TUHAN. Menjauhi apa yang Dia larang.

#aksaraAbdimuda

Bagikan :