Cincin Gyges di Jari ASN

Gambar sampul Cincin Gyges di Jari ASN

Plato dalam karyanya berjudul Republic, menulis bahwa Socrates, gurunya, pernah berkisah tentang “Ring of Gyges”. Cincin yang mampu membuat pemakainya menjadi tak bisa dilihat siapa-siapa. Muncul pertanyaan, andaikan pakai cincin Gyges, masihkah manusia itu adil dan jujur? Adakah alasan untuk tidak berani berbuat jahat? Pada regulasi, masihkan kita taat?

Dengan logika serupa, mari berimajinasi. Andai ada cincin Gyges di jari setiap ASN, masihkah ada korupsi di birokrasi pemerintahan. Andai tidak akan pernah ketahuan dan tak akan ada hukuman, masihkah tidak ada penyelewengan?

Karakter utama yang dibutuhkan aparatur yang bekerja dalam jabatan publik adalah kejujuran. Apalagi kemudian diberikan kekuasan, jabatan, dan kedudukan yang menentukan keputusan.

Bunga Kejujuran

Mari sejenak berkaca pada kisah 250 sebelum Masehi. Pada zaman Cina Kuno, seorang pangeran muda di wilayah Thing-Zda hendak dilantik menjadi kaisar. Sayangnya, dia belum menikah. Padahal, regulasi di kerajaan itu, untuk dilantik menjadi kaisar harus sepaket dengan ratu pula. Maka, dibuatlah kontes untuk memilih calon istri. Tentu saja, hanya gadis-gadis bangsawan dan the have saja yang berani ikut. Namun, ada satu gadis sederhana anak seorang pekerja istana mendaftar. Di antara para kontestan, hanya ia yang datang tanpa make up dan fashion ala sosialita. Tak pelak ini menjadi bahan bullying bagi semua kompetitornya.

Sang pangeran membagikan setiap peserta masing-masing satu pot beserta satu biji tanaman. Siapa yang dapat menanam dan merawat biji menjadi bunga terindah akan terpilih. Dengan segala effort hingga tenggat waktu enam bulan, biji milik gadis itu gagal tumbuh. Tiba pada di hari penentuan, kecuali dia, semua peserta datang mempersembahkan pot berisikan bunga-bunga yang indah dan mekar.

Namun, sang pangeran mengambil keputusan. Gadis bersahaja itu menjadi ratu. Sesungguhnya, semua biji yang dibagikan adalah biji yang steril dan tak mungkin tumbuh. Hanya satu gadis yang jujur. Sedangkan yang lain, penuh rekayasa serta menggantinya dengan bunga lain. Bukan bunga mekar dan indah. Melainkan ”bunga kejujuran” yang diinginkan pangeran.

Inspirasi dari kisah yang termuat dalam Like The Flowing River karya Paulo Coelho tersebut itu dapat membawa sebuah sudut pandang. PNS/PPPK telah melalui segala tes untuk menjadi ASN. PNS misalnya, adalah aparatur terbaik yang diperoleh dari sistem rekrutmen CPNS yang akuntabel dan transparan. Barangkali, memang sistem tersebut tak mampu mendeteksi mana aparatur yang akan bekerja jujur.

Namun kita ingat. Hobbes memberi doktrin pesimistik bahwa manusia pada dasarnya jahat dan egois. Sebaliknya Rousseau mengajak kita berpandangan pada hakikatnya manusia itu baik. Dongan point of view Rousseau inilah, kita sepakat bahwa seluruh ASN yang sudah lolos tes adalah aparatur yang masuk birokrasi pemerintah dengan membawa ”bunga kejujuran”.

Tak sedikit kemudian para umbies berpandangan, ”masuk ingin mengubah sistem, nyatanya sistem yang mengubah kita”. Atasan, eselon atau para senior pelan-pelan mengajarkan untuk sedikit berbohong, manipulasi, menambah hari perjadin, memenuhi tanda tangan daftar hadir, dan seterusnya.

Habis bagaimana lagi? Birokasi kita telanjur lekat dengan kepemimpinan yang authoritariaan paternalistic. Dalam rapat, mau memberi opini saja harus didahului ”mohon izin”. Lha, diundang rapat kan memang untuk dimintai pendapat. Mirip bubur ayam, urusan publik didaduk dengan ranah privat. Mengantar istri pimpinan sepulang dharma wanita ditoleransi. Kita juga gemar menyalahkan warisan ”mental kolonial”. Gara-gara kebanyakan pegawai negeri dahulu kala berasal dari priyayi yang dibayar kecil. Jadi, bolehlah sedikit dibiarkan menerima ”persenan”. Selanjutnya soal budaya korupsi ini bolehlah baca Arsitektur Perilaku, karya Lury Sofyan Yahya dan Dimas Budi Prasetyo (2024)

Siapa yang yakin pemilihan pejabat struktural atau eselon sudah pantas dilabeli sebagai merit system? Lalu, apakah 443 kasus pidana korupsi yang melibatkan pejabat eselon (lihat publikasi KPK bulan Agustus 2025) adalah hasil dari rekrutmen yang bebas dari suap, rekomendasi tim sukses kepala daerah dan like and dislike?

Mindset Satu Sendok Madu

Kita boleh sedikit curiga. Tapi, stay chill. Apapun jabatan kita, sebagai ASN entah eselon, fungsional, senior atau umbi-umbian perlu memiliki mindset ”satu sendok madu”. Daripada menyalahkan budaya melulu, ada baiknya belajar dari sebuah kisah.

Seorang raja menguji warganya. Kerajaan membutuhkan madu dalam jumlah banyak. Ia memerintahkan seluruh warga untuk mengisi bejana besar di sebuah bukit yang sepi pada malam hari. Masing-masing wajib menyumbang satu sendok madu. Namun, ada satu orang berpikiran bahwa kalau mengisinya dengan sesendok air tak mungkin akan ketahuan. Toh, satu sendok air tak mungkin mempengaruhi satu bejana madu.

Pada hari yang sudah ditetapkan, raja menginspeksi bejana. Bejana itu hanya dipenuhi air. Bisa dipastikan, seluruh warga punya mindset yang sama dengan warga tersebut. Kisah itu dapat dibaca dalam buku Lentera Al Qur’an karya M. Quraish Shihab (2008). Setiap orang bertanggungjawab atas dirinya, kita tidak boleh mengandalkan orang lain untuk melakukannya.

Nah, jangan-jangan di antara ASN lebih banyak berpola pikir ”satu sendok air”. Merasa jabatan, posisi dan kontribusinya tak berpengaruh. Sedikit curang tak mengapa!

Sekarang bayangkan, jika setiap ASN mempunyai cincin ajaib seperti Gyges Ring? Sudah ada pengawasan APIP dan penegak hukum saja banyak yang memiliki mindset seperti penyumbang satu sendok air? Barangkali yang tak terlihat tetapi tetap berlaku baik cuma tokoh kartun hantu baik hati, si Casper.

Kita bukan koruptor, tetapi mungkin saja tidak serta merta kita bebas dari perilaku koruptif. Sejak rekrutmen, kita menjadi orang terpilih untuk menjadi ASN. Sekalipun kita bukan pengambil keputusan dan kebijakan, itu bukan alasan lari dari tanggungjawab dalam dalam mengambil keputusan-keputusan kecil. Mari kita usahakan mindset "satu sendok madu". Kita usahakan clean and good governance itu.

#aksaraAbdimuda

Bagikan :