Kabarnya ASN naik gaji. Sebagai syukuran, apa yang kita bawa pulang kerja hari ini?
Selama menjadi ASN, apa sih yang sering kita bawa pulang untuk keluarga? Mungkin nasgor untuk makan malam suami/istri, satu cone gelato untuk anak gadis, sekotak bola ubi untuk si kecil, martabak untuk ibu mertua? Atau sekadar snack rapat yang tak dimakan di tempat?
Jika pulang dengan tangan kosong, setidaknya bawalah sebuah cerita. Tentang seorang istri yang tak tahu menahu asal-usul uang Rp 1 triliun dan emas 51 kg di rumahnya. Begitulah kisah dari sidang kasus suap dan gratifikasi mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar.
Sesekali sisipkan pula sedikit statistik. Publikasi KPK tentang tindak pidana korupsi mencatat per 11 Agustus 2025, sebanyak 443 kasus korupsi dilakukan oleh ASN, baik dari eselon I, II, III, maupun IV. Sementara dilihat dari instansinya, tindak pidana korupsi K/L sejumah 521, Pemerintah Provinsi 224 dan Pemerintah Kab/Kota 649 kasus.
Tak heran, masih banyak publik yang pesmis dan skeptis terhadap ASN. Meminjam data Kompas.id, dalam jajak pendapat Kompas pada bulan Juni 2025, citra positif hanya disuarakan 61,9 % responden dan 35,7 % lainnya menilai citra ASN sebaliknya. Bahwa sebagian ASN adalah pekerja malas, lambat dan tak profesional. Ada pula yang menganggap ASN lekat dengan suap, pungli, atau korupsi. Belum lagi, pandangan proses perekrutan ASN dianggap masih diwarnai jalur ordal.
Tiap kali ada berita tentang penerimaan CNPS. Scrolling pula ratusan atau ribuan komentar dari haters. Banyak yang berkomentar bahwa menjadi PNS pasti harus lewat ordal atau jalur bayar. Bagi ASN hampir semua komentar begitu mengandung bawang bukan?.
Dongeng Kejujuran
Sembari menyeka air mata dengan tisu, mari mengingat masa lalu. Tatkala masih suka bermain kapal kertas atau meniup gelembung sabun. Kembali mengingat dongeng ”Bawang Merah Bawang Putih”. Si Bawang Putih yang tak sengaja menghanyutkan selendang si Bawang Merah ketika bertugas mencuci baju di sungai. Ia tak boleh pulang sebelum menemukan selendang itu. Lalu ia susah payah menelusuri sungai sampai bertemu seorang nenek yang menemukan selendang.
Ia pun bermalam di rumah si nenek. Membantu pekerjaan rumah si nenek. Pulang bukan hanya membawa selendang, ia mendapatkan labu kecil. Dan surprise, labu dibuka isinya permata.
Lalu si Bawang Merah, tak beda dengan content creator pura-pura menghanyutkan selendang. Mengikuti SOP persis seperti Bawang Putih. Kali ini, melayani si nenek setengah hati, dan pulang membawa labu besar. Di luar ekpektasi, isinya adalah ular berbisa.
Pola ini tak jarang kita saksikan dalam pemerintahan. Jalannya pemerintahan bertumpu pada kinerja birokrasi. Namun, sayang masih banyak K/L atau Dinas melakukan kegiatan yang seolah-olah bermanfaat, sesungguhnya hanya untuk realisasi anggaran, mencairkan honor atau memperoleh biaya perjalanan dinas. Rutinitas, seremoni dan sosialiasi yang tak bermanfaat atau seminar yang isinya itu-itu saja. Kinerja yang berakar pada mentalitas Bawang Merah. Mentalitas yang mengabaikan kejujuran. Demi formalitas atau bahkan fiktif belaka..
Semua Korupsi
Bagaimana seorang ASN terjerat korupsi bisa bercermin pada kisah Arimbi. Seorang umbies yang tentu saja masuk lewat jalur tes. Menjadi PNS di Pengadilan Negeri. Tiba-tiba setelah membantu seseorang dengan niat pelayanan prima, sepulang kerja datanglah boks berisi AC lengkap dengan teknisi yang siap memasang di kamar kontrakannya yang sumpek dan pengap.
Pada hari-hari selanjutnya, Arimbi mewarnai hari-hari kerjanya dengan aktif meminta uang terima kasih setiap ada tugas atau perkara yang ditanganinya. Arimbi hanya tokoh fiktif dalam novel berjudul 86, karya Okky Madasari. Novel yang menggambarkan tidak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak perlu takut kalau semua orang saja sudah menganggapnya sebagai wajar.
Betul juga, saya kadang meminta kertas untuk mencetak tugas anak di kantor. Menyaksikan mobil dinas untuk mudik pun sudah biasa. Sampai perjalanan dinas yang tak sesuai volume hari juga dianggap wajar. Sampai titik mana finish-nya segala perilaku koruptif berhenti?
Korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi meminjam definisi World Bank atau versi Tranparency International sebagai penyalahgunaan kekuasaan mandat demi keuntungan pribadi. Namun, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, kerugian keuangan publik atau penyelenwengan jabatan negara. Jauh dari itu merusak insitusional dan cita-cita tatanan yang baik. (Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Impilkasi, B. Herry Priyono, Gramedia, 2025).
Korupsi mirip hydra, monster naga dalam dongeng Yunani, makhluk berkepala tujuh. Satu kepalanya dipenggal akan tumbuh dua kepala baru. Salah satu sebab korupsi dianggap lazim adalah karena secara tak sadar kita mempromosikan hal-hal negatif. Kampanye dengan maksud baik saja bisa berbalik kontra produktif. Jonah Berger dalam Contagius terbitan Gramedia, 2024 menyajikan contoh kampanye anti narkoba kepada remaja justru secara statistik menyebabkan makin banyak remaja yang melakukannya. Makin banyak orang melihat iklan anti narkoba, makin besar keyakinan bahwa banyak remaja lain yang sedang mengkonsumsinya. Makin yakin bahwa orang lain mengkonsumsinya makin besar minat mereka menggunakannya.
Prinsip monkey see, monkey doo ini persis yang digambarkan oleh Okky Madasari dalam novel 86. Membaca novel ini seolah mengatakan semua ASN akan korupsi pada waktunya.
Praktik Baik
Maka tugas kita adalah mempromosikan hal-hal baik. Ada sebuah true story. Seorang muda bernama Didit bermaksud masuk ke dalam TNI. Ia memerlukan izin tertulis dari orang tua. Sayang, surat penyataan itu tak pernah ditandatangani oleh Hoegeng, ayahnya. Memang hanya formulir izin orang tua, bukan lembar katabelece. Namun, ayahnya yakin kalau tim seleksi tahu Didit adalah anak seorang Kapolri, akan menjadi privilege untuk diterima. Bayangkan, tidak ada SOP dan aturan yang dilarang atau satu pun pasal yang dilanggar seandainya formulir itu ditandatangani. Namun, Hoegeng gigih mencegah kesempatan praktik korupsi lebih dini.
Lebih mudah memang menyebarkan hal-hal negatif. Berita dan konten medsos gampang viral dengan menampilkan cerita tentang ASN yang tak profesional, inefesensi, penyalahgunaan aset, suap, jalur ordal dalam mengurus banyak hal.
Bagaimanapun, masih banyak ASN yang jujur dan siap saling mengingatkan untuk menjaga kejujuran. Seorang teman saya hanya menerima amplop seratus ribu ketika berkunjung dalam kegiatan seremoni monitoring. Ia bermaksud mengembalikan tetapi situasinya tak nyaman. Akhirnya ia melaporkan gratifikasi tersebut dan mengembalikan lewat petunjuk yang disediakan KPK. Ya, meskipun prosedurnya jauh lebih rumit dibandingkan dengan misalnya, masukkan saja di kotak amal masjid.
Bukan Pengamat
Dari pengalaman itu terpetik inspirasi. ASN tak harus punya memiliki buku kisah-kisah Hoegeng yang anti korupsi, meskipun akan lebih baik membacanya. Namun satu hal, setiap ASN bisa memilih membuat cerita baik dirinya sendiri. Syaratnya jangan terjebak dalam bystander effect, efek manjadi pengamat. Seolah menunggu orang lain yang bergerak atau bertindak. Mencegah korupsi bukan tugas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), KPK atau lembaga penegak hukum lain semata.
Berapa jauh jarak korupsi dari kita? Ah, barangkali potensinya ada di atas meja kita. Di lembaran kertas yang kita bolak-balik. Siap diketikkan dengan keyboard depan mata. Ada di ujung pena untuk tanda tangan kita. Sebagai aparat dalam pelayanan publik, setiap ASN harus bisa menuliskan kisah sendiri. Tak harus dikonten, dibukukan atau divideokan. Menulis kisah anti korupsi artinya mempraktikannya mulai dalam hal-hal kecil, dalam tugas ASN sehari-hari.
Mencegah perilaku korupsi dalam birokrasi pemerintahan dimulai dengan kesadaran bahwa ASN bukanlah pengamat, melainkan seorang aparat. Setiap ASN berperan untuk mencegah, berkuasa untuk menjauhinya. Seperti Hoegeng yang tak menandatangani izin anaknya untuk mendaftar seleksi tentara.
Memang dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih bukanlah kisah tentang kejujuran versus ketidakjujuran dalam jabatan di ruang publik. Namun, jangan izinkan ”mentalitas Bawang Merah” menguasai diri. ASN dengan "mentalitas Bawang Putih" itu adalah ASN yang berorientasi pada pekerjaan dan pelayanan sesuai fungsi, tidak iri hati dengan gemerlapnya lain profesi dan pulang membawa oleh-oleh ”labu kecil” sesuai porsi. Hoegeng punya kebiasaan tak mau naik pesawat atau mobil ketika pulang dari kunjungan ke daerah, kalau ada oleh-oleh di kendaraan. Suatu waktu ia turun dari pesawat kepolisian sebelum terbang, hanya karena melihat keranjang buah dari daerah kunjungan. Habit yang hebat, bukan.
Jadi, apa yang dibawa pulang hari ini? Perjalanan pulang kerja sudah sering diuji bunyi ”tot tot wuk wuk’. Semoga tidak ditambah beban lemburan. Pastikan yang dibawa pulang hari ini bukan ”labu besar” hasil suap, gratifikasi atau korupsi. Meskipun digit gaji dan tukin jauh lebih sedikit dibandingkan delapan belas angka NIP kita.
Soal kabar gaji naik, akan menjadi true story ketika sudah ada notif klunting tanda masuk rekening.
#aksaraAbdimuda
#abdimuda_id
#sembaridinas
#suaraantikorupsi.kpk
#gnfi