CERITA DARI TEMPAT DINASKU: MENGABDI DI PERBATASAN MELAWAN SEBUAH KETERBATASAN

Gambar sampul CERITA DARI TEMPAT DINASKU: MENGABDI DI PERBATASAN MELAWAN SEBUAH KETERBATASAN

Kabupaten Timor Tengah Utara atau dikenal dengan singkatan TTU adalah tempat dimana saya memulai karir sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) 100 persen tahun 2017 silam. TTU merupakan salah satu wilayah kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di ujung Barat Pulau Timor. Tempat mengabdi saya ini merupakan daerah perbatasan karena berbatasan langsung dengan salah satu wilayah Negara Timor Leste yang dikenal dengan Provinsi Waikusi. Untuk menuju ke TTU dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 4 (empat) jam dari Kota Kupang. Karena berada dalam satu daratan dengan Kota Kupang (Pulau Timor) cukup dengan jalur darat kita sudah dapat mengakses wilayah TTU. Secara infrastruktur jalan sudah cukup baik pada waktu itu, namun jalur yang berkelok-kelok akan mengiringi perjalanan kita dan apabila berjalan dimalam hari tentu perlu berhati-hati karena masih kurangnya penerangan di beberapa titik sepanjang perjalanan.

Sebagai konsekuensi surat pernyataan “Siap ditempatkan dimana saja, diseluruh wilayah Indonesia”, Rabu, 25 Oktober 2017 adalah hari dimana saya sebagai lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2016 menginjakkan kaki pertama kali di Kefamenanu yang merupakan Kecamatan ibu kota dari Kabupaten TTU. Inilah titik awal kisah pengabdian saya di perbatasan untuk melawan sebuah keterbatasan. Waktu itu adalah musin panas dan kemarau, tampak terlihat dari pepohonan yang daunnya berguguran dibalik foto saya ini. 

Pada waktu saya berinteraksi dengan masyarakat lokal untuk pertama kalinya, mereka menyampaikan bahwa disini hanya terdapat 3 (tiga) musin yaitu: pertama, musim penghujan, kedua musim panas dan ketiga adalah musin panas sekali, meskipun kalimat tersebut seperti candaan, secara tidak langsung keadaan ini menggambarkan betapa ramah atau “Welcome-nya” masyarakat Kefamenanu terhadap orang asing seperti saya yang merupakan putra daerah Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Salah satu culture shock yang pertama kali saya rasakan disana dan sekaligus meyakinkan saya bahwa betapa ramahnya masyarakat lokal disana adalah setiap saya berpapasan dengan pejalan kaki mereka selalu menyapa dengan ucapan  “Selamat Pagi Kaka...”, hal seperti ini sangat jarang saya temui di daerah asal saya.

Kemudian dari sisi penyelenggaraan pemerintahan ada beberapa keadaan yang juga menjadi culture shock bagi saya, yaitu sistem penggajian. Dimana pada saat itu, jika sebelumnya saya sebagai CASN Kementerian Dalam Negeri dan mungkin sebagian besar instansi pemerintah lainnya telah memberlakukan pemberian gaji ASN dengan sistem transfer langsung ke rekening tabungan, namun pada saat itu saya hanya menerima gaji secara manual atau Cash melalui amplop putih yang terkadang bendahara gaji tidak memiliki uang pecahan kecil untuk membayar gaji secara peuh. Misalnya gaji seorang ASN pangkat golongan III/a masa kerja 0 tahun sebesar Rp. 2.456.700,- hal ini sangat menyulitkan seorang bendahara karena harus mencari pecahan untuk memenuhi Rp.700,-. Begitupun juga dengan tunjangan beras, jika disebagian besar instansi telah memberlakukan pemberian dalam bentuk uang, pada saat itu saya masih menerima dalam bentuk beras sekarung sebanyak 10 Kg atau istilah formalnya adalah “Natura”. Hal demikian terjadi karena tentu adanya keterbatasan infrastruktur baik berupa aspek sistem informasi manajemen pemerintahan untuk mendukung layanan tersebut maupun aspek administrasi yang belum memenuhi.

Penempatan unit kerja pertama saya  adalah Bagian Tata Pemerintahan , Sekretariat Daerah. Bagian ini merupakan unit kerja yang memiliki tugas untuk mengkoordinir urusan pemerintahan umum yang berkaitan dengan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan tahunan, kerjasama antara daerah dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan tingkat kecamatan. Saya kebetulan ditugaskan untuk mengurus terkait laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) dan Laporan Keterangan Pertaggungjawaban  (LKPJ) pada saat itu. LPPD merupakan pelaporan Pemerintah Daerah ke Menteri Dalam Negeri sedangkan LKPJ merupakan laporan Bupati selaku pimpinan eksekutif kepada legislatif (DPRD) selaku pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah.  Ditengah keterbatsan yang pada saat itu kami miliki, tentu kita tidak perlu terlena dalam keadaan tersebut. Saya menyadari hal itu ketika pada suatu saat saya dalam menjalankan tugas memonitoring penyelenggaraan pemerintahan di tingkat kecamatan di salah satu Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sebagaimana foto di bawa ini.

Pada saat itu saya berpapasan dengan adik-adik tingkat sekolah dasar yang telah menyelesaikan jam sekolahnya dan berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing di tengah keadaan matahari yang begitu menyengat. Dari foto tersebut tentu terlihat betapa panasnya keadaan saat itu, namun saya terfokus pada keadaan mereka yang hanya beralaskan sendal jepit untuk bersekolah dan berjalan pada saat itu. Ketika saya bertanya kemereka tentang pelajaran apa yang mereka pelajari tadi, mereka serentak menjawab “Bahasa Indonesia kaka”. Kemudian sepontan saya tanya lagi dengan aksen NTT “ adik banggakah sonde, jadi anak-anak Indonesia?”, merekapun kembali sontak menjawab “bangga ooo kaka....”. Momen ini menyadarkan saya bahwa ditengah keterbatasan, mereka masih memiliki semangat untuk bersekolah dan bangga dengan Indonesia. Sekaligus momen ini menjadi tamparan keras bagi saya, ternyata masih banyak yang perlu kita benahi dan kerjakan sebagai abdi negara. Meskipun kewenangan yang kita miliki saat ini belum bisa memberi kontribusi yang besar bagi mereka, namun kita bisa memulai dengan kontribusi yang sangat kecil.

Beranagkat dari beberapa keterbatsan dan momen-momen berharga yang telah saya lewati, saya bersama teman-teman Tim LPPD di unit kerja saya. Mencoba untuk memberi kontribusi yang kiranya bisa membuat daerah tempat saya mengabdi bisa lebih baik. Pada saat itu dengan keadaan yang ada, kami melihat potensi yang sedikit bisa di dongkrak agar kita bisa melawan keterbatasan yang ada. Tersedianya perangkat kerja komputer/laptop dan Wifi dengan kecepatan seadanya (pada saat itu hanya 2 mbps) kami berinisiatif untuk membuat sebuah informasi LPPD yang berbasis infografis. Hal ini berangkat dari keadaan dimana memang penyelanggaraan pemerintahan seharusnya memenuhi aspek transparansi, semua masyarakat harus dimudahkan untuk mengakses informasi tersebut. Jadi selama ini informasi tersebut hanya disebarluaskan melalui koran konvensional, maka melalui semangat dan dukungan teman-teman, kami berhasil membuat sebuah trobosan baru untuk menyebarluaskan  informasi LPPD dengan berbasis Infografis yang tentu tidak hanya dapat dilihat melalui koran melainkan media sosial yang ada seperti Facebook dan juga Instagram. Alhamdulillah, pada saat itu kami mendapatkan apresisasi dari Pos Kupang sebagai daerah pertama yang memiliki inovasi penyampaian LPPD dengan memanfaatkan infografis.

Tentu harapan kami kedepan ini menjadi langkah awal yang baik untuk terus berkembang dan melawan batas dari sebuah keterbatasan yang kita miliki. Melalui kisah ini kita dan khususnya saya pribadi sebagai  ASN yang notabenenya memiliki tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bahwa, apapun keterbatasan yang kita miliki baik dari aspek infrastruktur maupun kewenangan yang kita miliki tentu ada sebuah langkah kecil yang dapat kita lakukan dan anggap itu sebagai sebuah langkah awal yang akan menciptakan sesuatu yang besar. Sejalan dengan perkataan yang pernah disamapikan oleh Helen Keller yang merupakan seorang perempuan asal Amerika yang memiliki keterbatasan (buta dan tuli) namun mampu menjadi seorang penulis dan aktivis sosial. Dia pernah berkata bahwa “Aku rindu menyelesaikan pekerjaan besar dan mulia, tetapi tugas utamaku adalah untuk menyelesaikan pekerjaan kecil seakan itu pekerjaan besar dan mulia”.

Berikut Video PNS Daily Vlog di Kefamenanu 

Bagikan :