Semasa kuliah aku membayangkan sebuah pekerjaan yang keren: berkantor di gedung pencakar langit, ruangan ber-AC, dengan outfit kekinian. Namun, takdir berkata lain. Pekerjaanku ada di desa yang jauh dari gedung-gedung pencakar langit. Apakah tidak keren?
Pada awalnya aku merasa begitu. Tapi menjadi ASN Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) di Kabupaten Malang, tepatnya di wilayah pedesaan justru memberiku banyak pengalaman berharga. Perlahan aku mulai mengerti mengapa banyak orang ingin “kembali ke desa”.
Secara geografis, desa tempatku bertugas adalah dataran tinggi dengan lingkungan yang masih terbilang asri. Sebagian besar penduduknya merupakan etnis Jawa. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa jawa krama/halus. Bagiku, berinteraksi dengan warga yang berbahasa jawa krama adalah sebuah tantangan. Sebab, sejak kecil aku lebih banyak tinggal di kota. Lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Memang, warga desa juga mengerti bahasa Indonesia.
Tapi, aku meyakini, penggunaan bahasa jawa krama membuatku bisa cepat akrab dengan warga. Terutama mereka yang menjadi kader KB atau yang biasa disebut PPKBD (Pembantu Pembina KB Desa), yakni semacam sukarelawan yang membantu tugas-tugas Penyuluh KB. Di desa tempatku bertugas sekarang, ada 13 orang kader KB. Kebanyakan merupakan ibu-ibu paruh baya.
Berkat mereka, aku bisa lebih memahami kondisi masyarakat dan lebih efektif menjalankan program KB. Salah satunya mengajak orang untuk ikut KB. Ini adalah program yang bagus untuk mengatur jarak kehamilan. Harapannya, laju pertumbuhan penduduk bisa terkontrol. Selain itu, orang tua juga bisa fokus mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, menekan angka kematian ibu dan bayi dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Di lapangan, kami seringkali mendapati cerita tentang keluarga yang tidak mengikuti program KB. Misalnya keluarga Ibu Mawar (bukan nama sebenarnya) yang punya tujuh anak yang jaraknya berdekatan tapi enggan ber-KB karena dilarang suaminya, ada pula Ibu Melati yang berisiko karena memiliki penyakit hipertensi namun tidak mau KB lantaran takut kalau pakai IUD. Ada pun Anggrek yang menikah di usia terlalu muda yakni 16 tahun, kini ia sudah mempunyai dua anak di usia 19 tahun.
Namun, niat baik pemerintah lewat program KB tidak sepenuhnya bisa diterima masyarakat. Tidak sedikit penolakan yang aku dan ibu-ibu kader alami. Mulai karena program KB tidak sejalan dengan keyakinan, memutus rezeki, mitos seputar efek samping kesehatan hingga tidak adanya restu dari pasangan.
Beragam cara kami lakukan, mulai dari kunjungan rumah, memberi konseling secara individu, penyuluhan di posyandu, hingga pertemuan PKK. Kami juga mengumumkan jadwal pelaksanaan KB melalui status whatsapp dan media sosial untuk menyebarkan informasi. Penyuluhan pun tidak cukup dilakukan satu atau dua kali. Ketika pihak perempuan belum berminat untuk KB, maka kami lakukan pendekatan pada pihak suami. Kami jelaskan keuntungan mengikuti program KB, serta apa saja metode kontrasepsi yang ada. Meski pendekatan sudah dilakukan, penolakan masih bisa saja terjadi.
Sebagai Penyuluh KB, pantang bagi kami untuk menyerah. Bila penolakan datang dari pasangan suami-istri, maka kami coba lakukan pendekatan pada orangtua, terutama dari pihak perempuan. Karena kesuksesan KB tidak bisa lepas dari dukungan keluarga. Mungkin butuh waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun untuk meyakinkan.
Tapi, dari pengalaman yang kami dapati selama ini, banyak yang merasakan dampak positifnya setekah mengikuti program KB. Mereka yang awalnya menolak kemudian mau ikut KB, akhirnya juga ikut mempromosikan KB dari mulut ke mulut. Testimoni dari para akseptor KB inilah yang juga menjadi senjata kami untuk mensosialisasikan program KB di masyarakat.
Pengalaman itulah yang membuatku bersyukur menjadi Penyuluh KB. Mungkin, pekerjaan ini tidak keren di mata sebagian orang. Tapi dengan menjalani peran sebagai Penyuluh KB, secara tidak langsung aku turut membantu mewujudkan keluarga Indonesia yang berkualitas.