“Seluruh bumi ini akan terasa sempit, jika kita hidup tanpa toleransi. Namun jika hidup dengan perasaan cinta, meski bumi sempit kita kan bahagia. Melalui perlaku mulia dan damai, sebarkanlah ucapan yang manis. Hiasilah dunia dengan sikap yang hormat, dengan cinta dan senyuman.” (wolipop.detik.com).
Terjemahan dari potongan lagu berjudul Deen Assalam tersebut sangat pas rasanya untuk menggambarkan tentang toleransi indah yang berlangsung di tempat dinasku. Bagaimana tidak, kehidupan kami lekat dengan keharmonisan dan dilengkapi ragam perbedaan. Sungguh aku harus mensyukuri takdirku sendiri, menjadi seorang guru ASN yang dikelilingi oleh ratusan rekan kerja, ribuan siswa yang meski berbeda tetap tumbuh dalam kebersamaan yang megah.
Kehidupan dan keberagaman memang dua hal yang tidak terpisahkan. Maka sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk mengisi skenario hidupnya dengan cinta agar yang tak sama itu menjadi seirama. Jika dalam perbedaan ada cinta, maka tak ada lagi yang lebih berharga dari keduanya.
Kejadian istimewa tentang keberagaman dan cinta pernah aku alami sendiri dalam kehidupan nyata. Setiap harinya, sebagai seorang guru tentu semua siswa akan menyapaku. Tapi pagi itu ada yang spesial. Seseorang dari arah belakangku mengucap salam dengan santun. “Assalamu’alaikum Bu Atiya” aku pun sontak menjawabnya, “Wa’alaikumsalam…” Ternyata asal suara itu dari salah satu siswa terbaikku, namanya Shelin. Dia adalah seorang umat kristiani taat, yang sangat menjunung nilai-nilai toleransi dalam kehidupan.
Ketika yang lain sibuk meributkan perbedaan, aku di sini menjalani keberagaman dengan penuh cinta. Karena tidak ada yang salah dari kata berbeda, semuanya adalah anugerah dari Tuhan. Jika di luar sana terjadi perdebatan, persekusi, pelecehan yang berdasarkan pada sebuah perbedaan, sungguh aku ingin menyeret mereka ke hadapan peserta didikku untuk menyaksikan bagaimana caranya hidup dengan benar dalam menyikapi sebuah perbedaan.
Pernah disuatu siang saat jam istirahat, aku melihat Shelin duduk di pinggiran mushola sekolah. Terlihat dia sedang menjaga jam tangan, handphone, dan barang bawaan temannya yang sedang melaksanakan ibadah sholat dzuhur. Pemandangan yang menggetarkan hati, bahwa memang agama tidak bisa menjadi penghalang bagi siapapun untuk bersahabat, berbagi, dan belajar. Ketika Shelin bersikap sangat menghargai teman-temannya, maka begitu pun sebaliknya.
Shelin akan selalu sama dan berharga. Dengan menghargai semuanya terasa lebih indah, begitulah aku menafsirkannya dalam kenyataan. Tidak ada hasil baik yang akan diperoleh dengan selalu mempermasalahkan perbedaan. Karena dengan memaksa orang lain untuk menjadi serupa, sama halnya dengan membuat jurang perbedaan itu semakin lebar. Yang tersisa hanyalah permusuhan yang tidak pernah berakhir.
Dan hanya di Indonesia aku temukan, semua warna kulit bergandengan tangan tanpa memikirkan perbedaan putih, coklat, ataupun hitam. Bukankah hidup dengan kesejukan toleransi akan membuat cinta semakin banyak dalam kehidupan. Sebagai manusia, tugas kita bukan hanya memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Tapi juga juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa jiwa membutuhkan cinta dan damai. Kedua hal tersebut dapat kita peroleh dengan cara mengagumi persamaan dan memaklumi perbedaan.
Seperti yang dilakukan oleh Shelin dan kawan-kawan. Mau siapapun yang sakit di kelas, pasti dijenguk. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan semuanya selalu bergotong royong untuk membantu. Padahal siswa-siswiku lahir dan tumbuh dari daerah yang beragam, agama yang beragam, budaya yang beragam, dan warna kulit yang beragam.
Pernah aku melihat mereka tertawa bersama memasukkan daging sapi ke dalam plastik saat perayaan Idul Adha di sekolah. Shelin kristiani taat, Agung asal Bali yang beragama hindu, Blora yang khas dengan wajah timurnya, dan Aisyah yang asli Jember saling melempar senyum tatkala menertawakan tangan mereka satu sama lain yang berlumuran darah daging sapi. Ada sebuah kebanggaan yang menyeruak dalam dada bahwa anak didikku bisa tumbuh dengan baik dan melestarikan keberagaman penuh cinta di Indonesia hingga saat ini, dan aku menjadi bagiannya.
Benar kata Ika Wahyuningsih bahwa “sikap dalam diri manusia tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dibentuk oleh beberpa faktor, diantaranya yaitu melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bukan hanya membentuk kemampuan kognitif seseorang, melainkan juga meletakkan dasar moral yang diharapkan mampu membentuk sikap, watak, dan karakter siswa” (Wahyuningsih, 2018).