Berbicara mengenai Korupsi yang ada di Indonesia pastilah akan membutuhkan rangkaian panjangan dan analisis yang mendalam, mengapa demikian? Karena bahkan sebelum republik ini berdiri, korupsi telah menjadi bagian yang seolah tak terpisahkan dari sistem pemerintahan, sejak era kolonial Belanda Pegawai pemerintah Belanda dan penguasa lokal sering melakukan pungutan liar dan suap, begitu parahnya hingga VOC yang merupakan perusahaan dengan pendapatan yang begitu besar harus gulung tikar.
Padahal sejarah mencatat Pendapatan atau kekayaan VOC pada masa kejayaannya di Indonesia pada abad ke-17 diperkirakan mencapai 7,9 triliun gulden Belanda atau setara dengan sekitar Rp112,6 kuadriliun saat ini, menjadikannya salah satu perusahaan terkaya sepanjang masa yang pernah ada. Kekayaan ini sebagian besar berasal dari perdagangan rempah-rempah di Nusantara dan keuntungan dari aktivitas lain seperti perbankan dan asuransi. Namun sayangnya semuanya harus hancur salah satunya disebabkan oleh korupsi disemua lini dan sektor.
Selepas Indonesia merdeka, tak serta merta membuat korupsi hilang,. dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, beberapa langkah diambil untuk menangani masalah ini, termasuk pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) pada tahun 19631. Namun, upaya tersebut tidak cukup efektif dan korupsi tetap merajalela. Pada era orde baru Di era Soeharto, korupsi semakin sistematis. Pada tahun 1967, Soeharto mengeluarkan pidato yang menekankan pentingnya pemberantasan korupsi dan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Meskipun ada beberapa operasi penangkapan terhadap pelaku korupsi, banyak kasus besar tetap tidak terungkap. Korupsi menjadi budaya yang mengakar kuat dalam pemerintahan dan masyarakat.
Hal tersebut pulalah yang membuat Presiden Soeharto harus melepaskan tahta kekuasaannya, diakhir 1998 sejarah mencatat desakan dari Mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia membuat beliau menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden, selain dikarenakan krisis ekonomi yang begitu parah, persoalan korupsi yang begitu merajalela membuat masyarakat kehabisan rasa sabar, Prof. Amien Rais bahkan secara khusus membuat istilah KKN yang awalnya Kuliah Kerja Nyata menjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pada era reformasi, dibawah kepemimpinan B.J. Habibie, berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi dan melalui semangat reformasi itulah pada era Presiden Megawati disahkan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 merupakan salah satu langkah signifikan dalam memerangi praktik korupsi dimana melalui lembaga anti rasuah ini, Masyarakat semakin aktif dalam melaporkan kasus-kasus korupsi, meskipun demikian tantangan masih tetap ada hingga hari ini.
Salah satu tantangan KPK dalam memberantas korupsi adalah memberantas korupsi pada tataran penyelenggara negara, baik di ranah eksekutif, yudikatif maupun legislatif, dan persoalan ini menyentuh berbagai tingkatan, mulai dari Pimpinan tertinggi kelembagaan sampai staf dengan golongan terbawah, harus dipahami merubah budaya kerja yang telah “mengakar” tidaklah mudah, terlebih untuk menegakkan aturan dengan jelas dan tanpa pandang bulu, karena bagaimanapun sejatinya kita harus membiasakan yang benar bukan membenarkan yang biasa di semua lini pemerintahan.
Termasuk diantaranya pada urusan keamanan, sebagaimana diketahui Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai garda terdepan dalam pengamanan negara tentu melibatkan anggaran yang tidak sedikit, karenanya pengawasan menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan, karena selain menyakut urusan anggaran hal ini juga menyangkut keamanan negara serta keselamatan rakyatnya.
Karena itulah, TNI sebagai garda terdepan haruslah menjadi contoh dan teladan bagi seluruh masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan anggaran dan kewenangan, terlebih tahun 2025 ini Kementerian Pertahanan menjadi Kementerian dengan Anggaran terbesar yakni 165,2 Triliun, dimana ini bukanlah angka sedikit.
Penulis menilai dibalik anggaran yang begitu besar diperlukan tanggungjawab yang begitu besar pula, tentu kita tidak menginginkan lagi terjadinya berita Korupsi di tubuh TNI, ataupun terjadi penyalahgunaan yang harus berakhir di meja Pengadilan Militer (ataupun Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta untuk perwira menengah keatas), TNI adalah salah satu pilar bangsa dimana layaknya sebuah pilar harus senantiasa kokoh dan jangan sampai digerogoti dari dalam, untuk memastikan itu semua tetap kokoh penulis menilai TNI dan KPK harus saling bersinergi layaknya sebuah mitra dalam sebuah kolaborasi pemerintahan atau Collaborative Governance.
Dalam buku Collaborative Governance New Era of Public Policy in Australia oleh Janine O’Flynn dan John Wanna dijelaskan bahwa kolaborasi bisa dilakukan pada organisasi pemerintah untuk memecahkan permasalahan yang kompleks serta untuk mencapai tujuan secara efektif dan tepat sasaran. KPK mempunyai tugas untuk melakukan pencegahan dan penindakan korupsi. TNI sebagai lembaga keamanan negara tentu menginginkan pengelolaan yang bersih dan profesional sehingga dalam prosesnya semua pemangku kepentingan yang terlibat dengan semua sektor membuat solusi yang efisien dan efektif untuk masalah publik yang melampaui yang dapat dicapai oleh organisasi, agar tak terjadi lagi apa yang menimpa pada VOC di masa lampau.
Pada akhirnya, Sinergitas antar lembaga menjadi sangat penting untuk dilakukan, siapapun tentu tidak ingin ada lagi berita buruk dimana prajurit TNI harus dibawa ke meja hijau, maka kolaborasi pemerintahan antara TNI dan KPK sangat penting untuk dilakukan, karena penulis percaya kedua lembaga ini pasti memiliki keinginan untuk membuat Indonesia lebih baik kedepannya, terlebih dua lembaga ini merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan yang tinggi menurut survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2025, tentu akan lebih Indah bukan dengan saling mendahului melainkan saling bergandengan tangan demi Indonesia emas yang kita impikan dimasa yang akan datang. Menarik, bukan?
#AksaraAbdimuda