Dari Your Raisa untuk Istana Negara : Teka-Teki Efisiensi yang Tak Ingin Usai di Sini

Gambar sampul Dari Your Raisa untuk Istana Negara : Teka-Teki Efisiensi yang Tak Ingin Usai di Sini

Sumber gambar : https://wiglafjournal.com/be-effective-before-being-efficient/

"Und setzet ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein"

Kata-kata di atas merupakan salah satu larik sajak milik seorang penyair berkebangsaan Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller dalam karyanya Das Reiterlied yang kerap sekali dikutip oleh Sutan Syahrir, Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia. Secara sederhana, Syahrir ingin sekali memberikan pesan bahwasanya hidup memang tentang akumulasi pertaruhan-pertaruhan yang tiada hentinya. Barang siapa yang hidup namun tidak memiliki keberanian mempertaruhkan apa yang dicintainya (entah harta benda, ideologi, ilmu, jabatan maupun pemikiran), maka tidak akan pernah akan memenangkan apapun. Sepertinya konsep ini akan dipegang erat-erat layaknya balon yang tinggal empat dan diusung oleh Bapak Presiden Prabowo selama memimpin Republik Indonesia untuk lima tahun ke depan. Kalau kata anak zaman sekarang, high risk high return, semangat all in demi hidup yang lebih baik.

Betapa tidak, baru kurang lebih seratus hari bekerja, gebrakannya sudah ada-ada saja. Tidak main-main, di awal tahun kita dapat langsung melihat gerakan pertaruhan yang pertama diejawantahkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Beberapa eksponen Aparatur Sipil Negara yang biasanya masih santai-santai di bulan Januari karena anggaran belanja belum turun, langsung terbelalak dan menepuk pipinya beberapa kali.

Efisien dan efisiensi, dua kata yang nampaknya asing dijumpai pada instansi pemerintah sejak lama. Sebagai mantan pegawai korporasi luar negeri (swasta, red) saya sudah kenyang dengan sarapan bergizi gratis yang diberikan manajemen dalam wujud jargon-jargon mengenai hidup sederhana serta berhemat di setiap apel pagi. Tidak lupa dengan bumbu cerita sedih bahwa kondisi perusahaan tengah sulit dan terhimpit persaingan pasar yang keras, menambah sedapnya aroma efisiensi agar merasuk ke dalam hati sanubari segenap karyawan. Yah, walaupun tujuh tahun berselang, perusahaan itu masih baik-baik saja dan tetap eksis sebagai market leader.    

Di atas kertas, saya pribadi dan mungkin banyak orang di luar sana menyambut baik dengan kebijakan Bapak Presiden tentang efisiensi ini. Terlebih, sudah banyak masyarakat luas, baik yang turut bekerja sebagai bagian pemerintahan maupun tidak, turut menyoroti betapa bocor dan borosnya penggunaan anggaran negara. Paling terekam di dalam kepala saya adalah maraknya sebaran dokumentasi foto maupun video di mana hotel-hotel di sepertiga akhir tahun selalu penuh dengan rombongan karnaval yang diisi oleh bapak-ibu pegawai pemerintahan. Ya, untuk apalagi jika bukan untuk rapat?

Awalnya saya tidak paham, mengapa jika agendanya hanya meeting yang orangnya juga itu-itu saja dan setiap hari saling bertemu pula di kantor, harus dipertemukan di sebuah aula perhotelan nan jauh di sana? Namun, saya mencoba husnudzon. Mungkin saja kalau suatu rapat dilakukan di tempat yang bagus dan mahal akan selaras dengan outcome ide yang bagus dan mahal pula.

Selain itu, penggunaan air dan listrik juga seringkali tak terkontrol. Banyak kesempatan ketika saya pulang kerja paling akhir, beberapa komputer masih menyala, lampu dibiarkan tidak dipadamkan, deru kompresor air conditioner terus menggerung di ruang administrasi dan lain sebagainya.

Lebih mengejutkan lagi, melalui akun media sosial salah satu kepala daerah terpilih, beliau mendapatkan informasi dari seorang Sekretaris Daerah bahwa terdapat alokasi anggaran untuk penggunaan biaya air di sebuah kantor cabang dinas, unit dan UPTD tahun 2025 yang mencapai 6,7 miliar dalam setahun. Berarti dalam satu bulan, satu instansi ini diproyeksikan akan menghabiskan biaya sekitar lima ratus enam puluh juta rupiah hanya untuk pemakaian air. Wah, sepertinya memang masuk akal sekali itu.

Lagi-lagi saya mencoba husnudzon. Mungkin dinas tersebut akan melakukan uji coba program Gerakan Berseri (Beribu Kali Mandi Sehari) demi Indonesia lebih harum, glowing dan tidak jerawatan. Bisa jadi opsi lainnya, dinas terkait merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki 3 hektar lahan pemancingan di mana pengairannya perlu berjalan setiap hari. Efisiensi dan kerja efisien memang sudah seharusnya mulai menjadi bagian dari budaya kerja kita. Kebiasaan bertele-tele, birokrasi yang berputar-putar dan alokasi anggaran hanya demi kewajiban asal habis saja tanpa memperhatikan kebermanfaatan perlu segera dipangkas.

Namun, pasca beberapa hari titah Bapak Presiden terbit, bermunculan banyak polemik di media massa perkara eksekusi dari Inpres ini. Kementerian Keuangan secara sadis memangkas hampir seluruh anggaran di Kementerian dan Lembaga. Hanya enam belas instansi, termasuk Kementerian Pertahanan, Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Gizi Nasional – tiga nomor teratas pemilik alokasi dana terbesar APBN yang tidak terdampak.

Imbasnya di lapangan, banyak institusi yang latah kemudian melakukan penghematan secara serampangan. Ratusan hingga ribuan tenaga honorer dirumahkan, beasiswa sekolah anak tidak mampu dihentikan, pemeliharaan infrastruktur yang dibutuhkan publik ditunda, biaya pendidikan terancam naik sampai publikasi viral para ASN bekerja di tengah pencahayaan tak memadai. Melihat fenomena ini saya menjadi bingung. Saya sebagai Your Raisa turut merasa sedih, sesedih saat mendengarkan lantunan lagu sang diva ketika mendapati kenyataan ini.

Kesenjangan antara ekspektasi Bapak Presiden dengan realisasi yang dilakukan banyak satuan kerja malah justru menimbulkan teka-teki lho, pak. Bagaimana bisa efisiensi justru memotong anggaran yang sifatnya untuk kebutuhan primer ketimbang tersier dahulu? Hal ini bertentangan dengan konsep pareto dengan sistem 80/20-nya, di mana pertimbangan pemilihan prioritas masalah didasarkan asas kuantitas serta kebutuhan. Percayalah pak, semua polemik ini akan memaksa masyarakat turun ke jalan sebagai bentuk rasa frustasi yang selama ini hanya tersimpan sebagai bahasa kalbu.    

Apalagi konsep pemikiran tentang republikanisme yang terentang dari Socrates, J.J Rosseau hingga Hannah Arendt kemudian Mohammad Hatta memberikan sebuah pola pandang linier. Bahwasanya negara yang bersumpah berdiri atas dasar republik harus senantiasa mengedepankan dua hal, yaitu common good (kebaikan bersama) dan civic virtue (partisipasi publik). Masyarakat adalah pemeran utama, sehingga pengorbanan mereka adalah pilihan terakhir di dalam perjalanan efisiensi ini, bukan justru yang pertama.

Tagar #IndonesiaGelap jangan disalahpahami sebagai cacian ataupun rasa benci kepada pemerintah. Seruan ini justru ungkapan rasa peduli bahwa #IndonesiaTerang adalah anganku anganmu, harapan kita semua. Sejak lampau, Raden Ajeng Kartini bahkan telah memberikan kisi-kisi bahwa memang sebelum terbit terang itu terdapat kegelapan yang mendahului. Masyarakat dan bapak-ibu pejabat adalah satu kesatuan. Bapak-ibu dapat tampil di depan membuat kebijakan karena para warga negara yang memberikan mandat, sehingga jangan anggap kami berbeda kubu. Kita ini tinggal dalam satu rumah bernama Indonesia. Jangan sampai statement-statement para pejabat yang akhir-akhir ini semakin kontroversial justru membuat hubungan kita menjadi LDR. Pada mau #KaburAjaDulu lho pak itu.

Maka dari itu Bapak Presiden yang terhormat, agar kiranya sudi meninjau serta melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan efisiensi anggaran di setiap instansi. Idenya sudah bagus pak, tinggal eksekusinya dilakukan pengawasan. Bapak jelas tidak mau fasilitas-fasilitas penuh manfaat yang telah negara berikan dan dirasakan masyarakat luas kelak hanya akan menjadi dongeng layaknya mantan terindah, kan pak? Saya paham di situasi seperti ini Bapak akan merasa serba salah, sebab semuanya berkelindan satu sama lain. Namun, masyarakat adalah prioritas pak, jadi dahulukan kepentingannya. Bapak bisa mulai dari memangkas fasilitas pejabat negara dan daerah yang tidak mengganggu kebutuhannya dasarnya.

Misalkan, perjalanan dinas yang biasanya naik pesawat kelas bisnis, mulai dicoba memakai ekonomi saja. Kebutuhan pemakaian air 6,7 miliar direduksi menjadi 1 miliar setahun. Alokasi sewa mobil dinas yang awalnya untuk enam unit, dikurangi menjadi dua unit. Rapat-rapat internal satker tidak perlu pindah ke hotel, cukup di gedung kantor masing-masing. Tenang saja pak, aliansi berbagai warga sipil dan mahasiswa akan setia menjaga Bapak. Saran, masukan, kritik dalam bentuk apapun selama lima tahun ke depan tidak akan hanya ada untuk kali pertama maupun kali kedua saja, melainkan akan ada kali ketiga, keempat hingga tak terhingga demi tanah air kita tercinta.

Terlebih alokasi dari efisiensi anggaran pemerintah ini, sebagian besar akan digunakan untuk menyokong Danantara, sebuah mimpi super holding BUMN yang terpendam milik Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Bapak. Saya harap lembaga ini memang berdiri didasarkan pada kebutuhan rakyat banyak ya pak, bukan sekedar karena Bapak sedang terjebak nostalgia. Apalah arti menunggu jika semuanya semu, pak? Namun, hingga detik ini kami masih percaya dan kepercayaan itu akan diwujudkan dengan suara-suara kepedulian yang akan senantiasa menjaga Bapak Presiden serta seluruh stakeholder-nya. Saya yakin dengan political will Bapak, semua itu tidak mustahil dilakukan untuk menaikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Could it be, pak?

Bagikan :