Dari Jeng yah Ke Bu Prani Hingga Retno Marsudi

Gambar sampul Dari Jeng yah Ke Bu Prani Hingga Retno Marsudi

Selama libur empat hari kemarin, selain berleha-leha dengan keluarga saya juga menggunakan waktu istimewa tersebut untuk menonton film, satu hobi yang bagi saya susah sekali mencari waktunya. Makanya, ketika ada waktu luang, saya akan memperjuangkannya, karena bagi saya menonton film bukan hanya memberikan efek gembira dan menyenangkan, namun juga memberi informasi dan insight yang menginspirasi saya secara pribadi.

Kali ini, film-film yang saya tonton itu saya fokuskan pada sosok perempuan yang menjadi tokoh utamanya. Kini, dengan bangga, saya akan menceritakan tiga perempuan yang bagi saya sangat menginspirasi.

Pertama, Jeng Yah (Dasiyah). Ia merupakan tokoh utama film Gadis Kretek. Diperankan oleh Dian Sastro dengan sangat baik dan baik banget. Jeng Yah hidup di tengah keluarga pengusaha kretek tahun 1960-an.

Pada masa itu terdapat tradisi bahwa salah satu penentu enaknya kretek yaitu saus kretek. Saus kretek tersebut tidak boleh dibuat oleh perempuan bahkan masuk ke ruangan pembuatannya saja dilarang. Jika hal tersebut sampai terjadi maka rasa kretek akan menjadi aneh.

Jeng Yah yang kesehariannya menjadi mandor pabrik kretek milik keluarganya, mempunyai ketertarikan yang sangat kuat terhadap saus kretek. Ia yakin ia bisa menciptakan saus kretek yang istimewa.

Sayangnya, kesempatannya untuk meracik saus  tersebut tidak pernah menemukan kesempatan. Namun eureka, kareta kekuatan inginnya, melalui Mas Raya, salah satu pekerja di pabriknya, ia berhasil masuk ke ruang sakral peracikan saus kretek. Baru pertama mencoba, ia langsung berhasil. Benar rupanya ia memiliki bakat di situ.

Hingga suatu saat, ia bisa menemukan satu saus kretek yang akhirnya semakin mengangkat laba penjualan kretek pabrik keluarganya.

Dari Jeng Yah, kita bisa belajar bahwa menggapai impian bukanlah hal yang mustahil, pelan-pelan akan menemukan jalannya sendiri, datang sendiri.

Perempuan kedua adalah Bu Prani. Ia adalah tokoh utama dalam film Budi Pekerti. Di film besutan Wregas Bhanuteja ini, Bu Prani merupakan Guru BP di sebuah sekolah di Yogjakarta. Diperankan dengan sangat baik oleh Sha Ine Febrianti. Caranya mengajar dan memberi “hukuman” bagi murid-muridnya dinilai unik dan “aneh”.

Konflik dirinya dan keluarganya berawal saat potongan videonya yang sedang mengantri kue putu menjadi viral. Saat itu ia menegur seseorang yang tidak mau mengantri dengan cara menitip ke pembeli yang lebih dulu datang. Titipan itu tentu saja menambah banyak kue putu yang dibelinya. Bu Prani yang berniat membeli kue tersebut untuk suaminya yang sedang sakit khawatir kehabisan, ia menegur orang yang menitip ke pelanggan lain tersebut.

Konflik menjadi panjang karena nama Bu Prani masuk menjadi calon Wakil Kepala Sekolah. Video viral tersebut menjadi penghambat. Namun karena keberanian Bu Prani, ia membuat video klarifikasi, namun konflik menjadi lebih panjang karena video klarifikasi tersebut kemudian dibantah oleh pria yang menerobos antrian itu.

Dari Bu Prani kita belajar bahwa jika ada “kebatilan” sekecil apapun, maka beranilah untuk speak up.

Perempuan ketiga yaitu Retno Marsudi. Tentu jika ditanya di film apa, sependek pengetahuan saya belum ada film yang dibintanginya. Namun, saya terinspirasi saat saya menonton Mata Najwa yang berjudul Women in Power di mana Retno hadir menjadi salah satu narasumbernya.

Dari situ Saya bangga luar biasa terhadapnya yang dengan ketegasan dan kelugasannya menyampaikan sikap terkait genosida di Palestina. Menteri Luar Negeri tersebut menyatakan bukan hanya karena jabatannya tersebut ia bicara, namun sebagai seorang perempuan, seorang ibu, pembunuhan massal terhadap warga Palestina adalah melanggar hak paling dasar kemanusiaan, yaitu untuk bertahan hidup di negaranya sendiri.

Dari Retno, kita belajar dengan hatilah kita bisa menjadi manusia dan memanusiakan manusia. Retno menyampaikan kutukan dan kemarahannya di hadapan sidang PBB terhadap bangsa Israel. Ia memohon agar sidang tersebut memberikan sangsi kepada negara tidak berwilayah tersebut.

Itulah kisah tiga perempuan yang menginspirasi saya, semoga juga untuk para pembaca.

Azzah Zain Al Hasany

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan :