Praktik nepotisme masih menjadi penyakit kronis dalam birokrasi Indonesia. Meskipun secara normatif birokrasi dirancang untuk berjalan rasional, formal, dan impersonal, kenyataannya sering kali nilai-nilai kekerabatan, rasa ewuh pakewuh ‘sungkan’ (bahasa jawa), sipakatau ‘saling menghormati’ (bahasa bugis) hingga ikatan emosional lebih dominan dalam pengambilan keputusan. Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya birokrasi kita tidak sepenuhnya lepas dari kultur masyarakat yang menjunjung tinggi hubungan balas budi, rasa hormat pada yang lebih tua, dan ikatan patron–client.
Ironisnya, nilai-nilai budaya luhur seperti sipakatau, atau sipakelebbi (bahasa bugis) yang seharusnya menjadi aset bangsa, justru disalahgunakan dalam konteks birokrasi. Akibatnya, birokrasi kehilangan wataknya yang objektif dan rasional. Tidak jarang pejabat memilih kerabat, teman dekat, atau sesama almamater untuk menduduki jabatan tertentu. Seorang pengambil keputusan yang rasional sering dicap sebagai “sombong” atau “lupa daratan”, sementara yang nepotis justru dipuji karena dianggap “rendah hati” dan “suka membantu”.
Sejarah telah memberikan teladan yang berbeda. Umar bin Abdul Aziz menegakkan birokrasi rasional dengan memisahkan kepentingan pribadi dan negara, bahkan menyerahkan harta keluarganya ke Baitul Maal. Dinasti Han di Tiongkok juga membangun prinsip birokrasi yang menekankan moralitas aparat, keadilan, dan hak rakyat untuk menolak penguasa yang zalim. Kedua contoh itu menegaskan bahwa birokrasi yang sehat hanya mungkin terwujud bila dipisahkan dari kepentingan pribadi dan nepotisme.
Dalam kenyataan di Indonesia, hubungan sosial yang bersifat pribadi kerap mengalahkan norma hukum dan sumpah jabatan. Konsep pengawasan melekat (waskat) lebih sering menjadi alat kontrol atasan terhadap bawahan, bukan mekanisme check and balance yang adil. Pada akhirnya, nepotisme membuka ruang subur bagi praktik korupsi. Ketika jabatan diberikan bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan kekerabatan, maka pelayanan publik menjadi tidak efisien, dan peluang penyalahgunaan wewenang semakin besar.
Masalahnya, fenomena nepotisme ini sudah terlanjur mengakar. Upaya pembenahan birokrasi sering kali terjebak dalam kompromi dan bargaining dengan para pelaku nepotisme. Masyarakat pun skeptis, meragukan keberhasilan reformasi birokrasi yang berkali-kali digaungkan. Karena itu, kontrol harus dimulai dari diri sendiri. Setiap individu perlu menegakkan prinsip integritas, sementara masyarakat harus berani menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Yang paling penting, kita membutuhkan pemimpin rasional yang mampu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Pemimpin yang nepotis hanya akan memperkuat birokrasi yang tidak rasional, melemahkan pelayanan publik, dan menumbuhkan iklim korupsi. Seperti kata Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula) Kekuasaan yang tidak diawasi, ditambah budaya nepotisme, hanya akan memperparah praktik korupsi.
Nepotisme bukan sekadar masalah birokrasi, melainkan cermin dari budaya kita. Jika tidak ada kesadaran kolektif untuk menempatkan budaya pada porsinya, birokrasi akan terus “sakit” dan masyarakatlah yang menjadi korban. Dari sinilah kita ditantang untuk belajar dari sejarah, agar tidak terus mengulang kesalahan yang sama.
Mudah-mudahan dengan tulisan ini kita senantiasa belajar dari pengalaman atau masa lalu. Karena kata orang bijak “the only thing we learn from history, is that we never learn from it” (yang kita pelajari dari sejarah, hanyalah kenyataan pahit bahwa kita tak pernah belajar dari sejarah). Wallahu’alam bissawwab
Penulis: Wahyuddin, S.Sos., M.AP
(Staf TU Kantor Kementerian Agama Kab. Pinrang)